“AGAMA, FILSAFAT, dan SAINS, mungkinkah berdamai?”


Notula Webinar Nasional
Kontestasi Agama dan Sains di Masa Pandemik: Mungkinkah Berdamai?
18 Juni 2020
Wahyu Budi Nugroho, Sidrotun Naim, dan Al Makin.

Materi Pembicara 1:
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
Direktur Sanglah Institute

“AGAMA, FILSAFAT, dan SAINS, mungkinkah berdamai?”

Notulis:
Bagus Ardyansyah

Minggu lalu, saya membuat sebuah tulisan sederhana yang berisi tentang bagaimana tafsir Pierre Teilhard de Chardin dan Quraish Shihab seakan mampu mendamaikan antara agama, filsafat, dan sains. Tulisan sederhana ini dibaca oleh Surya Adi, lalu Surya Adi memiliki inisiatif bagaimana jika tulisan ini di-webinar-kan. Sebetulnya saya sempat meminta kepada Surya Adi untuk menjadi moderator saja; tetapi permintaan saya ini tidak dikabulkan.

Dalam tulisan tersebut, saya mengulas karya Chardin, The Phenomenon of Man, karya yang ditulis ketika perdebatan antara agama dengan teori evolusi Darwin sedang sengit-sengitnya di Eropa. Dalam karya itu Chardin menyatakan bahwa “...evolusi manusia sedari kera hingga menemui wujudnya yang sekarang adalah kuasa Tuhan dalam menyempurnakan manusia”. Kemudian Quraish Shihab dalam sebuah wawancara ketika ditanya bagaimana perspektif Quran terhadap teori evolusi, ia menjawab: “bisa jadi”. Ini dikarenakan dalam ayat tentang penciptaan manusia, terdapat tahapan, terdapat proses. Pertama, tanah; Kedua, ditiupkannya ruh. Dari tanah hingga ditiupkannya ruh, seakan terdapat tahapan atau proses menuju manusia yang sempurna. Ditambah lagi, Quraish Shihab turut menyatakan bahwa sebelumnya turunnya Adam, di dunia sudah terdapat “makhluk”.

Baik pemikiran Chardin maupun Shihab tersebut seolah mampu mempertemukan antara agama, filsafat, dengan sains. Dimensi filsafat keduanya terletak pada keberanian keduanya mendayagunakan akal untuk berpikir secara bebas sehingga menghasilkan tafsir-tafsir atau kemungkinan baru. Ini adalah praktik berfilsafat.

Jika hanya sekadar “mempertemukan” (agama, filsafat, sains), mungkin mudah: itu hanya soal tafsir. Tetapi untuk mendamaikan antar-Ketiganya? Itu yang sulit.

Mungkin kaum agamis bisa dengan mudah mengatakan bahwa agama tidak bertentangan dengan sains. Ayat-ayat suci sendiri memuat sains ... yang suka menonton video-video Harun Yahya misalkan, berkata, justru sains membuktikan kebenaran Quran, kebenaran Islam. Bagi saya ini berbahaya, karena ilmu pengetahuan terus berkembang. Bagaimana jika penelitian sains yang sekarang sesuai dengan ayat suci, tetapi hasil penelitian di masa mendatang, berbeda lagi.

Kenyataannya, antara agama, filsafat, dan sains telah terpecah-pecah sedemikian rupa: sudah terfriksi. Bahkan dalam tradisi pemikiran Islam, al-Ghazali pernah berkata, “Filsafat hanyalah untuk orang-orang yang kebingungan”. Kemudian kata-kata ini dibalas al-Farabi: “Pernyataan bahwa filsafat hanyalah untuk orang-orang kebingungan adalah pernyataan yang membingungkan”.

Pada mulanya, pengetahuan manusia itu bersifat holistik. Semua pandangan tentang alam, Tuhan, kehidupan sehari-hari, semuanya menyatu. Ini setidaknya terjadi hingga era pra-Filsafat Yunani Kuno.

