Industri Ketidakbahagiaan

 

Pic: reddit.com

Hans Hayon

……..

Oh, I hope you’re happy, but not like how you were with me

Aku berharap kau bahagia, tapi tidak sebahagia seperti saat kau bersamaku

I’m selfish, I know, I can’t let you go

Aku tahu aku egois, aku tidak bisa melepaskanmu

So find someone great, but don’t find no one better

Jadi temukanlah seseorang yang baik, tapi jangan temukan yang lebih baik dariku

I hope you’re happy, but don’t be happier

Aku berharap kau bahagia, tapi jangan terlalu bahagia.

……..

(Happier, Olivia Rodrigo).

 

***

Sudah terlalu sering kita diberitahu bahwa kebahagiaan dan perasaan tidak bahagia merupakan predisposisi batin yang bersifat personal, dengan kadar dan derajat yang berbeda, dari satu orang dengan yang lain, dari satu masa ke masa yang lain. Namun benarkah demikian?

Tulisan ini menyoba membongkar mekanisme monopoli kebahagiaan dalam masyarakat kita sejak masa industrial hingga pos-Industri hari ini. Dengan memeriksa sejumlah asumsi filosofis dan kultural melalui pendekatan ekonomi-politik, tulisan ini berargumen bahwa dimensi kebahagiaan mesti melampaui nilai-nilai pasar sekaligus membuka medan pembahasan baru tentang kebahagiaan sebagai sebuah proses yang tidak pernah rampung digarap.

 

Tiga Cara Memahami Kebahagiaan

Ketidakbahagiaan dapat dibagi ke dalam tiga arus pemikiran utama yakni: Pertama, utilitarianisme. Mereka percaya bahwa kebahagiaan selalu berhubungan dengan kemampuan mengakses kesenangan atau hedonia. Kedua, etis dan teologis, di mana kebahagiaan dipahami sebagai hasil pencapaian dari kehidupan yang baik atau eudaimonia. Ketiga, perspektif historis dan mesianik yang berhubungan dengan janji Pencerahan yang senantiasa ditunda. Ini terutama dipengaruhi oleh pemikiran Frankfurt School yang mendeskripsikan kemungkinan kebahagiaan melalui ketidakhadirannya yang abadi.

 

Cara pandang ketiga tampak dalam karya-karya psikoanalisa awal Sigmund Freud. Bagi Freud, hasrat kita tidak akan pernah terpenuhi tetapi selalu berhubungan dengan kegagalan. Dalam Civilization and its Discontents (2010), buku yang ditulis pada akhir hidupnya, Freud menyimpulkan, “upaya menjadi bahagia, di mana prinsip kesenangan justru membebankan kita, tidak akan pernah terpenuhi”. Ini mengarahkan kita pada perspektif lain bahwa kita bukan lagi mencari kepuasan kita dari salah satu sisi saja. Singkatnya, kita ditakdirkan untuk mencari kebahagiaan meskipun kita tidak pernah bisa lepas dari momen tragis dalam hidup.

 

Distribusi Risiko Ke(tidak)bahagiaan

Pada awal tahun 1970-an, kelompok kanan menggelar parade kemenangan Margaret Thatcher di Inggris dan tentu saja Ronald Reagan di Amerika Serikat, bersamaan dengan kebangkitan krisis minyak global dan selanjutnya robohnya pasar saham pada pertengahan 1970. Mengatasi hal tersebut, tidak butuh waktu lama, Thatcher mengubah agenda politiknya dengan menginisiasi program melawan dan mengalahkan Partai Buruh Inggris. Semua orang tahu, thatcherisme mendukung pasar bebas, kontrol ketat atas belanja publik, privatisasi pelayanan publik. Bagian terakhir inilah yang hari ini kita kenal dengan sebutan neoliberalisme. Sebuah sistem ekonomi yang dibangun dan bertahan melalui mekanisme utang. Atau mengutip Tohmas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014) sebagai “masa lampau yang melahap masa depan”. Pernyataan Piketty itu dapat kita lihat hari ini, dimana-mana.

 

Watak buruk dari neoliberalisme terletak, bukan hanya pada ekonomi melainkan juga merangsek masuk ke dalam sistem sosial, budaya, dan politik. Dengan menjadikan pasar bebas sebagai rule of the game, perhatian publik dibuat kabur untuk melihat bahwa mitos itu diciptakan untuk menyembunyikan monopoli dan privatisasi. Hebatnya lagi, privatisasi diterapkan dalam dua arah, yakni privatisasi modal di satu sisi dan privatisasi serentak distribusi risiko yang dihasilkan di lain sisi. Akibatnya, ketika berbicara tentang ke(tidak)bahagiaan, dimensi itu cenderung direduksi menjadi kesenangan (pleasure) yang dapat dikomodifikasi sedemikian rupa, menyentuh orang per orang secara pribadi dari ruang seminar hingga kamar tidur dan toilet. Akibatnya, ke(tidak)bahagiaan otomatis dianggap sebagai risiko yang mesti ditanggung oleh seseorang secara personal.

 

Gagal menjelaskan akar ekonomi politik ke(tidak)bahagiaan, orang diajak untuk mengunjungi psikiater, psikolog, membeli buku psikologi how to, dan sesekali berlatih berpikir positif. “Segalanya akan indah pada waktunya” merupakan ungkapan paling konkret untuk menjelaskan hal tersebut. Argumentasi ini tidak mengada-ngada. Barbara Ehrenreich dalam bukunya Smile or Die: How Positive Thinking Fooled America and the World (2010) mengeksplorasi tirani positif thinking yang menjauhkan kita dari problem ekonomi politik. Orang dibujuk untuk menghabiskan uang dan waktunya pada janji akan masa depan cerah yang palsu. Ajakan untuk berpikir positif justru membuat kita semakin bodoh, sulit menganalisis akar dari soal yang sedang kita hadapi. Atau kalau pun menemukan akarnya, itu terletak di dalam diri kita sendiri. Akibatnya, situasi ketidakamanan, kerja dengan upah rendah, kemiskinan kelaparan, pengangguran, disebabkan oleh karena mentalitas malas dan tidak mau berusaha. Klaim problem personal semacam ini justru melanggengkan praktik kapital finansial yang memberikan berbagai jenis tawaran mulai dari pinjaman online, kredit “murah”, hingga judi. Seperti Durkheim dalam studinya tentang bunuh diri dalam Suicide (2005) menunjukkan bahwa bunuh diri sebenarnya merupakan efek tak kelihatann dari ketidakbahagiaan yang ditimbulkan oleh kebangkitan industri dan sistem pabrik yang merusak masyarakat tradisional yang juga turut menjelaskan kesengsaraan modern yang ekstrim.

 

Ke(tidak)bahagiaan dan Politik

Subjudul ini dirumuskan persis ketika saya mengingat Ode to Joy karya Ludwig van Beethoven yang disusun pada tahun 1824 khususnya Simphony Nomor 9. Pada tahun 1972, Dewan Eropa menjadikan itu sebagai lagu kebangsaan internasional Uni Eropa. Teks Ode to Joy sebenarnya hasil sedikit modofikasi dari tulisan penyair Jerman, Johann Christoph Friedrich von Schiller pada musim panas 1785. Itu adalah puisi perayaan yang membahas persatuan seluruh umat manusia di dunia.

 

Tanpa harus menuliskan secara lengkap teksnya di sini, dapat disebut bahwa musik di atas mau menegaskan satu hal yang paradoksal. Bahwa beberapa emosi seperti cinta atau benci, kegembiraan atau duka cita, penerimaan atau penolakan, dapat membuat kita bahagia tapi juga membuat kita mudah terluka. Paradoks-paradoks di atas hadir bukan untuk dipecahkan melainkan untuk dialami secara eksistensial. Maksudnya, hadirnya pardoks tersebut hendak membuka percakapan baru tentang basis material eksistensi manusia.

 

Kegagalan filsafat Barat dan metafisika Barat justru terletak di sini yakni mengembalikan dimensi ketidakbahagiaan dan kesengsaraaan manusia pada eksistensinya sebagai manusia yang diliputi oleh dualisme abadi. Tanpa membongkar mekanisme beroperasinya ekonomi politik yang berhubungan secara langsung dengan dimensi eksistensial manusia, percakapan ini terkunci pada isu demokratisasi sebagai sebuah sistem. Itu tampak dalam definisi yang diberikan oleh Hannah Arendt yang berargumen bahwa “tidak seorang pun disebut bahagia atau bebas tanpa partisipasi dan saling berbagi dalam kekuasaan publik”. Arendt menulis tentang “kebahagiaan publik” dalam bukunya On Revolutions yang dipublikasikan pada 1963, melanjutkan esainya berjudul “Revolution and Public Happines” (1960). Apa yang Arendt harapkan dan tekankan yakni semangat radikal untuk memberi energi bagi orang dalam momen-momen revolusioner, membawa orang banyak ke dalam ikatan aktif dengan politik untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan menciptakan dunia yang lebih adil, lebih egaliter, di mana setiap orang dapat memiliki apa yang Arendt lihat sebagai kesenangan (pleasure) berpartisipasi dalam musyawarah publik tentang isu-isu penting.

