Tajamnya pena perempuan Bali tempo dulu ternyata telah membawa perubahan  bagi keberlangsungan hidup kaumnya di masa sekarang.  

Bukti-bukti tertulis yang terhimpun dan dinarasikan dengan apik oleh I Nyoman Darma Putra dalam buku Wanita Bali Tempo Doloe: Pespektif Masa Kini, menyatakan bahwa perempuan Bali telah menyuarakan ketidakadilan gender sejak tahun 1920-an dan 1930-an.

Melalui tulisan berikut, mari kita bersama-sama menilik perjuangan perempuan Bali lewat pena di masa lampau.

Perempuan Bali Nyatanya Tidak Diam!

Sejak zaman kolonial, perempuan Bali ternyata telah aktif memperjuangkan hak-hak mereka melalui gerakan menulis.

Lewat artikel yang diterbitkan di Surya KantaAdnyanaDjatajoeBhakti, dan Damai, perempuan Bali mulai mengkritik ketidakadilan gender yang menimpa kaumnya.


Tidak hanya mengkritik, mereka saat itu juga melakukan aksi nyata dengan terjun ke masyarakat melalui program pemberantasan buta huruf, mengabadikan dirinya menjadi guru, hingga membentuk organisasi sosial seperti Poetri Bali Sadar. 

Media Massa saat itu memang menjadi salah satu arena penting bagi perempuan Bali untuk mengangkat masalah-masalah yang mereka hadapi serta menyoroti keprihatinan yang dihadapi kaum perempuan.

Selain pemberantasan buta huruf, yang juga menjadi perhatian perempuan Bali saat itu adalah untuk menyadarkan orang tua tentang pentingnya pendidikan–agar para orang tua turut menyekolahkan anak-anak perempuan mereka.

Selain itu, perempuan Bali juga mulai tergerak untuk menolak poligami. Kedudukan perempuan Bali dalam rumah tangga memang sangat direpotkan dengan kewajiban adat dan mereka juga ikut membanting tulang untuk keluarga.

Para ibu rumah tangga yang tidak tahan memikul beban sendirian itulah yang ternyata mengusulkan pada suami merekauntuk mencari istri baru agar dapat berbagi beban bersama.

Para suami yang dicarikan madu oleh istrinya sendiri lantas merasa bangga karena dirinya memiliki banyak perempuan.

Mereka pun jadi bisa memenuhi keinginannya untuk bermain sabung ayam, minum tuak, dan berpakaian bagus yang telah disiapkan oleh para istrinya.

Di masa itu, akibat masih rendahnya pendidikan, para perempuan Bali sendiri malah merasa puas dengan keadaan di atas.

Melalui tulisan-tulisan yang ditorehkan dari tangan para perempuan Bali terdidik, salah satunya I Goesti Ajoe Rapeg–yang juga tergabung menjadi anggota Poetri Bali Sadar kemudian menyatakan dukungannya terhadap peraturan pernikahan yang disiapkan oleh pemerintah Belanda.

Ketentuan dari pasal-pasal yang mempersulit suami menikah lebih dari sekali dan memperumit proses perceraian yang ternyata cukup mengentaskan poligami dan kawin-cerai pada masa itu.

Citra Diri, Wacana Perempuan Modern, dan Feminisme

Repro dari Bali A Paradise Created by Adrian Veckers dan
The Development of Painting in Bali by Suteja Neka (1989) 

Setelah memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem yang tidak adil, perempuan Bali semakin menunjukkan taring mereka melalui kritik atas citra telanjang dada.

Bali pada tahun 1920-an memang dikenal sebagai the island of bare breast yang membuat para perempuanya identik dengan bertelanjang dada.

Udara panas dan kemiskinan merupakan dua faktor utama yang membuat masyarakat Bali tempo dulu terbiasa hidup bertelanjang dada.

Tapi yang malah dieksploitasi untuk promosi wisata adalah eksotisme tubuh perempuannya.

Kecenderungan meluasnya eksploitasi terhadap figur perempuan itulah yang kemudian diprotes oleh aktivis perempuan Bali.

Ni Loeh Sami pada 25 Desember 1936 melancarkan protesnya terhadap permasalahan tersebut melalui tulisannya yang berjudul “Pintu dan Jendela masih tertutup” dimuat dalam koran Djatajoe

Selain menolak komersialisasi tubuh perempuan, ia juga mengingatkan bahwa perempuan Bali masih berada dalam keterbelakangan.

Selain itu, Ni Made Tjatri lewat tulisannya “Poetri Bali” (Djatajoe, 27 Februari 1938) menyerukan agar kaum perempuan jangan mau jadi bahan tertawaan dan direndahkan untuk dijual lewat surat-surat kabar.

Mereka juga mengajak para aktivis dan kaum terpelajar untuk melihat wacana ini dengan serius. 

Upaya para aktivis perempuan Bali tersebut kemudian mendapatkan perhatian dan dukungan dari kaum laki-laki terpelajar yang kemudian melahirkan usul penting untuk mendesak pemerintah guna meningkatkan martabat perempuan saat itu. 

Isu-isu gender kemudian semakin aktif dibicarakan pada tahun 1950-an. Saat itu Indonesia sudah merdeka dan modernitas mulai tumbuh pada kaum perempuan.

Dalam majalah Bhakti dan Damai yang terbit antara tahun 1952-1954, perempuan yang menulis memiliki rubik tersendiri yang disebut “Ruang Wanita”. 

Melalui rubik tersebut, perempuan penulis Bali banyak menumpahkan isu-isu gender tahun 1950-an seperti pergaulan bebas pada remaja perempuan, wanita modern yang terlalu maju, mode pakaian, hingga wacana pelacuran.

Di sini, wacana pelacuran banyak temuat melalui cerita pendek di mana wanita selalu saja dipojokkan. 

Meski citra mereka sangat negatif, lewat tokoh-tokoh pelacur, kritik terhadap arogansi laki-laki juga banyak dilontarkan. 

Selain mulai menulis fiksi, banyak perempuan penulis Bali terinspirasi dengan pemikiran tokoh-tokoh dunia.

Seperti halnya Dewi Poernamasasih dalam artikel “Majulah, Putri Bali” (Djatajoe, 25 Juli 1938) yang terinspirasi oleh Joze Rizal dari Filipina.

Kemudian di tahun 1950-an, para perempuan Bali mulai mengenal pergerakan kaum perempuan internasional dan nasional. 

Seperti halnya Jasmin Oka dan Tan Toan Bun yang memasukkan tokoh perempuan Asia hingga Jerman ke dalam tulisan-tulisan mereka.

Mereka terinspirasi dari tokoh perempuan seperti Vijaya Laksmi Pendit (India), Begum Liaguat Ali Khan (Pakistan), A. Marzuki (Indonesia), dan Clara Zetkin (Jerman).

Ketidakpuasan atas feminisme juga kemudian diperbincangkan di mana perempuan pada masa itu tidak lagi menentang laki-laki, tetapi sudah saatnya perempuan dan laki-laki berjuang bersama untuk mendatangkan masyarakat yang sama-sama sejahtera dan merdeka.

Gerakan Perempuan yang Lebih Besar: Perspektif Masa Kini

Jika sebelumnya tulisan-tulisan perempuan Bali lebih banyak tentang wacana modernitas, masih di tahun 1950-an, mereka memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam dunia politik.

Ratih Amarawati dan Jasmin Oka banyak memperbincangkan tentang kesempatan yang terbuka lebar untuk kaum perempuan terjun ke dunia politik.

Hal itu juga didukung dengan diresmikannya undang-undang pemilihan umum tahun 1953. 

Mereka kemudian menyimpulkan bahwa kaum perempuan harus merebut kemerdekaan dalam tiga bidang, yakni politik, sosial, dan ekonomi. 

Perempuan baru merdeka jika mereka mendapatkan kebebasan dan kemampuan untuk turut serta dalam pemerintahan dan perwakilan rakyat.

Lewat lembaga itu, maka perempuan diharapkan dapat memperjuangkan tekanan-tekanan yang dialami sesama perempuan–yang hanya bisa dirasakan oleh perempuan sendiri.

Melalui undang-undang pemilu 2003 yang menetapkan kuota 30% kursi legislatif untuk kaum perempuan, menjadi pembuktian bahwa hal tersebut adalah hasil perjuangan kesetaraan gender.

Lalu, bagaimana perspektif perempuan Bali masa kini?

Perempuan Bali memang diberatkan dalam bidang pelaksanaan adat. Di satu pihak, mereka dituntut untuk mengejar karier dan bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Sedangkan di sisi lain, perempuan Bali juga harus mengurus berbagai urusan adat yang jumlah dan frekuensinya tinggi sekali.

