0. Pengantar dan Pembuka Penulis:

“Teruslah bertumbuh(!)”

 

Dua setengah tahun pasca penerbitan buku ini, penerbit Pustaka Pelajar menghubungi dan memberitahu saya jika stok buku ini sudah hampir habis, mereka pun meminta izin untuk mencetaknya kembali. Mendengar itu, tentu saya sangat senang, namun saya tak bisa langsung mengiyakan pinta penerbit, karena sebagaimana komitmen saya sebelumnya akan buku ini; ia akan menjadi “buku yang bertumbuh” di cetakan-cetakan berikutnya; dalam arti, di setiap cetakan baru, akan selalu saya tambahkan subbab-subbab baru mengenai perkembangan pemikiran Marx yang sangat bervariasi. Awalnya, saya kira akan bisa menambahkan subbab-subbab baru tersebut dalam dua hingga tiga bulan, tetapi ternyata tidak demikian. Kondisi tanah air, dan juga dunia yang masih dalam atmosfer Covid-19 kala itu nyatanya berdampak besar terhadap kondisi psikologis saya sehingga saya didera “kelesuan membaca dan menulis”. Biangnya saya kira cukup jelas: segala proses akademik yang terdigitalkan.

 

Aktivitas daring selama pandemi menyebabkan zoom fatigue, kelelahan psikis dan jasmani yang kemudian menghilangkan gairah intelektual. Thus, sama sekali tak ada tulisan baru yang saya buat selama pandemi. Adapun buku Sosiologi Kehidupan Sehari-hari yang terbit di tahun 2021—setebal 423 halaman—dan buku kumpulan cerpen Burungku yang terbit di tahun 2022, sebetulnya adalah kumpulan tulisan lama saya yang dibukukan; sekadar untuk mengisi kekosongan penerbitan buku di dua tahun itu. Barangkali, ini pula hikmah yang bisa saya ambil di masa pandemi: akhirnya memiliki waktu untuk mengumpulkan banyak tulisan lama yang berserak. Pasca pandemi mereda, nyatanya saya mengadapi tantangan baru, jabatan struktural kampus yang diembankan ke saya praktis membuat saya kembali tak bisa bergerak. Hari-hari disibukkan oleh persoalan administrasi dan koordinasi. Miris, di tengah upaya membangkitkan kembali gairah intelektual, tiba-tiba saya harus terjebak dalam “sangkar besi birokrasi”.

 

Barulah satu semester setelahnya, tepatnya ketika saya merasa baru bisa beradaptasi dengan rutinitas baru ini; secara perlahan saya kembali mencoba menghidupi dunia intelektual: membaca dan menulis. Saya memulainya lewat membaca narasi-narasi ringan seperti kumpulan cerita pendek, novel, dan tulisan-tulisan filsafat populer. Saya pun juga mulai kembali menulis, sedikit demi sedikit, dan perlahan, termasuk kembali menulis untuk subbab baru buku ini. Di tengah upaya keras untuk menghadirkan cetakan kedua dari buku ini—yang saya inginkan terus bertumbuh—nyatanya saya sekadar mampu merevisi subbab Teori Konflik Ralf Dahrendorf , menambahkan satu subbab baru tentang pemikiran marxisme posmodern Fredric Jameson, dan sedikit merevisi bab Penutup. Khusus untuk subbab baru dalam buku ini; itu adalah permintaan kawan saya, Kaisar Atmaja, yang kini merupakan dosen di Prodi Sosiologi, FISIP, UIN Walisongo. Permintaan yang telah lama ia ajukan sejak pertama kalinya membaca buku ini di tahun 2019. Setidaknya, lewat subbab baru ini, saya memenuhi komitmen untuk menjadikan buku ini terus bertumbuh; meskipun minim dan sangat perlahan.

 

Tak lupa, saya ingin kembali mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk berbagai pihak yang berperan dalam penulisan dan penerbitan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada penerbit Pustaka Pelajar,  terkhusus Mbak Nana yang senantiasa sabar menanti tulisan penulis—setelah hampir setahun lamanya untuk cetakan kedua. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk istri dan anak penulis, Enky Permatasari dan Swara Revolusi, serta kepada inner circle penulis sejak Sekolah Menengah Atas hingga kini; Sony Amartha, Rio Yunarwanto, Robi Aditya Rachman, Adnan Buyung, dan Umar Mustofa. Begitu juga untuk kawan-kawan di Sanglah Institute; M. Zaenal Arifin, Gede Kamajaya, Bagus Ardyansyah, A. A. Chintya Maharani Putri, Fidiana Rakmawati Mujiatno, Gede Dharma Wirata, I. G. A. Ayu Brenda Yanti, Ni Putu Laksmi Prameswari, dan lain-lain. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk para kolega di Prodi Sosiologi dan Fakultas Ilmu Sosial-Politik Universitas Udayana, serta terkhusus untuk sosiolog muda Universitas Negeri Makassar, Sopian Tamrin. Di samping itu, penulis turut mengucapkan terima kasih kepada panitia Philofest ID 2021 yang sudah mengajak penulis ikut serta dalam festival filsafat terbesar di tanah air.

 

 

 

Tukad Buaji, Denpasar, Bali

11 Juni 2023,

Wahyu BN.



Judul Buku: Memahami Kembali Marx, Marxisme, dan Perkembangannya

Penulis: Wahyu Budi Nugroho

Penerbit: Pustaka Pelajar

Cetakan Pertama, Agustus 2019

Cetakan Kedua, Agustus 2023

Tebal: xvi + 212 halaman

ISBN: 978-623-236-368-7



[Pic: cccb.org]

Fina Yulfa Laila

Mahasiswi Sosiologi, Universitas Udayana

 

Pengkajian Nussbaum akan karya sastra yang memperlihatkan kondisi malang kelompok tertindas mengantarkan Nussbaum pada pemikiran yang disebutnya sebagai “imajinasi naratif”. Imajinasi naratif yang ditawarkan Nussbaum mengajak masyarakat global untuk memberi pemahaman terkait pentingnya mempelajari sastra, membaca secara kritis, dan mengolah rasa simpati kepada individu atau kelompok yang berbeda.