Di era pra-Yunani Kuno atau pra-Yunani Klasik, ada tradisi ritual keagamaan yang diistilahkan dengan bios-Theoretikos. Bios artinya “menengadah”, dan theoretikos artinya “berdoa”. Jadi, bios-Theoretikos artinya menengadah dan berdoa. Kata theoretikos inilah yang kemudian kita kenal sekarang sebagai “teori” dalam ranah ilmu pengetahuan modern. Jadi, awalnya kata teori itu artinya “berdoa”.

Tetapi, munculnya para filsuf alam, yaitu para filsuf-filsuf awal di dunia, seperti Thales, Heraclitus, Parmenides, dan Democritus, pada akhirnya memisahkan tradisi bios-Theoretikos, yang tersisa kemudian hanyalah theoretikos karena para filsuf alam ini sekadar berupaya menafsirkan dunia, menafsirkan alam. Bagaimana Thales mengatakan dunia ini berasal dari air, Heraclitus mengatakan dunia ini berasal dari api, serta Parmenides dan Democritus yang mengatakan bahwa dunia ini tercipta dari satuan terkecil.

Itu pun theoretikos atau doa yang mereka cetuskan tidak lagi berkhidmat pada Tuhan, melainkan pada alam. Di sini, theoretikos sebagai aktivitas yang berdimensi spiritual pun hilang. Itulah mengapa Nietzsche mengatakan bahwa filsuf-filsuf pra-Socrates adalah filsuf-filsuf atheis, memiliki jiwa dyonsius; kehewanan, keliaran, dan kebebasan.

Pada gilirannya, perpecahan antara bios dengan theoretikos ini seakan menjiwai filsafat Barat hingga sekarang yang selalu berupaya mendikotomi, melihat segala sesuatu secara oposisi biner—pertentangan antara dua hal atau lebih yang tak mungkin disatukan.

Pertentangan antara agama, filsafat, dan sains yang paling tampak adalah di era Abad Pertengahan Eropa, bahkan pertentangan itu masih memengaruhi kita hingga sekarang. Sejak untuk pertama kalinya kanonisasi lembaga gereja dirintis oleh Santo Benediktus, pada perkembangannya, gereja pun semakin berkuasa di Abad Pertengahan, bahkan raja-raja Eropa pun tunduk kepada Vatikan.

Tetapi kekuasaan gereja Abad Pertengahan yang tanpa batas ini, karena mereka mengklaim mewakili Tuhan di muka bumi, akhirnya melahirkan kesewenang-wenangan. Siapa pun yang tak sejalan dengan doktrin gereja, akan dihukum. Bahkan gereja memiliki Mahkamah Inkuisisi yang bertugas untuk mencari dan menghukum orang-orang yang bertentangan dengan gereja.

Ada beberapa filsuf yang menjadi korban kesewenang-wenangan Gereja Abad Pertengahan, seperti Hypatia (ditelanjangi dan dipukuli sampai mati—filmnya baru saja keluar), Giordano Bruno (dibakar hidup-hidup—monumennya di Roma), filsuf Rene Descartes menjadi buron gereja, dan kasus yang paling populer atau menonjol mungkin: ketika Galileo Galilei hendak mengemukakan teori heliosentris, bahwa matahari adalah pusat semesta; ia diancam hendak dibutakan matanya oleh gereja. Kenapa, karena doktrin gereja adalah geosentris (bumi sebagai pusat semesta), dan gereja Abad Pertengahan percaya kalau bumi itu datar. Jadi sebetulnya, pemikiran bahwa bumi itu datar, bukan baru-baru ini, tapi sudah ada sejak gereja Abad Pertengahan. Ada di sini yang jadi pengikut bumi datar?

Nyatanya, tidak hanya filsuf yang menjadi korban gereja Abad Pertengahan, tetapi juga kebanyakan wanita. Bahkan, gereja Abad Pertengahan mengonstruksi arti kata female. Kata female berasal dari bahasa Yunani Kuno, femina. Fe kemudian menjadi kata faith yang artinya “takdir” atau “iman”, sedangkan mina kemudian menjadi kata minus yang artinya “kurang”. Jadi, femina atau female, atau wanita; menurut gereja Abad Pertengahan artinya “makhluk yang kurang iman”. Atas dasar apa gereja mengonstruksi makna female yang demikian? Atas dasar hawa mudah terhasut iblis membujuk Adam memakan buah pengetahuan. Itulah kenapa banyak wanita yang menjadi korban gereja Abad Pertengahan, kalau tidak dituduh sebagai jelmaan iblis, maka dia adalah penyihir. Dan itulah kenapa novel atau film seperti Lord of The Rings dan Harry Potter sangat laku di Barat, karena mereka memang bersentuhan dengan tradisi penyihir; itu bagian dari sejarah masa lalu mereka; sejarah Eropa.

