Menyoal Cantik Putih sebagai Praktik Hegemoni Tubuh Perempuan



“Cantik itu harus putih”, begitulah standar kecantikan yang ajeg di masyarakat Indonesia. 


Digaungkannya standar kecantikan untuk perempuan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari praktik hegemoni tubuh perempuan.


Hegemoni menurut Antonio Gramsci adalah unsur makna yang dipandang sebagai induk dan bersifat dominan sebagai praktik otoritatif. 


Sederhananya, hegemoni merupakan cara kelompok sosial (yang memiliki kekuasaan) memengaruhi dan menggiring kelompok sosial lain untuk mengikuti cara-cara berikut pemahaman mereka.


Kelompok sosial lain yang tidak memiliki kekuasaan telah terhegemoni–tanpa sadar, mereka turut mengikuti praktik-praktik hegemoni yang terjadi di masyarakat. 


Salah satunya adalah praktik hegemoni tubuh perempuan yang harus memiliki kulit putih, yang ternyata telah memunculkan standar kecantikan di masyarakat.

 

Standar kecantikan perempuan yang harus memiliki kulit putih tersebut tidak terlepas dari istilah “male gaze” yang digaungkan oleh Laura Mulvey. 


Sebagai pakar teori film, Mulvey menyebutkan bahwa laki-laki menggunakan sudut pandangnya untuk menciptakan wacana tentang perempuan dalam layar. 


Wacana tersebut berupa citra yang dibuat untuk memenuhi kepuasan laki-laki dengan perempuan sebagai objek. 


Dalam male gaze ini, laki-laki mengikat perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual mereka melalui berbagai citra yang menghapus kualitas perempuan. 


Hal tersebut membuat pandangan tentang perempuan seakan-akan hanya tentang tubuhnya saja.

 

Sudut pandang laki-laki atas perempuan tersebut kemudian juga turut menghegemoni sesama perempuan untuk mengikuti standar kecantikan yang telah ditetapkan. 


Perempuan seolah-olah menggunakan mata laki-laki untuk mengobjektifikasi perempuan lain. 


Hal tersebut pula yang membuat perempuan turut mengucilkan perempuan lain yang tidak putih atau tidak sesuai dengan standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. 


Praktik hegemoni tubuh perempuan kemudian semakin didukung oleh iklan produk kecantikan yang beredar di media massa. 

 

Menurut Gramsci, analisis tekstual dan ideologis terhadap iklan bukan hanya menitikberatkan pada penjualan komoditas, tetapi juga pada cara memandang dunia. 


Pekerjaan iklan adalah untuk menciptakan ‘identitas’ bagi suatu produk di tengah-tengah pemborbardiran citra yang saling bersaing dengan mengasosiasikan merek tersebut pada nilai-nilai manusiawi yang dikehendaki. 

 

Kenyataan tersebut dapat dilihat dari iklan produk kecantikan di Indonesia yang selalu menampilkan produk untuk memutihkan dan mencerahkan kulit. 


Iklan-iklan tersebut menampilkan produk-produk yang dapat memutihkan kulit dengan bintang iklannya yang kebanyakan adalah seorang perempuan yang tidak percaya diri karena memiliki kulit gelap.


Setelah menggunakan produk tersebut, barulah dirinya merasa percaya diri karena telah memiliki kulit putih yang sesuai dengan standar kecantikan.


"Perempuan Cantik" dalam Iklan

 


Salah satu iklan yang merepresentasikan praktik hegemoni tubuh perempuan adalah iklan dari merek produk kecantikan Dove. 


Dalam iklan tersebut, terdapat seorang perempuan berkulit gelap yang berubah menjadi putih setelah menggunakan produk Dove.


Iklan tersebut juga mengunakan analogi di mana ada perempuan yang mengganti bajunya menjadi warna putih setelah mengenakan baju warna coklat. 


Iklan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak karena dianggap memicu isu rasisme. 


Iklan produk kecantikan yang tayang pada tahun 2017 lalu seolah-olah mengindikasikan bahwa warna kulit gelap itu kotor dan kulit putih adalah yang bersih.