 

Pemahaman kritis yang dikonsepsikan Nussbaum adalah cara berpikir kritis yang mendorong seorang individu untuk berempati dan mengalami sekaligus mengajukan pertanyaan secara kritis tentang pengalaman yang diamati. Nussbaum mengutip pernyataan Booth yang menjelaskan bahwa penilaian kritis yang ideal harus dilakukan dengan percakapan atau diskusi bersama orang lain yang persepsinya berbeda dan menantang persepsi yang kita miliki. Perlu diingat, dalam melakukan penalaran secara kritis harus diiringi dengan pembacaan secara simpatik.

 

Rasisme dengan alasan kejahatan yang telah diperbuat juga bukan menjadi alasan pemikir kritis untuk menghiraukan latar belakangnya dalam melakukan kejahatan. Hal ini sebagaimana Nussbaum mengutarakan argumen Marcus Aurelius sebagai Kaisar Romawi dan seorang filsuf. Marcus berargumen bahwa imajinasi simpatik berkontribusi untuk meredakan kemarahan retributif.


Maksud Marcus adalah menawarkan imajinasi simpatik yang demikian karena ketika kita membayangkan mengapa seseorang datang untuk bertindak dengan cara tertentu yang umumnya dapat memicu respons kemarahan, kita cenderung tidak melakukan hal yang sama, tetapi terlalu mudah menilai orang tersebut sebagai seorang yang murni jahat dan asing.

 

Karya sastra memainkan peran penting di sini dalam menekan emosi kemarahan yang timbul dari kejahatan yang diterima. Nussbaum juga menjelaskan bahwa pemahaman karya sastra secara kritis membantu individu dalam kehidupan sehari-harinya. Seseorang yang biasa menerapkan imajinasi naratif akan lebih mudah dalam mengambil sikap ketika menghadapi kemarahan dari keluarga. Emosi yang biasanya timbul secara spontan akan lebih mudah untuk dikendalikan karena pada saat itu kita terbiasa untuk memikirkan terlebih dahulu akar dari masalah dan tindakan yang terbaik dalam menghadapinya.

 

Sistem pendidikan menjadi media yang disebut Nussbaum cukup efektif sebagai media internalisasi imajinasi naratif pada masyarakat global. Rousseau, seorang filsuf besar menjadi salah satu tokoh yang mengilhami pemikiran yang dikonsepkan oleh Nussbaum. Rousseau berpendapat bahwa sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang memperkenalkan seseorang dengan semua kondisi sosial termasuk keadaan orang miskin, sakit, kondisi seorang budak, dan kesulitan yang dialami masyarakat kelas bawah.


Sejauh hasil pembacaan penulis pada Cultivating Humanity karya Nussbaum, karya sastra yang menjadi rujukan Nussbaum adalah novel dan drama karena keduanya memiliki “alur” sehingga menekan adanya kemungkinan multitafsir baik dari penonton ataupun dari pembaca.

 

*****

[Pic: wikipedia.org]

Fina Yulfa Laila

Mahasiswi Sosiologi, Universitas Udayana

 

Martha Craven Nussbaum merupakan cendekiawan perempuan yang lahir pada 6 Mei 1947. Beliau adalah seorang profesor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Nussbaum memiliki konsentrasi studi pada bidang filsafat Yunani Kuno dan Romawi Kuno, filsafat politik, eksistensialisme, feminisme, serta etika. Selain itu, Nussbaum merupakan anggota Dewan Program Hak Asasi Manusia dan anggota Komite Studi Asia Selatan.

 

Salah satu kritikan Nussbaum menyasar fenomena rasial pada masyarakat global. Salah satu pernyataan Marcus Aurelius yang dikutip Nussbaum adalah, menjadi warga dunia seharusnya tidak hanya mengharuskan diri mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berimajinasi terhadap sesama. Hal ini perlu untuk menekan angka rasisme yang sudah dinormalisasi oleh kebanyakan masyarakat. Marcus Aurelius menjelaskan bahwa imajinasi simpatik mampu membantu seseorang dalam memahami motif dan pilihan orang-orang yang berbeda, seperti perbedaan agama, jenis kelamin, rasial, kelas, dan asal kebangsaan.

 

Nussbaum sebagai sosok yang mendalami fenomena multikultural pada masyarakat global, menilai bahwa sekian banyak perbedaan membuat tugas pemahaman simpatik menjadi semakin sulit. Kondisi ini terjadi karena perbedaan yang tidak hanya membentuk pilihan praktis kelompok, melainkan juga “bagian dalam” mereka seperti keinginan, pikiran, dan cara pandang.

 

Internalisasi stereotipe rasial dari ilmu sejarah juga memiliki pengaruh pada harga diri, prestasi, dan cinta yang memungkinkan kelompok membuat penilaian negatif pada kelompok lain, yang seolah valid karena berdasarkan internalisasi pengetahuan rasial yang diperoleh. Nussbaum juga mengutip pernyataan yang dikemukakan oleh Rousseau, orang-orang tidak sepenuhnya memahami fakta sosial yang terjadi sampai mereka mampu membayangkan kondisi sakit yang dialami orang lain.

 

Faktanya, individu akan kesulitan jika dipaksa untuk membayangkan posisi atau kondisi individu lain yang belum pernah dialaminya, misalnya seorang yang kaya berusaha menempatkan diri pada posisi sulit orang miskin. Hal ini sebagaimana perbedaan kelas sosial yang digambarkan dalam novel Charles Dickens, Hard Times dan A Christmas Carol. Kondisi tragis yang dialami masyarakat kelas menengah ke bawah dalam novel Dickens mungkin dipahami oleh pembaca dari kalangan berada, tetapi kondisi ini menjadi keprihatinan yang melintas sesaat atau bisa dikatakan tidak ditindaklanjuti karena hanya menjadi penonton dalam fakta sosial terpinggirnya suatu kelompok.