Akhirnya, para pemikir dan kaum humanis Eropa kala itu berpikir, “Mengapa kaum bangsawan menindas rakyat?” Karena mereka memiliki legitimasi dari gereja. Para pemikir terus berpikir dan berpikir, “Mengapa gereja menindas rakyat?” Karena gereja memiliki legitimasi dari Tuhan. Para pemikir terus berpikir dan berpikir, “Kenapa Tuhan menindas rakyat? Bukankah Tuhan pengasih dan penyayang?” Jangan-jangan, nama Tuhan sekadar dicatut gereja untuk menindas rakyat. Para pemikir terus berpikir dan berpikir, “Kenapa nama Tuhan dicatut untuk menindas rakyat, Tuhan diam saja?” Jangan-jangan Tuhan TIDAK ADA.

Simpulan bahwa Tuhan tidak ada melahirkan Renaissance atau “Pencerahan Eropa” abad 15-18. Jadi sebetulnya Renaissance itu dijiwai oleh semangat anti-Tuhan. Itulah kenapa, karya-karya seni yang muncul di era Renaissance kebanyakan bugil-bugil; karena itu untuk menyerang gereja. Di era Renaissance ini, agama otomatis sudah tamat.

Masyarakat Barat mulai meninggalkan mitos, takhayul, serta doktrin gereja untuk beralih pada akal budi atau rasio. Itulah mengapa dalam Thus Spoke of Zarathustra, Nietzsche berkata, God is dead ‘Allah telah mati’. Renaissance ini menandai pergeseran teosentrisme pada antroposentrisme. Kalau sebelumnya Tuhan menjadi pusat atas segala sesuatu, kini giliran manusia menjadi pusat atas segala sesuatu, atau homo mensura: manusia sebagai tolak ukur atas segala sesuatu.

Pasca Renaissance, wacana yang tersisa kemudian adalah filsafat dan sains. Tetapi karena sains kemudian merasa lebih superior karena dia adalah ilmu pasti, sedangkan filsafat tidak pasti; sains pun mulai memisahkan diri dari filsafat.

Sains kemudian berjalan sendiri jauh meninggalkan filsafat hingga memunculkan Revolusi Industri abad ke-19. Revolusi Industri abad 19 memerlukan bahan mentah, bahan baku; lahirlah kolonialisme dan imperialisme; penjelajahan dunia baru. Di sinilah dimulainya hagemoni Barat atas dunia, dan masih berlangsung hingga kini. Hagemoni ini juga mewujud secara epistemologi atau “cara berpikir”. Jadi, bagaimana sekolah-sekolah kita, terutama perguruan tinggi, memisahkan antara agama, filsafat, dan sains; itu sebetulnya adalah warisan dari Pencerahan Eropa. Termasuk dikotomi antara ilmu eksakta dengan ilmu sosial-humaniora, seolah ilmu eksakta lebih tinggi derajatnya dibanding ilmu sosial-humaniora. Sewaktu SMA dulu juga sudah terjadi: IPA vs IPS. Anak IPA seolah masa depannya terjamin, kalau IPS tidak jelas.

Jadi bisa dibayangkan, pola pikir kita sekarang yang mempertentangkan antara agama, filsafat, dan sains itu sebetulnya warisan Pencerahan Eropa berabad-abad silam.

Bersamaan dengan mulai membangun dan berkuasanya peradaban Barat sejak Pencerahan Eropa, sebaliknya, dunia Islam mulai mengalami kemunduran drastis. Hingga pada tahun 1924, Kekhalifahan Turki Usmani runtuh, pada masa-masa inilah, istilah “ulama” kemudian direduksi hanya untuk mereka yang menguasai ilmu agama, bukan ilmu-ilmu lainnya. Ini yang kemudian juga menyebabkan umat Islam cenderung ikut-ikutan memisahkan antara agama, filsafat, dan sains. Jadi semuanya tidak akan menjadi kontradiksi lagi kalau kita mengembalikan pengertian ulama sebagaimana pengertiannya di awal.

