ACTOR NETWORK THEORY BRUNO LATOUR

[Bruno Latour | Pic: science.org]

Wahyu Budi Nugroho

Sosiolog Universitas Udayana

 

Actor network theory (ANT) atau “teori pelaku jaringan” yang dikembangkan Bruno Latour, Michel Callon, dan John Law menolak dikotomi antara agen dengan struktur, juga dikotomi antara dunia mikrososial dengan makrososial. Menurutnya, segala hal terhubung dan termediasi melalui jaringan. Latour mendefinisikan “jaringan” sebagai entitas nonsosial; bukan masyarakat, tetapi pembentukan interaksi melalui beragam alat atau media yang memunculkan lokus-lokus kecil.

 

Dari sinilah Latour memiliki ide tentang decentering yang menggeser fokus perhatian sedari aktor (manusia) kepada jaringan. Pergeseran ke ranah jaringan akan menghantarkan pada eksisten-eksisten nonmanusia, atau ihwal yang disebutnya sebagai “aktan”. Dewasa ini, perkembangan teknologi dan beragam instrumennya membuat manusia menjadi begitu tergantung, bahkan tak mampu menjalani hidup tanpanya. Oleh karenanya, aktan, atau hal-hal nonmanusia yang bersifat material tak berkesadaran dan—bisa juga—tak bertujuan, harus diposisikan dan dianalisis secara setara sebagaimana kita memosisikan dan menganalisis aktor-manusia.

 

Sebagai misal, untuk menyelesaikan skripsi, mahasiswa tak bisa melakukannya tanpa laptop, jaringan internet, gawai, alat perekam, dan lain-lain; atau contoh yang lebih ekstrim, ketika sekelompok orang hendak merampok bank, mereka begitu bergantung pada senjata dan alat komunikasi yang harus bekerja dengan baik untuk melancarkan aksinya. Melalui misal ini, artefak material pun memiliki kualitas aktor—mempunyai derajat yang sama pentingnya—sehingga mereka menyerupai agen, di sinilah arti penting aktan sebagai entitas nonmanusia yang juga bisa menjadi “pelaku” atau bisa juga “bertindak”. Dalam hal ini, “jaringan” pun bisa dimaknai sebagai aktivitas yang dilakukan oleh proses-proses bekerjanya aktan—grup WA?

 

Dalam ANT, karakter material nonmanusia yang tak berkesadaran dan tak bertujuan justru memungkinkan entitas ini untuk terus dimaknai dan terhubung dalam dunia manusia—mirip filsafat eksistensialisme yang mendiktum segalanya hadir tanpa makna dan tanpa tujuan. Akan tetapi, keterhubungan ini hanya akan ada sejauh terdapat “gerakan”. Dengan kata lain, ia akan memiliki kualitas layaknya aktor (manusia) ketika dijalankan dalam hubungan-hubungan antara keduanya, atau apa yang kemudian disebut sebagai “sirkulasi”—gerakan hubungan saling memengaruhi antara manusia dengan objek nonmanusia.

 

Melaluinya, jaringan pun akan ditemui sebagai “performativitas”—sebentuk/sebuah tindakan. Sebagai misal, barang-barang pun memiliki performa, pakaian bermerek yang dipakai seseorang, atau gawai bermerek keluaran terbaru yang digunakan seseorang; turut serta dalam relasi kuasa, penciptaan informasi tertentu, serta hubungan subjektivitas-objektivitas. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali bahwa hal-hal nonmanusia adalah partisipan aktif dalam jaringan, dan bagaimana manusia turut aktif mengambil berbagai atribut (sumberdaya) darinya.

 

Lebih jauh, inti dari performativitas dalam ANT adalah: sejauh mana jaringan dapat mempertahankan bentuk ketika terus bergerak. Dalam hal ini, ketika relasi manusia dengan nonmanusia diperformakan, terdapat dua kemungkinan yang selalu menyertai; ketahanan dan kesesuaian, ataukah disintegrasi dan kesirnaan. Derajat ketahanan inilah yang kemudian disebut sebagai immutable mobiles. Boleh jadi, perangkat-perangkat atau aplikasi yang dulu begitu akrab dalam keseharian manusia, lalu kini seolah tak relevan dan tak berguna lagi; memisalkan secara sederhana derajat ketahanan yang tak lagi berdaya dalam gerak jaringan. Pada akhirnya, ANT pun menghantarkan kita pada era pos-Sosial.

 

****

 

 

0 Comments:

Post a Comment