 

Berdasarkan pengamatan Nussbaum, hal ini terjadi karena telah mengakar kuatnya hak istimewa dan konvensi dari kelas, ras, etnis, jenis kelamin, dan bangsa pada suatu masyarakat, sehingga membuat mereka sulit untuk benar-benar membayangkan diri mereka sebagai pihak yang termarginalkan.

 

Karya sastra yang juga membahas kepiluan kaum miskin adalah novel Invisible Man dari Ralph Ellison. Nussbaum mengambil novel ini sebagai salah satu rujukan dalam memperlihatkan simpati yang dikesampingkan. Hal ini berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pembaca novel yang menjadi narasumber Nussbaum. Novel ini memperlihatkan fakta rasisme menembus pikiran dan emosi.

 

Fenomena rasial dari karya sastra juga dibahas oleh Walt Whitman. Nussbaum mengutip pernyataan Whitman yang memiliki pandangan mengenai pentingnya seorang sastrawan dalam mempromosikan sikap simpati pada masyarakat umum terutama mengenai keprihatian terhadap kaum marjinal seperti perempuan dan ras minoritas, serta masyarakat miskin.

 

Karya sastra lain yang dirujuk Nussbaum adalah novel James Kelman, How Late It Was How Late, sebuah karya sastra yang mendapat penghargaan Booker Prize for Fiction di tahun 1994. Novel ini menceritakan kehidupan kelas pekerja di Glasgow, Skotlandia. Isi dari karya sastra ini begitu kental dengan dialek kelas pekerja Skotlandia baik dalam komunikasi maupun cara berpikir masing-masing tokoh. Karakter kelas pekerja yang sengaja ditonjolkan oleh Kelman memiliki tujuan dalam menghidupkan kembali tema kelas pekerja yang umumnya telah dikecualikan dari sastra-sastra Inggris.

 

Selama beberapa generasi, setidaknya sejak terkenalnya karya sastra dari Dickens, terdapat gerakan inklusi, di mana tokoh-tokoh kelas pekerja muncul dalam novel sastra, tetapi suara mereka harus diasimilasi terlebih dahulu dengan wacana sastra kelas menengah. Kondisi ini memperlihatkan adanya pihak yang memang sengaja menutup-nutupi fakta marjinal yang dialami oleh kaum pekerja.

 

Karya sastra dalam bentuk drama juga menjadi perhatian Nussbaum dalam memperlihatkan unsur-unsur karya sastra yang dapat menekan rasisme. Philoctetes karya Sophocles yang diproduksi pada tahun 409 SM menjadi salah satu karya yang dibahas Nussbaum. Drama ini sebagai salah satu bentuk reaksi Sophocles dalam menanggapi krisis demokrasi Athena. Kondisi ini berkaitan dengan keberadaan warga negara yang telah menjadi orang buangan hingga lumpuh karena penyakit yang dideritanya.

 

Philoctetes menjadi pelakon yang mewakili keadaan masyarakat yang termarjinalkan pada saat itu. Pemerintah yang menormalisisasi hal ini ditanggapi berbeda oleh sebagian masyarakat. Mereka ini mampu membayangkan kondisi Philoctetes yang belum pernah mereka saksikan; membayangkan kesepiannya, rasa sakitnya, dan perjuangannya untuk bertahan hidup. Berdasarkan analisis penulis, genre drama ini menjadi salah satu contoh karya sastra yang dianjurkan oleh Nussbaum dalam mengolah rasa simpati melalui sastra dan memupuk daya pikir kritis.

 

Karya drama lain yang dikutip Nussbaum adalah Festival Tragis tradisi Yunani Kuno. Tradisi ini menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Barat terkenal dengan nalarnya yang kritis. Festival Tragis merupakan tempat menonton sebuah karya yang terkait erat dengan argumen dan musyawarah tentang nilai-nilai dasar kewarganegaraan. Lebih jelasnya, Festival Tragis memperkenalkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan manusia, jauh sebelum hal-hal buruk tersebut benar-benar terjadi. Penderitaan dan kerugian cukup jelas ditampilkan kepada penonton. Ini menjadi salah satu strategi dalam memainkan sumber daya puitis dan visual drama sebagai media yang menjembatani internalisasi nilai-nilai moral kepada masyarakat Yunani Kuno.

 

Nussbaum menjelaskan, salah satu bentuk strategi tersebut adalah mempertontonkan nasib tragis pahlawan, sekaligus menggambarkan pahlawan sebagai tokoh yang relatif baik dan kesusahan yang diperolehnya dari semangat perjuangan yang tidak ada habisnya. Drama ditampilkan sedemikian rupa agar penderitaan benar-benar menguasai imajinasi penonton. Strategi ini menjadi salah satu inspirasi Nussbaum dalam menawarkan konsep imajinasi naratif pada sistem pendidikan masyarakat global.

 

Pentingnya seni sebagai perangsang daya kritis seseorang dalam memahami kondisi sosial telah diterapkan oleh rakyat Amerika Serikat. Mereka mengakui alasan yang signifikan bahwa seni memupuk kapasitas penilaian dan kepekaan masyarakat terutama saat mereka memilih wakil negara. Nussbaum menuliskan bahwa seni yang dimaksud warga Amerika Serikat dalam batas waktu tertentu mencangkup semua seni.

 

Di sisi lain, Nussbaum juga menerangkan bahwa dalam kurikulum dunia, seni sastra menjadi media yang paling efektif dalam menggambarkan keadaan khusus dan masalah individu atau kelompok yang berbeda. Berdasarkan karya-karya yang dibahas Nussbaum, novel dan drama menjadi karya sastra utama yang mampu menjembatani penekanan fenomena rasial pada masyarakat dunia. Dikutip dari Aristoteles Bab 9 The Poetics, sastra menunjukkan kepada kita bukan terkait kondisi yang telah terjadi, tetapi lebih kepada hal yang mungkin terjadi.

 

Hal ini yang menjadi salah satu dasar Nussbaum dalam menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang kemungkinan adalah sumber daya yang sangat berharga dalam kehidupan politik yang di dalamnya mengandung unsur-unsur normalisasi rasisme. Metode pemahaman kondisi sosial melalui karya sastra juga dibahas oleh Lionel Trilling yang menyebut imajinasi pembaca sastra dalam bentuk novel menyadarkan akan pentingnya kebahagiaan sambil menghormati manusia.

 

 

*****

 


Tomy Priatna Wiria

Mahasiswa Sosiologi Universitas Udayana

 

Johan Norberg adalah seorang penulis dan analis politik yang dikenal karena dukungannya terhadap kapitalisme global. Norberg percaya bahwa pasar bebas dan globalisasi ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan manusia di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang kurang berkembang.

 

Norberg berpendapat bahwa kapitalisme global memberikan kesempatan bagi individu dan perusahaan untuk bersaing secara adil di pasar global, yang dapat meningkatkan inovasi dan efisiensi produksi. Dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi, Norberg berpendapat bahwa kapitalisme global dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat dan memperkuat hak asasi manusia.

 

Ia juga menyadari bahwa kapitalisme global tidak sempurna dan masih memiliki masalah dalam implementasinya. Ia mengakui bahwa beberapa negara masih mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan global dan memerlukan bantuan internasional. Norberg juga mengritik praktik bisnis yang tidak etis dan memperjuangkan perlindungan hak-hak pekerja dalam kontrak bisnis global.

 

Secara keseluruhan, Norberg meyakini bahwa kapitalisme global dapat menjadi kekuatan yang positif dalam meningkatkan kesejahteraan manusia di seluruh dunia, tetapi juga memerlukan pengawasan dan regulasi yang tepat untuk memastikan bahwa praktik bisnisnya adil dan etis.

 

Kapitalisme Global dan Pasar Bebas

Dalam praktiknya, kapitalisme global sering dikombinasikan dengan pasar bebas, di mana pemerintah memiliki peran yang terbatas dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sistem ini dikenal sebagai "kapitalisme pasar bebas". Namun, dalam beberapa kasus, negara dapat memiliki peran yang lebih aktif dalam mengatur kegiatan ekonomi, meskipun masih di bawah sistem kapitalisme, seperti dalam sistem kapitalisme negara kesejahteraan.

 

Kritik terhadap kapitalisme dan pasar bebas seringkali berkisar pada ketidakseimbangan kekuasaan dan kekayaan antara individu dengan perusahaan besar dan miskin, serta dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa negara telah mengadopsi campuran sistem ekonomi, yang menggabungkan elemen-elemen kapitalisme dengan sosialisme, untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang lebih seimbang.

 

Membela kapitalisme global berarti mendukung sistem ekonomi yang berbasis pada pasar bebas dan globalisasi ekonomi di seluruh dunia. Ada beberapa argumen yang digunakan untuk membela kapitalisme global, di antaranya:

 

(I)

Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan: Kapitalisme global memungkinkan pasar untuk beroperasi tanpa hambatan dan memperkuat perdagangan internasional. Ini memungkinkan perusahaan untuk mencapai skala ekonomi yang lebih besar dan lebih efisien, sehingga mampu menawarkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Hal ini dapat meningkatkan daya beli konsumen dan memperkuat pertumbuhan ekonomi, sehingga meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

 

(II)

Memperkuat inovasi dan efisiensi produksi: Kapitalisme global memotivasi perusahaan mencari cara-cara baru untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi dalam produksi. Hal ini menghasilkan teknologi yang lebih maju, proses produksi yang lebih efisien, dan produk yang lebih inovatif dan berkualitas. Hal ini dapat meningkatkan daya saing suatu negara dalam pasar global dan memperkuat ekonomi nasional.

 

(III)

Meningkatkan pertukaran ide dan budaya: Kapitalisme global juga dapat meningkatkan pertukaran ide dan budaya antara negara-negara. Hal ini dapat memperkuat pemahaman antara masyarakat dari budaya yang berbeda dan memperkuat toleransi terhadap perbedaan.

 

Demokratisasi Kapitalisme

Demokratisasi kapitalisme adalah konsep yang mengacu pada upaya untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip demokrasi ke dalam sistem ekonomi kapitalisme. Konsep ini didasarkan pada pandangan bahwa kapitalisme yang tidak diatur dapat menghasilkan ketidakadilan sosial dan ekonomi, sehingga perlu adanya perlindungan konsumen, kebijakan antimonopoli, dan pengaturan pasar yang ketat.

 

Pengintegrasian prinsip-prinsip demokrasi ke dalam kapitalisme dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, misalnya melalui pengaturan pasar yang ketat untuk memastikan adanya persaingan sehat dan mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, serta meningkatkan akses masyarakat ke kekayaan dan sumber daya.

 

Demokratisasi kapitalisme juga dapat dicapai melalui partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ekonomi, seperti melalui pemilihan wakil rakyat yang mengusulkan dan menyetujui undang-undang yang mengatur ekonomi.

 

Dalam praktiknya, beberapa negara telah mencoba untuk menerapkan konsep demokratisasi kapitalisme melalui campuran sistem ekonomi yang menggabungkan elemen-elemen kapitalisme dan sosialisme, seperti dalam sistem kapitalisme negara kesejahteraan.