Tetapi harus diakui bahwa saat ini sains mendominasi wacana dunia. Sains itu garda terdepan sekarang. Semua kalau tidak ikut sains, dinilai tidak valid. Cara-cara seperti berusaha menyesuaikan isi kitab suci dengan sains, atau menyamakan tafsir kitab suci dengan hasil-hasil penelitian sains, sebetulnya juga justru menunjukkan dominasi sains; jadi seolah kaum agamis hanya tinggal bermain tafsir saja. Seharusnya atau idealnya, kemajuan iptek itu datang dari agama itu sendiri, bukan dari luar agama. Karena yang pertama hadir di tengah-tengah manusia adalah agama, agama di sini dalam arti juga kepercayaan-kepercayaan terprimitif manusia (salah satunya bios-Theoretikos).

Persoalannya, ketika sains berjalan sendiri tanpa filsafat, ia akan mengarah pada destruksi umat manusia. Bagaimana perkembangan iptek kemudian digunakan untuk menaklukkan pihak lain lewat cara-cara kekerasan, lewat senjata. Tak terhitung pembantaian yang terjadi pada mereka yang dianggap masyarakat primitif di era kolonialisme dan imperialisme, bagaimana IPTEK justru melahirkan Perang Dunia I, Perang Dunia II, holocaust, bom atom, dan lain-lain. Yang perlu dicatat juga di sini adalah: rasio itu selalu memiliki karakter “hendak menaklukkan”, “hendak mengooptasi”.

Bagaimana juga para pemikir seperti dalam Mazhab Frankfurt, Anthony Giddens, serta Ulrich Beck mengungkapkan bahwa Pencerahan yang melahirkan kehidupan modern justru mengancam kelangsungan hidup manusia. Giddens menggunakan istilah high risk, sedangkan Beck menggunakan istilah risk society.

Tetapi, apakah filsafat betul-betul bisa menjadi pendamping sains agar sains tidak brutal? Nyatanya tidak juga, karena justru ada aliran-aliran filsafat yang melegitimasi kebrutalan itu; darwinisme sosial, eksistensialisme, anarkisme, sosialisme radikal, termasuk kapitalisme yang merusak alam.

Nyatanya, nilai-nilai moral yang paling esensial hanya bisa ditemukan dalam agama. Meskipun dalam filsafat pun ada filsafat moral atau humanisme, tetapi humanisme pun juga menjadi persoalan sehingga kini memunculkan aliran poshumanisme.

Kenapa hanya agama yang memiliki nilai-nilai esensial. Saya ingin mengutip Sartre soal ini, “Jika Tuhan tidak ada, maka manusia bebas sebebas-bebasnya. tetapi dia tidak akan memiliki patokan atau pondasi apa pun untuk membangun nilai dan normanya”. Itulah kenapa, eksistensialisme atheistik sebagai puncak pemikiran filsafat tentang semangat anti-Tuhan dan kebebasan, justru memberikan simpulan yang mengejutkan pada kita; “Kebebasan total adalah hal yang memuakkan”, “Manusia adalah hasrat kesia-siaan”. Jadi, bagi Anda yang mendewa-dewakan kebebasan, Anda harus belajar eksistensialisme, malah pada akhirnya eksistensialisme mengutuk kebebasan.

Mungkin kita juga berpikir, bukankah agama juga menjadi sumber konflik bagi umat manusia dan juga menumpahkan darah. Betul memang, tetapi, dunia tanpa agama, akan lebih parah dari itu. Manusia tidak akan memiliki kompas moral atau premis tentang benar/salah. Ibaratnya, jika fisika itu adalah studi tentang gerak benda dalam ruang, dan itu bisa mengungkap misteri alam semesta, tetapi fisika takkan bisa menjawab tujuan hidup kita di dunia: hanya agama yang bisa melakukannya.

*****

0 Comments:

Post a Comment