PROBLEM IDEOLOGI TEKNOLOGI


Wahyu Budi Nugroho

Sosiolog Universitas Udayana

 

Ideologi teknologi menunjuk pada keyakinan bahwa berbagai persoalan teknis dapat disolusikan lewat teknologi dan perkembangannya. Hal ini sebagaimana pengertian teknologi yang berasal dari kata techne dan logos dalam bahasa Yunani Kuno, yang kemudian turut ditafsirkan ulang oleh Martin Heidegger sebagai “pengetahuan tentang cara untuk membuat atau mengubah sesuatu”. Seturut dengan itu, Heidegger menyebut keberadaan teknologi sebagai poeisis atau cara (seni) dalam mengungkap realitas. Istilah poesis di sini bertalian erat dengan enframing atau kemampuan teknologi dalam menyingkap tujuan-tujuan baru.

 

Sebagai misal, penemuan mesin uap memunculkan tujuan-tujuan baru dalam penggunannya, di samping sebagai alat produksi baru dalam berbagai industri, ia juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan transportasi, dan lain-lain. Perkembangan teknologi pun berjalan liniear dengan kemampuannya menyingkap beragam tujuan baru. Jika kita menilik fase-fase perkembangan teknologi sedari fase penggunaan otot, fase pemanfaatan binatang ternak dan elemen-elemen alam (air, api, angin), kemudian beranjak ke fase penggunaan uap serta listrik, dan terakhir di fase penggunaan nuklir; tersurat jelas implikasinya sebagai penyingkap berbagai tujuan baru—salah satu contoh termirisnya adalah penggunaan teknologi nuklir sebagai senjata perang.

 

Di sisi lain, perkembangan fase-fase di atas turut mengungkap betapa semakin canggih suatu teknologi, semakin ia sulit dimengerti dan mengasingkan sebagian besar manusia, terkecuali bagi mereka yang memang sehari-hari berkutat di dunia teknologi dan umumnya mendapati julukan sebagai “pakar”. Dari sini, teknologi yang awalnya merupakan mimiesis (baca: tiruan) anggota tubuh manusia, yang berfungsi sebagai perpanjangan kemampuan anggota tubuh, berubah semakin kompleks sehingga memunculkan problem monopoli pengetahuan. Perkembangan teknologi yang semakin kompleks dan rumit inilah yang memunculkan dikotomi teknologi dalam ranah makna dan ranah teknis sebagaimana diutarakan Dr. Karlina Supeli.

 

Ranah makna menyangkut berbagai fungsi teknologi yang “siap pakai”, atau tinggal kita gunakan dalam keseharian hidup, sementara ranah teknis menyangkut komponen-komponen penyusun teknologi yang cara kerjanya tak diketahui dan dipahami setiap orang. Makna teknologi dapat dimisalkan lewat kita yang menggunakan gawai di keseharian, namun ketika gawai itu rusak, kita tak bisa membetulkannya sendiri, tetapi harus membawanya ke teknisi gawai; di sinilah ranah teknis dari teknologi. Ironisnya, sebagaimana dicontohkan lewat penggunaan gawai di keseharian, semakin canggih suatu teknologi, semakin mampu ia menubuh bersama kita, sehingga kita menjadi bergantung akannya. Werner Heisenberg pun menganalogikan ketergantungan manusia terhadap teknologi lewat laba-laba yang begitu bergantung pada jaringnya.

 

Namun demikian, ideologi teknologi masih berhadapan dengan serangkaian persoalan politis, etis, sosial, dan budaya. Persoalan politis sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yakni terkait penguasaan teknologi yang berpotensi memunculkan dominasi salah satu pihak terhadap pihak lain. Sementara, persoalan etis berkaitan dengan dilema moral yang disebabkan oleh teknologi, sebagai misal, penemuan teknologi obstetric ultrasound yang mampu menyajikan citra janin di dalam kandungan memunculkan dilema etis pada negara-negara yang melegalkan aborsi. Haruskah janin yang diketahui tak sempurna lewat teknologi obstetric ultrasound digugurkan?

 

Problem sosial yang muncul akibat teknologi lebih tak terkira lagi, dari persoalan kecanduan teknologi sebagai instrumen hiburan, hingga menurunnya berbagai kualitas dasar manusia akibat teknologi. Theodor W. Adorno memisalkan ini lewat semakin canggihnya komputer yang dibuat berimplikasi terhadap semakin lemahnya otak manusia. Adapun problem budaya akibat teknologi berkenaan erat dengan kesenjangan dan keterkejutan dalam penggunaan teknologi, dan mereka yang tak menguasainya kemungkinan besar akan kehilangan akses-akses tertentu. Ini dapat dicontohkan lewat proses digitalisasi birokrasi—dalam segala bentuknya—yang seringkali mengeksklusi golongan tua sehingga cara-cara analog mereka tak lagi relevan.

 

*****

0 Comments:

Post a Comment