 

Ada pula kritik terhadap kapitalisme global yang berdemokrasi adiluhung, yang menyatakan bahwa sistem ini mengakibatkan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi di seluruh dunia. Beberapa orang berpendapat bahwa kapitalisme hanya menguntungkan para kapitalis dan perusahaan multinasional, sementara masyarakat dan lingkungan menjadi korban dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

 

Untuk mengatasi kritik-kritik tersebut, beberapa solusi dapat dilakukan. Pertama, pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam pengaturan ekonomi. Ini dapat membantu mengurangi ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kapitalisme global. Kedua, perusahaan dapat diwajibkan untuk bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Hal ini dapat membantu mengurangi dampak negatif kapitalisme global pada masyarakat dan lingkungan. Ketiga, perdagangan internasional dapat diatur dengan cara yang lebih adil dan setara, sehingga dapat membantu mengurangi ketidakadilan ekonomi dan sosial.

 

Kesimpulannya, kapitalisme global adalah sistem ekonomi yang kompleks dengan banyak pro dan kontra. Meskipun ada beberapa kritik terhadapnya, kapitalisme global perlu dipertahankan karena dapat memungkinkan inovasi, persaingan, pengalokasian sumber daya yang lebih efisien, dan perdagangan internasional yang menguntungkan. Namun, kritik-kritik tersebut tidak boleh diabaikan. Solusi seperti pengaturan pemerintah yang lebih aktif, tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta perdagangan internasional yang lebih adil dapat membantu mengurangi dampak negatif kapitalisme global pada masyarakat dan lingkungan.

 

*****

Tajamnya pena perempuan Bali tempo dulu ternyata telah membawa perubahan  bagi keberlangsungan hidup kaumnya di masa sekarang.  

Bukti-bukti tertulis yang terhimpun dan dinarasikan dengan apik oleh I Nyoman Darma Putra dalam buku Wanita Bali Tempo Doloe: Pespektif Masa Kini, menyatakan bahwa perempuan Bali telah menyuarakan ketidakadilan gender sejak tahun 1920-an dan 1930-an.

Melalui tulisan berikut, mari kita bersama-sama menilik perjuangan perempuan Bali lewat pena di masa lampau.

Perempuan Bali Nyatanya Tidak Diam!

Sejak zaman kolonial, perempuan Bali ternyata telah aktif memperjuangkan hak-hak mereka melalui gerakan menulis.

Lewat artikel yang diterbitkan di Surya KantaAdnyanaDjatajoeBhakti, dan Damai, perempuan Bali mulai mengkritik ketidakadilan gender yang menimpa kaumnya.


Tidak hanya mengkritik, mereka saat itu juga melakukan aksi nyata dengan terjun ke masyarakat melalui program pemberantasan buta huruf, mengabadikan dirinya menjadi guru, hingga membentuk organisasi sosial seperti Poetri Bali Sadar. 

Media Massa saat itu memang menjadi salah satu arena penting bagi perempuan Bali untuk mengangkat masalah-masalah yang mereka hadapi serta menyoroti keprihatinan yang dihadapi kaum perempuan.

Selain pemberantasan buta huruf, yang juga menjadi perhatian perempuan Bali saat itu adalah untuk menyadarkan orang tua tentang pentingnya pendidikan–agar para orang tua turut menyekolahkan anak-anak perempuan mereka.

Selain itu, perempuan Bali juga mulai tergerak untuk menolak poligami. Kedudukan perempuan Bali dalam rumah tangga memang sangat direpotkan dengan kewajiban adat dan mereka juga ikut membanting tulang untuk keluarga.

Para ibu rumah tangga yang tidak tahan memikul beban sendirian itulah yang ternyata mengusulkan pada suami merekauntuk mencari istri baru agar dapat berbagi beban bersama.

Para suami yang dicarikan madu oleh istrinya sendiri lantas merasa bangga karena dirinya memiliki banyak perempuan.

Mereka pun jadi bisa memenuhi keinginannya untuk bermain sabung ayam, minum tuak, dan berpakaian bagus yang telah disiapkan oleh para istrinya.

Di masa itu, akibat masih rendahnya pendidikan, para perempuan Bali sendiri malah merasa puas dengan keadaan di atas.

Melalui tulisan-tulisan yang ditorehkan dari tangan para perempuan Bali terdidik, salah satunya I Goesti Ajoe Rapeg–yang juga tergabung menjadi anggota Poetri Bali Sadar kemudian menyatakan dukungannya terhadap peraturan pernikahan yang disiapkan oleh pemerintah Belanda.

Ketentuan dari pasal-pasal yang mempersulit suami menikah lebih dari sekali dan memperumit proses perceraian yang ternyata cukup mengentaskan poligami dan kawin-cerai pada masa itu.

Citra Diri, Wacana Perempuan Modern, dan Feminisme

Repro dari Bali A Paradise Created by Adrian Veckers dan
The Development of Painting in Bali by Suteja Neka (1989) 

Setelah memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem yang tidak adil, perempuan Bali semakin menunjukkan taring mereka melalui kritik atas citra telanjang dada.

Bali pada tahun 1920-an memang dikenal sebagai the island of bare breast yang membuat para perempuanya identik dengan bertelanjang dada.

Udara panas dan kemiskinan merupakan dua faktor utama yang membuat masyarakat Bali tempo dulu terbiasa hidup bertelanjang dada.

Tapi yang malah dieksploitasi untuk promosi wisata adalah eksotisme tubuh perempuannya.

Kecenderungan meluasnya eksploitasi terhadap figur perempuan itulah yang kemudian diprotes oleh aktivis perempuan Bali.

Ni Loeh Sami pada 25 Desember 1936 melancarkan protesnya terhadap permasalahan tersebut melalui tulisannya yang berjudul “Pintu dan Jendela masih tertutup” dimuat dalam koran Djatajoe

Selain menolak komersialisasi tubuh perempuan, ia juga mengingatkan bahwa perempuan Bali masih berada dalam keterbelakangan.

Selain itu, Ni Made Tjatri lewat tulisannya “Poetri Bali” (Djatajoe, 27 Februari 1938) menyerukan agar kaum perempuan jangan mau jadi bahan tertawaan dan direndahkan untuk dijual lewat surat-surat kabar.