Perempuan Bali memang dituntut untuk bisa memainkan peran ganda seperti itu.

Namun dalam arsip-arsip yang termuat dalam buku ini, perempuan Bali tahun 1930-an dan 1950-an malah tidak menjumpai pembahasan terkait masalah adat.

Hal itu kemungkinan karena belum kuatnya konflik pemanfaatan waktu antara karier profesi dan urusan adat.

Kedudukan perempuan Bali juga lemah sekali di bidang adat bagi waris dan dianggap sebagai bentuk diskriminasi. 

Meski masih menjadi wacana yang tidak pernah dipersoalkan secara terbuka, namun saat ini sudah banyak fenomena perlawanan terhadap adat yang diskriminatif ini.

Para orang tua yang sudah berpikiran modern mulai berani memberikan warisan kepada anak perempuan mereka meski tidak lebih besar daripada yang diberikan pada anak laki-laki. 

Namun, jika menilik tulisan-tulisan perempuan Bali tempo dulu, maka akan lebih baik untuk perempuan menafsirkannya dengan mengutamakan pendidikan dibandingkan berlarut-larut pada persoalan warisan.

Prestasi dan profesi mungkin dapat memberikan banyak penghargaan dan finansial untuk menghadapi hidup.

Maka, sudah sepatutnya sebagai perempuan (Bali), kita haruslah merenungkan perjuangan-perjuangan dari pendahulu kita. 

Tulisan-tulisan yang disampaikan oleh perempuan Bali satu abad lalu agaknya masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang.

Bahwa perbaikan nasib perempuan memang hanya dapat diperjuangkan sebaik-baiknya oleh kaum perempuan itu sendiri.

Maka perempuan, berjuanglah. Menulislah!

Baca tentang wacana perempuan dalam Sastra poskolonial di sini.

*Sumber gambar sepenuhnya dari Buku "Wanita Bali Tempo Doloe: Pespektif Masa Kini" penulis I Nyoman Darma Putra.


Gerakan perempuan memiliki andil besar dalam menuntut hak-hak kaum perempuan itu sendiri. Salah satu gerakan yang bisa dilakukan adalah dengan menulis. 

Kegiatan menulis, selain dapat menjadi medium untuk olah rasa dan pikiran, ternyata juga dapat menjadi gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini disepelekan. 

Dapat dikatakan bahwa gerakan perempuan Indonesia dalam menulis pertama kalinya dicetuskan oleh R.A Kartini melalui surat-surat atas pengalaman dirinya yang merasa bahwa kaum perempuan lebih tertinggal daripada laki-laki.

R.A Kartini yang mencetuskan emansipasi perempuan pada awal abad ke-20 ternyata memberikan perubahan besar untuk perempuan Indonesia di masa depan.

Kartini mengawali upayanya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia melalui kegelisahannya akan kondisi perempuan saat itu. 

Disebutkan bahwa perempuan pada masa tersebut hanya terperosok di sumur, dapur, dan kasur.  

Kegelisahannya tersebut kemudian ia tuangkan melalui surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat penanya di Belanda, yakni Rosa Manuela Mandri dan suaminya J.H. Abendanon yang kemudian diterbitkan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Adapun yang menjadi perhatain Kartini saat itu bukan hanya soal emansipasi perempuan saja, tetapi juga yang berkaitan dengan masalah sosial. 

Kartini melihat perjuangan perempuan guna memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Cita-cita Kartini terhadap perempuan Indonesia adalah keinginan agar perempuan bisa bebas, berdiri sendiri, dan membebaskan perempuan-perempuan muda Indonesia dari kukungan adat yang mengikat. 

Kartini menuntut perbaikan kedudukan derajat wanita agar jangan hanya mengabdi kepada suami. 

Perempuan Indonesia harus bisa mengerjakan pekerjaan di luar rumah tangga. Mereka harus menjadi kaum terpelajar agar dapat membawa dampak kemajuan untuk bangsa. 

Cita-cita Kartini untuk memperjuangkan kaum perempuan ternyata membawa perubahan besar untuk menumbuhkan gerakan-gerakan perempuan lain melalui menulis. 

Gerakan perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan kemudian semakin masif karena banyak perempuan yang semakin melek huruf. 

