Karakter dan Orientasi DEKONSTRUKSI Jacques Derrida

[Pic: filmlinc.org]

Sisilia Agustania Mariasta Suki Dato

“Dekonstruksi” adalah teori sekaligus metode yang dicetuskan oleh Derrida. Ia mengatakan bahwa kebenaran tidak harus ditempatkan sebagai hal yang tunggal, umum, dan universal; nyatanya, kebenaran lebih bersifat plural, partikular, dan relatif. Dalam metode dekonstruksi, Derrida menyatakan ini untuk memaksudkan pemikirannya, sekaligus menjadi kritiknya atas modernitas. Ia mengadaptasi kata “dekonstruksi” dari kata “destruksi”  yang dicetuskan oleh Martin Heidgger.

Terdapat tiga karakter penting dekonstruksi Derrida. Pertama, seperti perubahan, dekonstruksi terjadi secara terus-menerus dan selalu dengan cara yang berbeda guna mempertahankan kehidupan (kontinyuitas). Kedua, terjadi dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk di dalamnya teks dan bahasa. Ketiga, dekonstruksi bukan suatu alat, kata, ataupun teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi.

Dekonstruksi berarti menghancurkan dan membangun ulang, namun dengan bentuk yang berbeda. Dalam sistem filsafat, Derrida mengartikan dekonstruksi sebagai pengalihan atau peralihan pemikiran dari pusat ke pinggiran. Metode dekonstruksi muncul dari pengamatan atau pembacaan Derrida oleh obyek yang mengambang bebas. Salah satu tujuan dekonstruksi Derrida adalah membongkar tatanan yang meyakini “pengenalan langsung terhadap realitas”, karena sesungguhnya pengenalan kita selalu hanya berangkat dari “jejak” (trace).

Lebih jauh, metode dekonstruksi merupakan hasil pemikiran Derrida mengenai sistem fenomenologi Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Fenomenologi merupakan filsafat tentang makna yang diasumsikan dapat diperoleh dalam suatu lingkungan yang pasti dan mampu dikenal langsung (unmediated) sehingga dengan sendirinya ia terlihat sebagai suatu “kehadiran” (presence) pada persepsi kita. Pada pandangan modernisme subyek-obyek, esensi-eksistensi, umum-khusus, absolut-relatif, dan lain-lain menunjukkan bahwa kata pertama menjadi pusat, pondasi, prinsip, dan dominan atas “kata” berikutnya. Pandangan mengenai pusat, pondasi, prinsip, dan dominasi tersebut coba dibongkar oleh dekonstruksi sehingga menyisakan pinggiran.

Bahasa merupakan pusat perhatian pemikiran dekonstruksi Derrida yang pertama. Pemikiran ini diambil karena ide, gagasan, dan konsep selalu diungkapkan melalui bahasa. Dengan kata lain: bahasa dianggap mewakili realitas. Bahasa menentukan prioritas suatu hal atas yang lain, sekaligus menjadi tempat “persembunyian”. Perlahan-lahan, bahasa menjadi tema sentral yang dilihat secara tematis logis. Dalam esai White Mythology: Metaphor in the Text of Philosophy, Derrida tak mengaitkan bahasa pada “ada” seperti Heidgger, tetapi pada permainan perbedaan.

Menurutnya, setiap teks selalu dibangun dalam perbedaan. Teks atau tulisan adalah sumber bahasa. Teks merupakan bahasa yang maksimal karena teks bukan hanya terdapat dalam tataran pikiran manusia, namun teks juga konkret di atas halaman. Dengan begitu, apa yang dikatakan oleh Roland Barthes, “Penulis telah mati sejak berada di kamarnya”, sesuai jika dikatikan dengan pemikiran Derrida mengenai teks dan bahasa. Teks terlepas dari penulisnya saat ia berada di ruang halaman. “Kata-kata selalu dapat diberi tafsiran berbeda-beda, dan teks selalu dapat dibaca dengan cara baru”. Derrida mencoba menampilkan keagungan dari bahasa yang mencari makna terdalamnya dengan caranya sendiri.

Derrida turut memiliki pemikiran tentang difference, yaitu konsep tentang makna dan bahasa yang bersifat arbiter (tidak stabil). “Jangan mencari makna dari teks, tetapi ciptakan maknamu sendiri”. Dalam upaya menguraikan pernyataan Derrida, kita wajib kembali pada difference. Makna sebagai tanda, selalu tertunda, juga dengan kehadiran makna, atau dengan arti lain masih bergerak antara masa lalu dengan masa yang akan datang. Difference juga berarti suatu gerakan dari masa sekarang ke masa lalu dan masa yang akan datang.

Menurut Derrida, tulisan (yang merupakan manifestasi ketidakhadiran) lebih tepat mewakili sistem pemberian makna. Tulisan merupakan proses perubahan makna yang terus-menerus dan perubahan tersebut menempatkan posisinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Ia ingin menjadikan bahasa yang digunakannya sebagai sarana untuk menampilkan kebenaran dan makna riil yang berada di luar wilayah bahasa. Cara baca Derrida dalam teks filosofis merupakan cara yang hendak melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik setiap tulisan tersebut, yaitu dengan cara membongkar sistem perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya.

*****

3 comments: