![]() |
Angga Wijaya
Kerinduan Doa-doa
Kudengar doa mengalun
dari pura sebelah rumah
kabarkan rindu kampung
puluhan tahun lalu berlalu
kutinggalkan dan kulupa
Untuk apa bertahan di kota
jika pekerjaan tak ada lagi
pandemi sudahi semuanya
Pantai kini sepi, kota seakan
mati, tragedi belum juga usai
Kesunyian aku rasakan di hati
seperti surat pemutusan kerja
kubaca dengan rasa putus asa
harapan kurasa tak ada lagi
Lari atau hadapi kenyataan
Ada yang mengajakku berdoa
mengadu pada pemilik hidup
Telah lama aku tak percaya
menghamba pada logika
Tak membuatku bahagia
Aku pulang dengan keharuan
banyak kenangan yang datang
Kerinduan itu lama terpendam
Kuperam dalam hangat jiwa
seperti sebuah doa-harapan
2020
Kematian Penyair
untuk KSA
Kita semua akan mati
bukan oleh penyakit
tapi karena padamnya
bara harapan.
Puisi kini tak lebih dari
tumpukan kain bekas
Koran-koran menutup
rubrik sastra, dianggap
tak hasilkan apa-apa
Diganti iklan, itu
lebih menguntungkan
perusahaan,
ketimbang membangun
budaya yang adiluhung.
Ruang gelanggang
tak ada lagi.
Penyair lebih asyik
dengan dirinya
di media sosial
menceracau tentang
bulan tertutup awan
Jangan berharap
terlalu banyak
Anak yang kelaparan
Istri mengeluh tak ada
penghasilan
Buku-buku kesayangan
terpaksa kita jual demi
perut yang minta diisi
Apalagi yang tersisa
Ditelan kesia-siaan,
putus asa dan merana
Jarum-jarum hujan
seperti hendak berkata:
"Pengarang sudah mati,
walau tubuh masih sehat.
Mata tak nanar lagi melihat
kenyataan hidup tak adil"
Tak peduli berarti mati,
kau berkata. Kita pun
tak tahu mesti berbuat
apa untuk bertahan
di masa tak menentu
Apa yang mesti ditulis
Sekarang semua orang
ingin didengar tanpa
mau mendengar
Masa depan aksara
begitu suram, seperti
nasib kita tergenggam
tangan-tangan waktu
hingga kematian datang
pada malam yang asing
dan bising oleh kata-kata
untuk KSA
Kita semua akan mati
bukan oleh penyakit
tapi karena padamnya
bara harapan.
Puisi kini tak lebih dari
tumpukan kain bekas
Koran-koran menutup
rubrik sastra, dianggap
tak hasilkan apa-apa
Diganti iklan, itu
lebih menguntungkan
perusahaan,
ketimbang membangun
budaya yang adiluhung.
Ruang gelanggang
tak ada lagi.
Penyair lebih asyik
dengan dirinya
di media sosial
menceracau tentang
bulan tertutup awan
Jangan berharap
terlalu banyak
Anak yang kelaparan
Istri mengeluh tak ada
penghasilan
Buku-buku kesayangan
terpaksa kita jual demi
perut yang minta diisi
Apalagi yang tersisa
Ditelan kesia-siaan,
putus asa dan merana
Jarum-jarum hujan
seperti hendak berkata:
"Pengarang sudah mati,
walau tubuh masih sehat.
Mata tak nanar lagi melihat
kenyataan hidup tak adil"
Tak peduli berarti mati,
kau berkata. Kita pun
tak tahu mesti berbuat
apa untuk bertahan
di masa tak menentu
Apa yang mesti ditulis
Sekarang semua orang
ingin didengar tanpa
mau mendengar
Masa depan aksara
begitu suram, seperti
nasib kita tergenggam
tangan-tangan waktu
hingga kematian datang
pada malam yang asing
dan bising oleh kata-kata
2020
Secangkir Kopi untuk Pak Nyoman
Ada yang bilang kita adalah pecundang
Kalah oleh pertikaian yang tak sepadan
Siapakah pemenang di antara kita?
Saat hidup kian terasa menyakitkan
Obat tersimpan di saku celana lusuh
setiap hari ingatkan kita kelu masa lalu
Terbuang, di belantara nasib yang raib
Orang-orang tertawa tak jua menolong
Di ujung senja kita bertemu di halaman
wajah lelah dan tawa tak henti berderai
Melihat hari yang tampak bagai lelucon
Sandiwara. Semua menjadi begitu lucu!
Mari nyanyikan lagu-lagu kesedihan
walau air mata tak bisa keluar lagi
Di hari ulang tahunmu, kita akan bertemu
Secangkir kopi dan obrolan penuh makna
Terbayang akan nasib kawan-kawan kita
mereka hanya ingin sembuh dan bekerja
Kalah oleh delusi dan dikejar kecemasan
dibunuh waktu, tak berdaya, akhirnya mati
Harapan. Hanya itu yang kini tersisa.
Kulihat senyum mengembang pagi ini
Di halaman koran, berita tak lagi sama
pada kita yang pernah berlari telanjang
Ada yang bilang kita adalah pecundang
Kalah oleh pertikaian yang tak sepadan
Siapakah pemenang di antara kita?
Saat hidup kian terasa menyakitkan
Obat tersimpan di saku celana lusuh
setiap hari ingatkan kita kelu masa lalu
Terbuang, di belantara nasib yang raib
Orang-orang tertawa tak jua menolong
Di ujung senja kita bertemu di halaman
wajah lelah dan tawa tak henti berderai
Melihat hari yang tampak bagai lelucon
Sandiwara. Semua menjadi begitu lucu!
Mari nyanyikan lagu-lagu kesedihan
walau air mata tak bisa keluar lagi
Di hari ulang tahunmu, kita akan bertemu
Secangkir kopi dan obrolan penuh makna
Terbayang akan nasib kawan-kawan kita
mereka hanya ingin sembuh dan bekerja
Kalah oleh delusi dan dikejar kecemasan
dibunuh waktu, tak berdaya, akhirnya mati
Harapan. Hanya itu yang kini tersisa.
Kulihat senyum mengembang pagi ini
Di halaman koran, berita tak lagi sama
pada kita yang pernah berlari telanjang
Di jalan waktu yang tenyata telah berlalu
menjadi kenangan, pelajaran hidup abadi
2020
Biodata:
I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali 14 Februari 1984.
Menulis puisi, esai dan cerpen. Buku puisi terbarunya Tidur di Hari Minggu
(2020). Bekerja sebagai wartawan lepas dan pembina ekstrakulikuler jurnalistik
sebuah SMA di Kuta, Badung.
0 Comments