Sesungguhnya sejak sebelum abad ke-20, perempuan menjadi lebih kritis untuk melakukan perlawanan adat, terutama kawin cerai yang merendahkan kedudukan perempuan pada saat itu di dalam keluarga. 

Di Sumatera Barat, Rohana Kudus memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dengan menjadi wartawan perempuan Indonesia yang pertama. 

Menjadi penulis surat kabar perempuan pertama di Indonesia (Poetri Hindia) yang kemudian dibredel pemerintah Belanda, Rohana kemudian berinisiatif untuk mendirikan surat kabarnya sendiri yang diberi nama "Soenting Melajoe".

Rohana memberi ruang untuk perempuan menampung pemikiran mereka melalui surat kabar yang terbit seminggu sekali sejak 10 Juli 1912.

Selain menulis dan menjadi jurnalisRoehana juga membangun fasilitas pendidikanIa mendirikan sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia pada 1911 dan sekolah Roehana School di Bukittinggi.

Di sisi lain, perjuangan pemuda Indonesia setelah Sumpah Pemuda juga mengambil peran penting bagi terbentuknya Kongres Perempuan I. 

Saat itu, Siti Soendari, seorang aktivis dan wartawan perempuan yang mendirikan buletin “Perempuan Suara Pacitan” juga turut mendapatkan kesempatan untuk berpidato di Kongres Sumpah Pemuda. 

Tema besar yang mereka bawakan dalam Kongres Perempuan I adalah mengonsolidasi perjuangan khusus perempuan dalam gerakan yang lebih besar, yakni memerdekakan Indonesia. 

Gerakan perempuan abad ke-20 tersebut kemudian turut menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. 

Seperti halnya di Bali. Gerakan perempuan Bali melaui menulis banyak dibahas melalui buku “Wanita Bali Tempo Doloe” karya I Nyoman Darma Putra. 

Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa perempuan Bali telah aktif mempublikasikan tulisan-tulisan yang menyuarakan masalah yang dihadapi perempuan sejak zaman kolonialisme (tahun 1920-1930-an). 

Mereka banyak mengkritik ketidakadilan gender melalui media massa seperti Surya Kanta, Djatajoe, Bhakti dan Damai. 

Bukan hanya melalui tulisan, perempuan Bali abad ke-20 juga terjun ke masyarakat untuk menolong kaumnya dari buta huruf hingga membentuk organisasi sosial “Poetri Bali Sadar”. 

Baca perjuangan perempuan Bali melalui pena dari masa ke masa di sini.

Perjuangan perempuan Indonesia melalui menulis ternyata telah membawa kemajuan pada peradaban bangsa: kemajuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

Mengutip buku "Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan" karya Ester Lianawati tentang Kartiniyang disebutkan bahwa meski di tengah kondisi yang terpukul, dirinya tidak tinggal diam.

Seorang Kartini yang saat itu berada dalam masa pingitan ternyata masih memiliki tujuan yang jelas. Meski kebebasannya telah terenggut, ia justru mengawali perjuangan dari keterpukulan itu.

Menuliskan pengalaman dan perasaan melalui surat-surat yang dikirimkannya ternyata telah mengubah dunia perempuan yang sempat terkukung oleh adat menyesakkan.

Kehadiran Rohana Kudus, Siti Soendari, dan perempuan-perempuan penulis lainnya pada masa sebelum kemerdekaan ternyata telah berhasil menafsirkan cita-cita Kartini.

Di kehidupan sekarang, perempuan semakin diberi kemudahan untuk mengakses kebutuhan serta melihat permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Maka dari itu, perempuan menulislah!

Bacaan lebih lanjut;

Hartutik. 2015. R.A Kartini: Emansipator Indonesia Awal Abad 20. Jurnal Seuneubok Lada, 2 (1), 86-96.

Putra, I Nyoman Dharma Putra. 2007. Wanita Bali Tempo Doloe: Perspektif Masa Kini. Denpasar: Pustaka Larasan.

Maulida, Putri. 2020. Perjuangan Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa.  Diakses melalui https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/04/09/perjuangan-perempuan-indonesia-dari-masa-ke-masa.

Janti, Nur. 2019. Mengenal Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional. Diakses melalui https://historia.id/kultur/articles/mengenal-rohana-kudus-wartawan-perempuan-pertama-yang-jadi-pahlawan-nasional-Db2lQ/page/1 

Satrio, Fidel. Perjuangan Perempuan Itu Bernama Gerwani. Diakses melalui https://manunggal.undip.ac.id/pejuang-perempuan-itu-bernama-gerwani/.






Apakah itu keadilan? Tindakan mana sebenarnya yang disebut dengan adil? 

Apabila dipandang menggunakan teropong utilitarianisme, akan dipilih jawaban yang memberikan keuntungan untuk jumlah orang terbanyak. 

Hal itulah yang nantinya akan didefinisikan sebagai keadilan. 

Untuk memahami lebih lanjut perihal pertanyaan di atas, kita akan menganalisis konsep keadilan dalam serial anime Death Note dan dua tokoh jenius di dalamnya, yakni Light Yagami (Kira) dan L. 

Anime ini singkatnya bercerita mengenai seorang pemuda bernama Light Yagami yang menemukan sebuah buku catatan (death note) milik dewa kematian bernama Ryuk. 

Dengan buku tersebut, seseorang dapat membunuh orang lain hanya dengan mengetahui wajah dan menuliskan namanya. 

Light yang menggunakan nama "Kira" sebagai samaran, akhirnya berperan seperti Tuhan dan bercita-cita untuk menciptakan dunia baru yang adil melalui pembunuhan massal terhadap para penjahat. 

Meskipun Kira dicap sebagai penjahat, namun ia justru menuai banyak dukungan di dunia maya. 

Orang-orang yang merasakan ketidakadilan dari pertimbangan bahwa prinsip an eye for an eye adalah immoral, menjadi bisa memenuhi dendam mereka lewat tindakan Kira. 

Ia pun tidak keberatan menjadi martir dan harus diburu oleh para detektif dan polisi untuk mewujudkan hal tersebut.

Sejak episode awal Death Note, konsep keadilan merupakan salah satu hal yang paling sering dibicarakan oleh para tokohnya. 

Dalam bayangan Kira, imajinasinya terhadap keadilan yang ideal adalah dunia tanpa kriminalitas. Sementara L, si detektif, memandang keadilan hanya sebagai sebuah reaksi terhadap ketidakadilan. 

Filsuf Amerika, John Rawls, berpendapat bahwa untuk memperbaiki ketidakadilan, kita harus memahami terlebih dahulu ide dasar dari keadilan itu sendiri. 

Salah satu caranya adalah dengan membayangkan orang-orang menaati semua peraturan dan memilih untuk melakukan apa yang dianggap benar. 

Kondisi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Rawls sebagai kondisi ideal. Nah, kondisi inilah yang membuat keadilan itu dapat dicapai. 

Inilah konsep keadilan yang dipahami oleh Kira, di mana ia melibatkan banyak pembunuhan untuk mencapai kondisi ideal tersebut

Sementara itu, filsuf lain, yakni Naomi Zack pernah menjelaskan apa yang disebut dengan injustice theory atau injustice correction theory

Pendekatan pada teori ini berlawanan dengan teori keadilan Rawls. Di mana Rawls melihat kondisi ideal melalui keadilan yang telah ada begitu saja sejak awal. 

Sedangkan Zack lebih mengidentifikasi ketidakadilan ketika mereka terjadi. Sehingga, hal ini menjadi jauh lebih praktis dan aplikatif untuk menunjukkan kasus ketidakadilan daripada hanya berangkat dari definisi keadilan yang terlalu luas dan abstrak. 

Berdasarkan teori ini, hanya setelah ketidakadilan telah teridentifikasi, barulah keadilan ada dan diterapkan untuk memperbaikinya.

Perburuan L terhadap Kira tidaklah didasari atas pemahaman keadilan ideal. Tetapi karena L menganggap bahwa “dunia baru” yang ingin diciptakan oleh kira itu tidak adil. 

Meskipun L tidak mendifinisikan keadilan se-frontal Kira, namun dapat dipahami bahwa ia melihat keadilan sebagai respon dari ketidakadilan. 

Jadi, ketika Kira dengan pendekatan Rawlsiannya berusaha untuk menciptakan dunia dengan keadilan sempurna, L lebih berfokus pada memperbaiki ketidakadilan yang muncul. Di sini kemudian keadilan bukan jadi fokus primernya.

Meskipun sudah lebih dari 10 tahun pasca penayangan pertamanya, perdebatan mengenai keadilan versi Kira atau L yang lebih baik masih sangat ramai di antara para penggemar Death Note. 