 

Absen mengelaborasi bagaimana ideologi neoliberalisasi beroperasi, tulisan ini coba menyodorkan perspektif pembanding. Perspektif itu bertolak dari problem mendasar yang menjadi konsentrasi kajian sosial-politik global yakni privatisasi dan monopoli.  

 

Menjadikan Ke(tidak)bahagiaan sebagai Industri

Sulit menebak bagaimana ketidakbahagiaan dibuat menjadi komoditas. Namun dalam bukunya Let Them Eat Prozac (2004), David Healy menjelaskan bahwa pada tahun 1950-an dan 1960-an, hanya ada pasar kecil obat-obatan bagi mereka yang didiagnosa menderita depresi menengah. Tetapi sejak tahun 1970-an, terjadi ekspansi sistematis dan ketika perusahaan farmasi global bernama Eli Lilly yang berbasis di Amerika Serikat meluncurkan Prozac pada tahun 1987 sebagai obat bagi depresi serius dan gangguan mental lainnya, secara cepat Prozac menjadi salah satu obat terlaris di dunia. Patut dicatat bahwa Prozac ini merupakan merk obat minum berupa kapsul dengan bahan aktif utama fluoxetine.

 

Bahkan WHO pada tahun 2012 memprediksi bahwa depresi segera menjadi problem kesehatan tersebesar kedua di dunia sesudah penyakit jantung. Media massa juga terlibat dalam proyek ini untuk memopulerkan gangguan terbaru itu. Pada tahun 2006, BBC menghadirkan komedian populer Stephen Fry untuk mewawancarai selebriti yang membagikan pengalaman schizophrenia dan gangguan bipolarnya. Tidak berhenti di situ. Program ini juga didukung kuat oleh kelompok peneliti fisika terkenal di Harvard Medical School, termasuk Joseph Biederman, yang sekarang diketahui menerima dana dari perusahan-perusahan besar obat. Artikel kritis dari fisikawan Amerika Marcia Angell di New York Review of Books (2011) menyoroti banyak publikasi tentang bahaya dari obat-obat golongan psikotropika dan risiko mempromisikan mereka. Mengkritik publikasi Fisikawan Amerika Daniel Carlat bertajuk Unhinged: The Trouble with Psychiatry (2010), Angel secara gamblang mengatakan bahwa profesi fisikawan sedang dalam krisis sejak secara blak-blakan dihubungkan dengan, dan dimanipulasi oleh, perusahan farmasi. Daniel mengakui bahwa seperti banyak fisikawan lain, dia menerima ribuan dolar dari perusahan obat untuk mendukung penelitian dan pengembangan obat anti-depresan di universitas-universitas.

 

Meskipun demikian, ada juga perspektif lain yang menganalisis depresi dan ketidakbahagiaan sebagai fenomena sosial-kultural daripada penyakit medis. Ada hubungan antara kebahagiaan dan persatuan sebagai perasaan kepublikan. Itu dibentuk pada tahun 2001, dalam bayang-bayang 11 September dan invansi AS ke Irak. Ini juga menjelaskan mengapa masyarakat memilih Bush dan menyetujui adanya perang yang dimulai dengan agresi militer ke Afganistan pada Oktober 2001.

 

Singkatnya, budaya kapitalisme menjaga individu-individu agar tidak puas sehingga mereka dapat terus mencari kepuasan dari sana, tetapi tidak akan pernah puas dengan cara apa pun. Semangat kapitalisme mengatur ekonomi-politik ketidakbahagiaan dan memastikan setiap individu menemukan pemenuhan parsial dengan bekerja dan konsumsi. Kebahagiaan riil, tegas Adorno mengingatkan kita, mestinya bukan terus mencari sumber baru kebahagiaan. Selama periode stabilitas, kapitalisme secara sukses mengatur distribusi kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Tanpa ada analisis ekonomi-politik yang komprehensif, ketidakbahagiaan lalu menjadi konsentrasi kajian psikologi semata. Seolah-olah tidak bahagia hanyalah problem psikologis dan bukan ekonomi-politik. Pereduksian ini dibuat dalam rangka mengembalikan problem tersebut dengan cara melalkukan proses produksi dan konsumsi.

 

Bacaan Lebih Lanjut:

William Davies, The Political Economy of Unhappiness. New Left Review 71, Sep-Oct. 2011:65-80.

Lynne Segal, Radical Happiness (Moments of Collective Joy). London and USA: Verso, 2017.

Keith Dowding, James Hughes, and Helen Margetts (eds.). 2000. Challenges to Democracy (Ideas, Involvement and Institution). Political Studies Association (PSA) Yearbook Series 1999. Palgrave Macmillan.

 

 

1 comment: