KAPITALISASI AFEKSI DAN KOMODIFIKASI EMOSI DALAM PERSPEKTIF ADORNO, HORKHEIMER, DAN ILLOUZ

 

[pic: smassingculture.gr]

Bella Herdiansyah

Mahasiswi Prodi Sosiologi

Universitas Udayana

 

 

Di media sosial, kita tidak hanya menyaksikan bagaimana individu berbagi kebahagiaan atau pencapaian, tetapi juga menyaksikan kisah-kisah yang lebih personal dan sering kali penuh kontroversi. Salah satu hal tersebut dapat dilihat lewat kanal YouTube berformat podcast. Kanal-kanal podcast YouTube kerapkali  tidak hanya mengundang narasumber untuk berbagi cerita, tetapi juga menghadirkan sebuah dinamika baru yang mengaburkan batas antara diskusi yang emosional, hiburan, dan kapitalisme digital. Dengan demikian, ia tidak hanya berfungsi sebagai wadah berbagi kisah, tetapi juga sebagai media yang menghasilkan nilai ekonomi melalui perhatian audiens.

 

Fenomena di atas kiranya membuka diskusi tentang bagaimana emosi yang disajikan di dunia digital tidak hanya menjadi media diskusi atau klarifikasi, tetapi juga produk komoditas. Di balik niat untuk memberi ruang bagi individu yang ingin berbagi kisah hidup mereka, kanal tersebut juga berfungsi untuk menarik perhatian publik dan menghasilkan uang melalui monetisasi yang didapatkan dari jumlah viewers, klik, dan interaksi. Dalam dunia kapitalisme digital, kapitalisasi afeksi menjadi sangat relevan karena emosi yang disampaikan dalam kanal ini bukan hanya untuk meraih atensi saja, tetapi juga sebagai alat untuk meraih keuntungan finansial.

 

Ketika kita melihat berbagai podcast semacam ini, kita bisa mengaitkannya dengan teori industri budaya yang dikemukakan oleh Adorno dan Horkheimer. Mereka berbicara tentang bagaimana budaya, termasuk hiburan, diproduksi sebagai komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam hal ini, berbagai podcast YouTube seringkali mengemas isu kontroversial, kisah-kisah pribadi, bahkan yang melibatkan trauma dan luka emosional menjadi bagian dari produk hiburan yang siap untuk dikonsumsi oleh audiens. Setiap video yang diunggah adalah produk yang tidak hanya untuk menyentuh hati audiens, tetapi juga untuk menciptakan nilai ekonomi.

 

Teori industri budaya yang dikembangkan Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment menegaskan bahwa dalam masyarakat kapitalis modern, budaya diproduksi secara massal untuk menciptakan konsumsi pasif. Budaya tidak lagi menjadi ekspresi autentik atau sarana pencerahan, melainkan komoditas yang diproduksi demi keuntungan ekonomi. Mereka menyatakan, budaya massa tidak mencerahkan masyarakat, tetapi mengubah mereka menjadi konsumen yang pasif (Adorno & Horkheimer, 1997). Dalam industri budaya, seni dan emosi diproduksi, distandarisasi, dan dikomodifikasi agar mudah dijual dan dikonsumsi publik.

 

Adorno dan Horkheimer menyoroti bahwa industri budaya memanipulasi massa, mengubah masyarakat menjadi subjek pasif dan keberadaannya tersubordinasi (Anugrah, 2024). Mereka menegaskan bahwa “nilai guna” (use value) dalam budaya telah digantikan oleh “nilai tukar” (exchange value), di mana tujuan utama produksi budaya adalah profit, bukan pencerahan atau pembebasan manusia.

 

Terkait hal di atas, berbagai podcast YouTube pun menciptakan sebuah ruang di mana emosi menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam dunia kapitalisme digital. Di satu sisi, kanal tersebut turut menyediakan platform untuk klarifikasi, tetapi di sisi lain, ia juga menggambarkan bagaimana kapitalisasi afeksi dapat beroperasi di dunia yang serba digital ini. Seperti yang ditegaskan oleh Adorno dan Horkheimer, prinsip industri budaya adalah “tujuan yang dinyatakan oleh pasar” (Prasisko, 2024). Meskipun memberi kesempatan bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk didengar, kanal podcast YouTube juga menunjukkan bagaimana industri budaya digital memperdagangkan emosi sebagai bagian dari produk hiburan yang lebih besar.

 

Di dunia yang semakin terhubung oleh media sosial, emosi dan perasaan menjadi lebih dari sekadar pengalaman pribadi. Dalam pandangan Eva Illouz, kapitalisme emosional didefinisikan sebagai proses ganda yang dengannya hubungan emosional dan ekonomi saling mendefinisikan dan membentuk satu sama lain (Illouz, 2007). Melalui perspektif ini, kita dapat melihat bagaimana emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, maupun trauma telah bertransformasi menjadi sebuah komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan sosial.

 

Kapitalisme telah mengubah kehidupan emosional secara mendasar, menciptakan sebuah sistem di mana pengalaman emosional merupakan komoditas dan bagian integral dari interaksi ekonomi dan sosial  (Illouz, 2017b). Di dunia media sosial, setiap ekspresi emosional yang disampaikan, terutama yang terkait dengan trauma atau luka, tidak hanya menjadi bahan diskusi, tetapi juga diperlakukan sebagai produk yang bisa diperdagangkan. Dalam konteks ini, emosi tidak hanya dirasakan, tetapi juga dibeli, dijual, dan dipertukarkan, yang memengaruhi segala hal mulai dari budaya konsumen hingga hubungan pribadi.

 

Kisah-kisah emosional yang dibagikan melalui kanal YouTube bukan hanya bertujuan untuk menyentuh hati audiens, tetapi juga untuk mendapatkan perhatian dalam bentuk views yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan. Narasi tersebut sangat bervariasi, mulai dari cerita-cerita inspiratif hingga pengalaman traumatis yang dialami oleh narasumber. Setiap cerita, meskipun memiliki nilai emosional yang tinggi, juga memiliki nilai komersial karena kanal ini berfungsi sebagai produk konsumsi. Dalam hal ini, emosi bukan hanya untuk disaksikan dan dipahami, tetapi juga untuk dikonsumsi, dibicarakan, dan pada akhirnya menghasilkan keuntungan bagi pembuat konten.

 

Hal ini memperkuat pandangan (Illouz, 2017a), bahwa kapitalisme tidak hanya merasionalisasi dan mengomodifikasikan barang dan jasa, tetapi juga telah menyusup dan membentuk kembali kehidupan emosional, menciptakan bentuk subjektivitas baru di mana emosi diproduksi dan dikonsumsi. Pada gilirannya, kapitalisme emosional membawa dampak besar pada cara kita memandang emosi dalam konteks media sosial. Emosi yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang sangat pribadi dan internal kini menjadi komoditas yang bisa dikonsumsi publik. Meskipun ada niat untuk membantu dan memberikan pemahaman tentang trauma dan luka, kanal ini juga mengubah luka emosional menjadi bagian dari industri hiburan digital yang berorientasi pada keuntungan. Dalam dunia digital, emosi tidak lagi hanya tentang berbagi atau menyembuhkan, tetapi juga tentang mengubah pengalaman pribadi menjadi produk yang dapat dijual!

 

Referensi;

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1997). Dialectic of Enlightenment. Verso.

Anugrah, D. W. (2024). Adorno & Horkheimer: Sebuah Analisis Kritis Industri Kebudayaan. LSF Discourse. https://lsfdiscourse.org/adorno-horkheimer-sebuah-analisis-kritis-industri-kebudayaan/

Illouz, E. (2007). Cold Intimacies: The Making of Emotional Capitalism. Polity Press.

Illouz, E. (2017a). Emotions as Commodities: Capitalism, Consumption and Authenticity (1st ed.). Routledge.

Illouz, E. (Ed.). (2017b). Emotions as Commodities. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315210742

Prasisko, Y. G. (2024). Apa itu Industri Budaya? Istilah dari Theodore Adorno dan Max Horkheimer. Brikolase ( Pusat Kajian Seni Dan Budaya Kontemporer). https://www.brikolase.com/apa-itu-industri-budaya-istilah-dari-theodore-adorno-dan-max-horkheimer/

 

0 Comments:

Post a Comment