Di balik semua itu, seri Death Note sebenarnya menyuguhkan lebih dari sekadar pendefinisian terhadap keadilan, tapi juga pada metode dan dialektika antartokohnya untuk mencapai apa yang mereka anggap sebagai adil. 

Maka dari itu, seri ini bisa dijadikan sebagai referensi bagi mereka yang tidak cukup hanya sekadar menikmati visual saat menonton. 


Sumber gambar;

Maya Rodrigues

Bacaan lebih lanjut;

-       Wenar, L. 2008. John Rawls. Diakses dari: https://plato.stanford.edu/entries/rawls/#IdeNonIdeThe

-       Zack, N. 2016. Applicative Justice: Pragmatic Empirical Approach to Racial Injustice. Marryland: Rowmand & Littlefield.



“Cantik itu harus putih”, begitulah standar kecantikan yang ajeg di masyarakat Indonesia. 


Digaungkannya standar kecantikan untuk perempuan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari praktik hegemoni tubuh perempuan.


Hegemoni menurut Antonio Gramsci adalah unsur makna yang dipandang sebagai induk dan bersifat dominan sebagai praktik otoritatif. 


Sederhananya, hegemoni merupakan cara kelompok sosial (yang memiliki kekuasaan) memengaruhi dan menggiring kelompok sosial lain untuk mengikuti cara-cara berikut pemahaman mereka.


Kelompok sosial lain yang tidak memiliki kekuasaan telah terhegemoni–tanpa sadar, mereka turut mengikuti praktik-praktik hegemoni yang terjadi di masyarakat. 


Salah satunya adalah praktik hegemoni tubuh perempuan yang harus memiliki kulit putih, yang ternyata telah memunculkan standar kecantikan di masyarakat.

 

Standar kecantikan perempuan yang harus memiliki kulit putih tersebut tidak terlepas dari istilah “male gaze” yang digaungkan oleh Laura Mulvey. 


Sebagai pakar teori film, Mulvey menyebutkan bahwa laki-laki menggunakan sudut pandangnya untuk menciptakan wacana tentang perempuan dalam layar. 


Wacana tersebut berupa citra yang dibuat untuk memenuhi kepuasan laki-laki dengan perempuan sebagai objek. 


Dalam male gaze ini, laki-laki mengikat perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual mereka melalui berbagai citra yang menghapus kualitas perempuan. 


Hal tersebut membuat pandangan tentang perempuan seakan-akan hanya tentang tubuhnya saja.

 

Sudut pandang laki-laki atas perempuan tersebut kemudian juga turut menghegemoni sesama perempuan untuk mengikuti standar kecantikan yang telah ditetapkan. 


Perempuan seolah-olah menggunakan mata laki-laki untuk mengobjektifikasi perempuan lain. 


Hal tersebut pula yang membuat perempuan turut mengucilkan perempuan lain yang tidak putih atau tidak sesuai dengan standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. 


Praktik hegemoni tubuh perempuan kemudian semakin didukung oleh iklan produk kecantikan yang beredar di media massa. 

 

Menurut Gramsci, analisis tekstual dan ideologis terhadap iklan bukan hanya menitikberatkan pada penjualan komoditas, tetapi juga pada cara memandang dunia. 


Pekerjaan iklan adalah untuk menciptakan ‘identitas’ bagi suatu produk di tengah-tengah pemborbardiran citra yang saling bersaing dengan mengasosiasikan merek tersebut pada nilai-nilai manusiawi yang dikehendaki. 

 

Kenyataan tersebut dapat dilihat dari iklan produk kecantikan di Indonesia yang selalu menampilkan produk untuk memutihkan dan mencerahkan kulit. 


Iklan-iklan tersebut menampilkan produk-produk yang dapat memutihkan kulit dengan bintang iklannya yang kebanyakan adalah seorang perempuan yang tidak percaya diri karena memiliki kulit gelap.


Setelah menggunakan produk tersebut, barulah dirinya merasa percaya diri karena telah memiliki kulit putih yang sesuai dengan standar kecantikan.


"Perempuan Cantik" dalam Iklan

 


Salah satu iklan yang merepresentasikan praktik hegemoni tubuh perempuan adalah iklan dari merek produk kecantikan Dove. 