Mereka juga mengajak para aktivis dan kaum terpelajar untuk melihat wacana ini dengan serius. 

Upaya para aktivis perempuan Bali tersebut kemudian mendapatkan perhatian dan dukungan dari kaum laki-laki terpelajar yang kemudian melahirkan usul penting untuk mendesak pemerintah guna meningkatkan martabat perempuan saat itu. 

Isu-isu gender kemudian semakin aktif dibicarakan pada tahun 1950-an. Saat itu Indonesia sudah merdeka dan modernitas mulai tumbuh pada kaum perempuan.

Dalam majalah Bhakti dan Damai yang terbit antara tahun 1952-1954, perempuan yang menulis memiliki rubik tersendiri yang disebut “Ruang Wanita”. 

Melalui rubik tersebut, perempuan penulis Bali banyak menumpahkan isu-isu gender tahun 1950-an seperti pergaulan bebas pada remaja perempuan, wanita modern yang terlalu maju, mode pakaian, hingga wacana pelacuran.

Di sini, wacana pelacuran banyak temuat melalui cerita pendek di mana wanita selalu saja dipojokkan. 

Meski citra mereka sangat negatif, lewat tokoh-tokoh pelacur, kritik terhadap arogansi laki-laki juga banyak dilontarkan. 

Selain mulai menulis fiksi, banyak perempuan penulis Bali terinspirasi dengan pemikiran tokoh-tokoh dunia.

Seperti halnya Dewi Poernamasasih dalam artikel “Majulah, Putri Bali” (Djatajoe, 25 Juli 1938) yang terinspirasi oleh Joze Rizal dari Filipina.

Kemudian di tahun 1950-an, para perempuan Bali mulai mengenal pergerakan kaum perempuan internasional dan nasional. 

Seperti halnya Jasmin Oka dan Tan Toan Bun yang memasukkan tokoh perempuan Asia hingga Jerman ke dalam tulisan-tulisan mereka.

Mereka terinspirasi dari tokoh perempuan seperti Vijaya Laksmi Pendit (India), Begum Liaguat Ali Khan (Pakistan), A. Marzuki (Indonesia), dan Clara Zetkin (Jerman).

Ketidakpuasan atas feminisme juga kemudian diperbincangkan di mana perempuan pada masa itu tidak lagi menentang laki-laki, tetapi sudah saatnya perempuan dan laki-laki berjuang bersama untuk mendatangkan masyarakat yang sama-sama sejahtera dan merdeka.

Gerakan Perempuan yang Lebih Besar: Perspektif Masa Kini

Jika sebelumnya tulisan-tulisan perempuan Bali lebih banyak tentang wacana modernitas, masih di tahun 1950-an, mereka memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam dunia politik.

Ratih Amarawati dan Jasmin Oka banyak memperbincangkan tentang kesempatan yang terbuka lebar untuk kaum perempuan terjun ke dunia politik.

Hal itu juga didukung dengan diresmikannya undang-undang pemilihan umum tahun 1953. 

Mereka kemudian menyimpulkan bahwa kaum perempuan harus merebut kemerdekaan dalam tiga bidang, yakni politik, sosial, dan ekonomi. 

Perempuan baru merdeka jika mereka mendapatkan kebebasan dan kemampuan untuk turut serta dalam pemerintahan dan perwakilan rakyat.

Lewat lembaga itu, maka perempuan diharapkan dapat memperjuangkan tekanan-tekanan yang dialami sesama perempuan–yang hanya bisa dirasakan oleh perempuan sendiri.

Melalui undang-undang pemilu 2003 yang menetapkan kuota 30% kursi legislatif untuk kaum perempuan, menjadi pembuktian bahwa hal tersebut adalah hasil perjuangan kesetaraan gender.

Lalu, bagaimana perspektif perempuan Bali masa kini?

Perempuan Bali memang diberatkan dalam bidang pelaksanaan adat. Di satu pihak, mereka dituntut untuk mengejar karier dan bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Sedangkan di sisi lain, perempuan Bali juga harus mengurus berbagai urusan adat yang jumlah dan frekuensinya tinggi sekali.

Perempuan Bali memang dituntut untuk bisa memainkan peran ganda seperti itu.

Namun dalam arsip-arsip yang termuat dalam buku ini, perempuan Bali tahun 1930-an dan 1950-an malah tidak menjumpai pembahasan terkait masalah adat.

Hal itu kemungkinan karena belum kuatnya konflik pemanfaatan waktu antara karier profesi dan urusan adat.

Kedudukan perempuan Bali juga lemah sekali di bidang adat bagi waris dan dianggap sebagai bentuk diskriminasi. 

Meski masih menjadi wacana yang tidak pernah dipersoalkan secara terbuka, namun saat ini sudah banyak fenomena perlawanan terhadap adat yang diskriminatif ini.

Para orang tua yang sudah berpikiran modern mulai berani memberikan warisan kepada anak perempuan mereka meski tidak lebih besar daripada yang diberikan pada anak laki-laki. 

Namun, jika menilik tulisan-tulisan perempuan Bali tempo dulu, maka akan lebih baik untuk perempuan menafsirkannya dengan mengutamakan pendidikan dibandingkan berlarut-larut pada persoalan warisan.

Prestasi dan profesi mungkin dapat memberikan banyak penghargaan dan finansial untuk menghadapi hidup.

Maka, sudah sepatutnya sebagai perempuan (Bali), kita haruslah merenungkan perjuangan-perjuangan dari pendahulu kita. 

Tulisan-tulisan yang disampaikan oleh perempuan Bali satu abad lalu agaknya masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang.

Bahwa perbaikan nasib perempuan memang hanya dapat diperjuangkan sebaik-baiknya oleh kaum perempuan itu sendiri.

Maka perempuan, berjuanglah. Menulislah!

Baca tentang wacana perempuan dalam Sastra poskolonial di sini.

*Sumber gambar sepenuhnya dari Buku "Wanita Bali Tempo Doloe: Pespektif Masa Kini" penulis I Nyoman Darma Putra.