 

Fenomena tersebut diperkuat dengan hasil survei ZAP Beauty Index tahun 2018, di mana sebanyak 73.1 persen perempuan Indonesia menganggap cantik adalah memiliki kulit yang bersih, cerah, dan glowing. 


Terlebih, bukan hanya laki-laki yang mempelopori hegemoni ini, tetapi kaum perempuan sendirilah yang sesungguhnya melabeli diri dan berimbas untuk turut memberi label pada perempuan lain.

 

Menurut Saraswati dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, cantik putih Indonesia merupakan “konstruksi ideal kecantikan perempuan modern poskolonial”. 


Cantik putih ala Indonesia tersebut tidak terlepas dari pertarungan wacana mengenai putih ideal sebagai standar kecantikan perempuan, yang ditampilkan melalui majalah dan surat kabar yang ada pada saat itu.


Disebutkan bahwa, cantik Indonesia merupakan cantik yang “mengusik” dan “menantang” cantik Kaukasia dan Jepang, namun sama-sama menegaskan bahwa warna kulit putih sebagai warna unggulan.

 

Warna kulit putih kemudian menjadi penanda dari status kelas seseorang. Adapun yang dimaksudkan dari itu adalah, warna kulit terang identik dengan mereka yang berstatus sosial tinggi atau berasal dari lapisan kelas sosial atas. Sedangkan mereka yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah, seperti kelas pekerja, tidak identik dengan warna kulit terang. 


Dewasa ini, hal tersebut kemudian didukung oleh masifnya beauty vlogger yang kebanyakan mengunggah “ritual kecantikan” berupa konten-konten berupa produk kecantikan untuk merawat kulit.

 

Jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya beragam produk kecantikan yang mereka ulas merupakan produk untuk mencerahkan dan memutihkan kulit. 


Hal tersebut juga bertujuan untuk menyebarkan paradigma ke penonton, bahwa pentingnya merawat kulit adalah untuk meningkatkan pencapaian perempuan dari segi fisik. Kulit yang terlihat kusam kemudian identik dengan warna gelap, sedangkan kulit “glowing” adalah kulit yang putih dan terawat. 

 

Ritual kecantikan tersebut kemudian juga mendisiplinkan tubuh perempuan secara berbeda dari tubuh laki-laki, bahkan memanufaktur sebagai tubuh-tubuh yang patuh. 


Hal tersebut kemudian diamini oleh Michel Foucault yang menilai bahwa fenomena pendisiplinan tubuh perempuan tersebut dipengaruhi oleh relasi kuasa. 

 

Kecantikan perempuan yang telah menjadi kesepakatan bersama tidaklah tercipta secara alamiah karena media terus-menerus memproduksi wacana yang diikuti dan dipertahankan oleh masyarakat. Kecantikan yang diukur dari indikator fisik juga turut dipengaruhi sistem produksi wacana tersebut. 

 

Foucault tidak melihat disiplin menyebar secara merata pada masyarakat. Ia melihat hal tersebut “mengerebungi” dan memengaruhi kehidupan masyarakat. 


Standar kecantikan “cantik putih” yang disebarkan ke media massa dan media sosial ternyata telah membentuk persepsi publik tentang sosok perempuan ideal. Standar kecantikan tersebut dapat bertahan langgeng di masyarakat karena sistem disiplin yang menekan perempuan untuk mematuhi wacana tersebut. 

 

Masyarakat disebut-sebut sebagai panopticon yang dapat melanggengkan kontrol. Perempuan seolah-olah menjadi tahanan yang dikelilingi wacana kecantikan karena terus diawasi dan diperhatikan orang lain. 


Hal tersebut dapat dilihat dari para perempuan yang merasa minder setelah melihat penampilan perempuan lain yang sesuai standar kecantikan yang beredar di masyarakat.


Refleksi

 

Bagi Gramsci, hegemoni budaya adalah cara untuk menjaga keberlangsungan negara kapitalis. Melalui hegemoni, maka timbul pengondisian kepatuhan elemen-elemen masyarakat pada penguasa. 


Dalam hal yang telah disebutkan di atas, perempuan telah terhegemoni oleh standar yang diciptakan oleh laki-laki tentang wacana perempuan dalam layar. 


Kemudian dengan adanya iklan-iklan yang mendukung standar kecantikan “cantik putih” tersebut, ternyata semakin membius perempuan untuk tampil maksimal sesuai standar yang mengakar di masyarakat. 


Ditambah, sesama perempuan yang tidak saling mendukung perempuan lain yang "berbeda" dari standarisasi masyarakat. Hal tersebut hanyalah membuat para pemilik modal, yakni pengusaha produk kecantikan sebagai kaum kapitalis semakin melariskan produknya. 

 

Standar kecantikan “cantik putih” pun akan tetap ajeg jika tidak ada yang mendobraknya. Gramsci mengatakan bahwa jalan untuk mengatasi hegemoni budaya hanya mungkin dilakukan dalam pemulihan kesadaran masyarakat yang terbelenggu dari kelompok-kelompok kecil. 


Kelompok tersebut diharapkan dapat menjadi tulang punggung penyebaran kesadaran krisis untuk melawan standar kecantian yang berlaku di masyarakat. Gramsci mencita-citakan perubahan dari hegemoni budaya menjadi manusia bebas.

 

Salah satu filsuf perempuan Prancis, yakni Simone de Beauvoir menekankan konsep “manusia bebas” untuk perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki pilihan bebas untuk tidak mengikuti standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. 


Perempuan harus bisa menjadi dirinya sendiri karena jika terus-terusan terbelenggu dengan konstruksi media, maka ia akan terus-terusan menjadi liyan atau objek pasif yang terus dikontrol dan dieksploitasi demi kepentingan bisnis media dan pemilik produk kecantikan.

 

Dewasa ini, seiring berkembangnya zaman, pola pikir perempuan dirasa sudah mulai berubah dan mengalami kemajuan. Meski standar kecantikan “cantik putih” masih mengakar di masyarakat, ada beberapa perempuan kulit coklat yang akhirnya sadar dan mencintai makna kecantikan yang dimilikinya. 


Mereka juga mengajak perempuan lainnya untuk tidak terbelenggu dengan standar kecantikan yang berlaku. Dari sana, pada akhirnya, hanya perempuanlah yang bisa mendobrak praktik-praktik yang telah menghegemoni tubuh perempuan, yang hanya membuat dirinya merasa terbatas. 


Perempuan adalah mereka yang “cantik” dengan dirinya sendiri.



Bacaan Lebih Lanjut

 

Buku;


Barker, Chris 2000. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.


Beauvoir, Simone de. 2016. Second Sex: Kehidupan Perempuan. (Toni B. Febrianto, Penerjemah. Yogyakarta: Narasi.


Poespowardojo, T.M & Alexander Seran. 2016. Diskursus Teori-Teori Kritis: Kritik katas Kapitalisme Klasik, Modern, dan Kontemporer. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara.


Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Saraswati, Ayu L. Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan Indonesia Transnasional. 2017. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

 

Internet;

 

Al-Buchori Mahfud. Perempuan dalam Konstruksi Wacana Kecantikan. Diakses pada 9 September 2022 melalui https://www.darus.id/2022/01/perempuan-dalam-konstruksi-wacana-kecantikan.html.

 

Izzati, Fildah. F. 2019. Kulit Putih, Kesan Cantik dan Pendisiplinan Tubuh Perempuan. Diakses pada 8 September 2022 melalui https://indoprogress.com/2019/12/kulit-putih-kesan-cantik-dan-pendisiplinan-tubuh-perempuan/.

 

Triastuti, Endah. 2022. Akun-akun ‘Kampus Cantik’: Praktik Hegemoni Tubuh Perempuan di Lingkungan Kampus. Diakses pada 8 September 2022 melalui https://www.konde.co/2022/08/akun-akun-kampus-cantik-adalah-praktik-hegemoni-tubuh-perempuan-di-lingkungan-kampus.html/.


Sumber gambar;

https://www.washingtonpost.com/lifestyle/2022/08/21/colorism-korea-skin-tone/

0 Comments:

Post a Comment