Dalam iklan tersebut, terdapat seorang perempuan berkulit gelap yang berubah menjadi putih setelah menggunakan produk Dove.


Iklan tersebut juga mengunakan analogi di mana ada perempuan yang mengganti bajunya menjadi warna putih setelah mengenakan baju warna coklat. 


Iklan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak karena dianggap memicu isu rasisme. 


Iklan produk kecantikan yang tayang pada tahun 2017 lalu seolah-olah mengindikasikan bahwa warna kulit gelap itu kotor dan kulit putih adalah yang bersih.

 

Fenomena tersebut diperkuat dengan hasil survei ZAP Beauty Index tahun 2018, di mana sebanyak 73.1 persen perempuan Indonesia menganggap cantik adalah memiliki kulit yang bersih, cerah, dan glowing. 


Terlebih, bukan hanya laki-laki yang mempelopori hegemoni ini, tetapi kaum perempuan sendirilah yang sesungguhnya melabeli diri dan berimbas untuk turut memberi label pada perempuan lain.

 

Menurut Saraswati dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, cantik putih Indonesia merupakan “konstruksi ideal kecantikan perempuan modern poskolonial”. 


Cantik putih ala Indonesia tersebut tidak terlepas dari pertarungan wacana mengenai putih ideal sebagai standar kecantikan perempuan, yang ditampilkan melalui majalah dan surat kabar yang ada pada saat itu.


Disebutkan bahwa, cantik Indonesia merupakan cantik yang “mengusik” dan “menantang” cantik Kaukasia dan Jepang, namun sama-sama menegaskan bahwa warna kulit putih sebagai warna unggulan.

 

Warna kulit putih kemudian menjadi penanda dari status kelas seseorang. Adapun yang dimaksudkan dari itu adalah, warna kulit terang identik dengan mereka yang berstatus sosial tinggi atau berasal dari lapisan kelas sosial atas. Sedangkan mereka yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah, seperti kelas pekerja, tidak identik dengan warna kulit terang. 


Dewasa ini, hal tersebut kemudian didukung oleh masifnya beauty vlogger yang kebanyakan mengunggah “ritual kecantikan” berupa konten-konten berupa produk kecantikan untuk merawat kulit.

 

Jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya beragam produk kecantikan yang mereka ulas merupakan produk untuk mencerahkan dan memutihkan kulit. 


Hal tersebut juga bertujuan untuk menyebarkan paradigma ke penonton, bahwa pentingnya merawat kulit adalah untuk meningkatkan pencapaian perempuan dari segi fisik. Kulit yang terlihat kusam kemudian identik dengan warna gelap, sedangkan kulit “glowing” adalah kulit yang putih dan terawat. 

 

Ritual kecantikan tersebut kemudian juga mendisiplinkan tubuh perempuan secara berbeda dari tubuh laki-laki, bahkan memanufaktur sebagai tubuh-tubuh yang patuh. 


Hal tersebut kemudian diamini oleh Michel Foucault yang menilai bahwa fenomena pendisiplinan tubuh perempuan tersebut dipengaruhi oleh relasi kuasa. 

 

Kecantikan perempuan yang telah menjadi kesepakatan bersama tidaklah tercipta secara alamiah karena media terus-menerus memproduksi wacana yang diikuti dan dipertahankan oleh masyarakat. Kecantikan yang diukur dari indikator fisik juga turut dipengaruhi sistem produksi wacana tersebut. 

 

Foucault tidak melihat disiplin menyebar secara merata pada masyarakat. Ia melihat hal tersebut “mengerebungi” dan memengaruhi kehidupan masyarakat. 


Standar kecantikan “cantik putih” yang disebarkan ke media massa dan media sosial ternyata telah membentuk persepsi publik tentang sosok perempuan ideal. Standar kecantikan tersebut dapat bertahan langgeng di masyarakat karena sistem disiplin yang menekan perempuan untuk mematuhi wacana tersebut. 

 

Masyarakat disebut-sebut sebagai panopticon yang dapat melanggengkan kontrol. Perempuan seolah-olah menjadi tahanan yang dikelilingi wacana kecantikan karena terus diawasi dan diperhatikan orang lain. 


Hal tersebut dapat dilihat dari para perempuan yang merasa minder setelah melihat penampilan perempuan lain yang sesuai standar kecantikan yang beredar di masyarakat.