Gerakan perempuan memiliki andil besar dalam menuntut hak-hak kaum perempuan itu sendiri. Salah satu gerakan yang bisa dilakukan adalah dengan menulis. 

Kegiatan menulis, selain dapat menjadi medium untuk olah rasa dan pikiran, ternyata juga dapat menjadi gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini disepelekan. 

Dapat dikatakan bahwa gerakan perempuan Indonesia dalam menulis pertama kalinya dicetuskan oleh R.A Kartini melalui surat-surat atas pengalaman dirinya yang merasa bahwa kaum perempuan lebih tertinggal daripada laki-laki.

R.A Kartini yang mencetuskan emansipasi perempuan pada awal abad ke-20 ternyata memberikan perubahan besar untuk perempuan Indonesia di masa depan.

Kartini mengawali upayanya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia melalui kegelisahannya akan kondisi perempuan saat itu. 

Disebutkan bahwa perempuan pada masa tersebut hanya terperosok di sumur, dapur, dan kasur.  

Kegelisahannya tersebut kemudian ia tuangkan melalui surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat penanya di Belanda, yakni Rosa Manuela Mandri dan suaminya J.H. Abendanon yang kemudian diterbitkan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Adapun yang menjadi perhatain Kartini saat itu bukan hanya soal emansipasi perempuan saja, tetapi juga yang berkaitan dengan masalah sosial. 

Kartini melihat perjuangan perempuan guna memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Cita-cita Kartini terhadap perempuan Indonesia adalah keinginan agar perempuan bisa bebas, berdiri sendiri, dan membebaskan perempuan-perempuan muda Indonesia dari kukungan adat yang mengikat. 

Kartini menuntut perbaikan kedudukan derajat wanita agar jangan hanya mengabdi kepada suami. 

Perempuan Indonesia harus bisa mengerjakan pekerjaan di luar rumah tangga. Mereka harus menjadi kaum terpelajar agar dapat membawa dampak kemajuan untuk bangsa. 

Cita-cita Kartini untuk memperjuangkan kaum perempuan ternyata membawa perubahan besar untuk menumbuhkan gerakan-gerakan perempuan lain melalui menulis. 

Gerakan perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan kemudian semakin masif karena banyak perempuan yang semakin melek huruf. 

Sesungguhnya sejak sebelum abad ke-20, perempuan menjadi lebih kritis untuk melakukan perlawanan adat, terutama kawin cerai yang merendahkan kedudukan perempuan pada saat itu di dalam keluarga. 

Di Sumatera Barat, Rohana Kudus memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dengan menjadi wartawan perempuan Indonesia yang pertama. 

Menjadi penulis surat kabar perempuan pertama di Indonesia (Poetri Hindia) yang kemudian dibredel pemerintah Belanda, Rohana kemudian berinisiatif untuk mendirikan surat kabarnya sendiri yang diberi nama "Soenting Melajoe".

Rohana memberi ruang untuk perempuan menampung pemikiran mereka melalui surat kabar yang terbit seminggu sekali sejak 10 Juli 1912.

Selain menulis dan menjadi jurnalisRoehana juga membangun fasilitas pendidikanIa mendirikan sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia pada 1911 dan sekolah Roehana School di Bukittinggi.

Di sisi lain, perjuangan pemuda Indonesia setelah Sumpah Pemuda juga mengambil peran penting bagi terbentuknya Kongres Perempuan I. 

Saat itu, Siti Soendari, seorang aktivis dan wartawan perempuan yang mendirikan buletin “Perempuan Suara Pacitan” juga turut mendapatkan kesempatan untuk berpidato di Kongres Sumpah Pemuda. 

Tema besar yang mereka bawakan dalam Kongres Perempuan I adalah mengonsolidasi perjuangan khusus perempuan dalam gerakan yang lebih besar, yakni memerdekakan Indonesia. 

Gerakan perempuan abad ke-20 tersebut kemudian turut menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. 

Seperti halnya di Bali. Gerakan perempuan Bali melaui menulis banyak dibahas melalui buku “Wanita Bali Tempo Doloe” karya I Nyoman Darma Putra. 

Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa perempuan Bali telah aktif mempublikasikan tulisan-tulisan yang menyuarakan masalah yang dihadapi perempuan sejak zaman kolonialisme (tahun 1920-1930-an). 

Mereka banyak mengkritik ketidakadilan gender melalui media massa seperti Surya Kanta, Djatajoe, Bhakti dan Damai. 

Bukan hanya melalui tulisan, perempuan Bali abad ke-20 juga terjun ke masyarakat untuk menolong kaumnya dari buta huruf hingga membentuk organisasi sosial “Poetri Bali Sadar”. 

Baca perjuangan perempuan Bali melalui pena dari masa ke masa di sini.

Perjuangan perempuan Indonesia melalui menulis ternyata telah membawa kemajuan pada peradaban bangsa: kemajuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

Mengutip buku "Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan" karya Ester Lianawati tentang Kartiniyang disebutkan bahwa meski di tengah kondisi yang terpukul, dirinya tidak tinggal diam.

Seorang Kartini yang saat itu berada dalam masa pingitan ternyata masih memiliki tujuan yang jelas. Meski kebebasannya telah terenggut, ia justru mengawali perjuangan dari keterpukulan itu.

Menuliskan pengalaman dan perasaan melalui surat-surat yang dikirimkannya ternyata telah mengubah dunia perempuan yang sempat terkukung oleh adat menyesakkan.

Kehadiran Rohana Kudus, Siti Soendari, dan perempuan-perempuan penulis lainnya pada masa sebelum kemerdekaan ternyata telah berhasil menafsirkan cita-cita Kartini.

Di kehidupan sekarang, perempuan semakin diberi kemudahan untuk mengakses kebutuhan serta melihat permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Maka dari itu, perempuan menulislah!

Bacaan lebih lanjut;

Hartutik. 2015. R.A Kartini: Emansipator Indonesia Awal Abad 20. Jurnal Seuneubok Lada, 2 (1), 86-96.

Putra, I Nyoman Dharma Putra. 2007. Wanita Bali Tempo Doloe: Perspektif Masa Kini. Denpasar: Pustaka Larasan.

Maulida, Putri. 2020. Perjuangan Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa.  Diakses melalui https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/04/09/perjuangan-perempuan-indonesia-dari-masa-ke-masa.

Janti, Nur. 2019. Mengenal Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional. Diakses melalui https://historia.id/kultur/articles/mengenal-rohana-kudus-wartawan-perempuan-pertama-yang-jadi-pahlawan-nasional-Db2lQ/page/1 

Satrio, Fidel. Perjuangan Perempuan Itu Bernama Gerwani. Diakses melalui https://manunggal.undip.ac.id/pejuang-perempuan-itu-bernama-gerwani/.






Apakah itu keadilan? Tindakan mana sebenarnya yang disebut dengan adil? 

Apabila dipandang menggunakan teropong utilitarianisme, akan dipilih jawaban yang memberikan keuntungan untuk jumlah orang terbanyak. 

Hal itulah yang nantinya akan didefinisikan sebagai keadilan. 

Untuk memahami lebih lanjut perihal pertanyaan di atas, kita akan menganalisis konsep keadilan dalam serial anime Death Note dan dua tokoh jenius di dalamnya, yakni Light Yagami (Kira) dan L. 

Anime ini singkatnya bercerita mengenai seorang pemuda bernama Light Yagami yang menemukan sebuah buku catatan (death note) milik dewa kematian bernama Ryuk. 

Dengan buku tersebut, seseorang dapat membunuh orang lain hanya dengan mengetahui wajah dan menuliskan namanya. 

Light yang menggunakan nama "Kira" sebagai samaran, akhirnya berperan seperti Tuhan dan bercita-cita untuk menciptakan dunia baru yang adil melalui pembunuhan massal terhadap para penjahat. 

Meskipun Kira dicap sebagai penjahat, namun ia justru menuai banyak dukungan di dunia maya. 

Orang-orang yang merasakan ketidakadilan dari pertimbangan bahwa prinsip an eye for an eye adalah immoral, menjadi bisa memenuhi dendam mereka lewat tindakan Kira. 

Ia pun tidak keberatan menjadi martir dan harus diburu oleh para detektif dan polisi untuk mewujudkan hal tersebut.

Sejak episode awal Death Note, konsep keadilan merupakan salah satu hal yang paling sering dibicarakan oleh para tokohnya. 

Dalam bayangan Kira, imajinasinya terhadap keadilan yang ideal adalah dunia tanpa kriminalitas. Sementara L, si detektif, memandang keadilan hanya sebagai sebuah reaksi terhadap ketidakadilan. 

Filsuf Amerika, John Rawls, berpendapat bahwa untuk memperbaiki ketidakadilan, kita harus memahami terlebih dahulu ide dasar dari keadilan itu sendiri. 

Salah satu caranya adalah dengan membayangkan orang-orang menaati semua peraturan dan memilih untuk melakukan apa yang dianggap benar. 

Kondisi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Rawls sebagai kondisi ideal. Nah, kondisi inilah yang membuat keadilan itu dapat dicapai. 

Inilah konsep keadilan yang dipahami oleh Kira, di mana ia melibatkan banyak pembunuhan untuk mencapai kondisi ideal tersebut

Sementara itu, filsuf lain, yakni Naomi Zack pernah menjelaskan apa yang disebut dengan injustice theory atau injustice correction theory

Pendekatan pada teori ini berlawanan dengan teori keadilan Rawls. Di mana Rawls melihat kondisi ideal melalui keadilan yang telah ada begitu saja sejak awal. 

Sedangkan Zack lebih mengidentifikasi ketidakadilan ketika mereka terjadi. Sehingga, hal ini menjadi jauh lebih praktis dan aplikatif untuk menunjukkan kasus ketidakadilan daripada hanya berangkat dari definisi keadilan yang terlalu luas dan abstrak. 

Berdasarkan teori ini, hanya setelah ketidakadilan telah teridentifikasi, barulah keadilan ada dan diterapkan untuk memperbaikinya.

Perburuan L terhadap Kira tidaklah didasari atas pemahaman keadilan ideal. Tetapi karena L menganggap bahwa “dunia baru” yang ingin diciptakan oleh kira itu tidak adil. 

Meskipun L tidak mendifinisikan keadilan se-frontal Kira, namun dapat dipahami bahwa ia melihat keadilan sebagai respon dari ketidakadilan. 

Jadi, ketika Kira dengan pendekatan Rawlsiannya berusaha untuk menciptakan dunia dengan keadilan sempurna, L lebih berfokus pada memperbaiki ketidakadilan yang muncul. Di sini kemudian keadilan bukan jadi fokus primernya.

Meskipun sudah lebih dari 10 tahun pasca penayangan pertamanya, perdebatan mengenai keadilan versi Kira atau L yang lebih baik masih sangat ramai di antara para penggemar Death Note. 

Di balik semua itu, seri Death Note sebenarnya menyuguhkan lebih dari sekadar pendefinisian terhadap keadilan, tapi juga pada metode dan dialektika antartokohnya untuk mencapai apa yang mereka anggap sebagai adil. 

Maka dari itu, seri ini bisa dijadikan sebagai referensi bagi mereka yang tidak cukup hanya sekadar menikmati visual saat menonton. 


Sumber gambar;

Maya Rodrigues

Bacaan lebih lanjut;

-       Wenar, L. 2008. John Rawls. Diakses dari: https://plato.stanford.edu/entries/rawls/#IdeNonIdeThe

-       Zack, N. 2016. Applicative Justice: Pragmatic Empirical Approach to Racial Injustice. Marryland: Rowmand & Littlefield.