Refleksi

 

Bagi Gramsci, hegemoni budaya adalah cara untuk menjaga keberlangsungan negara kapitalis. Melalui hegemoni, maka timbul pengondisian kepatuhan elemen-elemen masyarakat pada penguasa. 


Dalam hal yang telah disebutkan di atas, perempuan telah terhegemoni oleh standar yang diciptakan oleh laki-laki tentang wacana perempuan dalam layar. 


Kemudian dengan adanya iklan-iklan yang mendukung standar kecantikan “cantik putih” tersebut, ternyata semakin membius perempuan untuk tampil maksimal sesuai standar yang mengakar di masyarakat. 


Ditambah, sesama perempuan yang tidak saling mendukung perempuan lain yang "berbeda" dari standarisasi masyarakat. Hal tersebut hanyalah membuat para pemilik modal, yakni pengusaha produk kecantikan sebagai kaum kapitalis semakin melariskan produknya. 

 

Standar kecantikan “cantik putih” pun akan tetap ajeg jika tidak ada yang mendobraknya. Gramsci mengatakan bahwa jalan untuk mengatasi hegemoni budaya hanya mungkin dilakukan dalam pemulihan kesadaran masyarakat yang terbelenggu dari kelompok-kelompok kecil. 


Kelompok tersebut diharapkan dapat menjadi tulang punggung penyebaran kesadaran krisis untuk melawan standar kecantian yang berlaku di masyarakat. Gramsci mencita-citakan perubahan dari hegemoni budaya menjadi manusia bebas.

 

Salah satu filsuf perempuan Prancis, yakni Simone de Beauvoir menekankan konsep “manusia bebas” untuk perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki pilihan bebas untuk tidak mengikuti standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. 


Perempuan harus bisa menjadi dirinya sendiri karena jika terus-terusan terbelenggu dengan konstruksi media, maka ia akan terus-terusan menjadi liyan atau objek pasif yang terus dikontrol dan dieksploitasi demi kepentingan bisnis media dan pemilik produk kecantikan.

 

Dewasa ini, seiring berkembangnya zaman, pola pikir perempuan dirasa sudah mulai berubah dan mengalami kemajuan. Meski standar kecantikan “cantik putih” masih mengakar di masyarakat, ada beberapa perempuan kulit coklat yang akhirnya sadar dan mencintai makna kecantikan yang dimilikinya. 


Mereka juga mengajak perempuan lainnya untuk tidak terbelenggu dengan standar kecantikan yang berlaku. Dari sana, pada akhirnya, hanya perempuanlah yang bisa mendobrak praktik-praktik yang telah menghegemoni tubuh perempuan, yang hanya membuat dirinya merasa terbatas. 


Perempuan adalah mereka yang “cantik” dengan dirinya sendiri.



Bacaan Lebih Lanjut

 

Buku;


Barker, Chris 2000. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.


Beauvoir, Simone de. 2016. Second Sex: Kehidupan Perempuan. (Toni B. Febrianto, Penerjemah. Yogyakarta: Narasi.


Poespowardojo, T.M & Alexander Seran. 2016. Diskursus Teori-Teori Kritis: Kritik katas Kapitalisme Klasik, Modern, dan Kontemporer. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara.


Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Saraswati, Ayu L. Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan Indonesia Transnasional. 2017. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

 

Internet;

 

Al-Buchori Mahfud. Perempuan dalam Konstruksi Wacana Kecantikan. Diakses pada 9 September 2022 melalui https://www.darus.id/2022/01/perempuan-dalam-konstruksi-wacana-kecantikan.html.

 

Izzati, Fildah. F. 2019. Kulit Putih, Kesan Cantik dan Pendisiplinan Tubuh Perempuan. Diakses pada 8 September 2022 melalui https://indoprogress.com/2019/12/kulit-putih-kesan-cantik-dan-pendisiplinan-tubuh-perempuan/.

 

Triastuti, Endah. 2022. Akun-akun ‘Kampus Cantik’: Praktik Hegemoni Tubuh Perempuan di Lingkungan Kampus. Diakses pada 8 September 2022 melalui https://www.konde.co/2022/08/akun-akun-kampus-cantik-adalah-praktik-hegemoni-tubuh-perempuan-di-lingkungan-kampus.html/.


Sumber gambar;

https://www.washingtonpost.com/lifestyle/2022/08/21/colorism-korea-skin-tone/