Umbu Landu Paranggi | indonesiasastra.org |
Angga Wijaya
Penyair
Seorang kawan, yang suka “mengintip” media sosial bertanya pada saya tentang banyaknya orang—dalam bahasa dia—memuja bahkan mendewakan Umbu Landu Paranggi, penyair legendaris yang dianggap guru dari banyak penyair di Indonesia.
Dia bertanya sekali lagi, mengapa tidak ada yang mengkritik Umbu, baik dari karya atau pencapaian. Saya tak menjawab, rasanya belum pas jika membicarakan Umbu tanpa pernah bertemu dengannya. Terlebih lagi mengetahui “metode”-nya dalam mendidik murid-muridnya.
Menanti puisi untuk dimuat di halaman sastra yang diasuhnya, rasa senang saat puisi dimuat, atau mendapat komentar dari Umbu tentang puisi-puisi kita—baik secara langsung atau tak langsung—adalah pengalaman personal, tak bisa diungkapkan apalagi jika tak pernah merasakan pengalaman itu.
“Apa yang bisa dikritik dari Umbu?” saya bertanya dalam hati. Atau, lebih tepatnya, “Untuk apa mengkritik Umbu?” Kesetiannya pada puisi dan sastra telah teruji waktu. Ia bukan penyair kemarin sore. Konsistensi serta kontribusi Umbu terhadap dunia sastra begitu besar, juga nyata.
Tanyakan hal itu pada “murid-murid” Umbu. Ini bukan soal kultus individu, apalagi puja-puji seperti kawan saya maksudkan. Di tengah gempuran informasi dan konflik yang masuk ke kepala kita setiap detik, mestikah kita ikut-ikutan menjadi aktor di dalamnya?
Hubungan guru dan murid dalam sejarah memang sering disalahpahami. Biarlah seperti itu, tak perlu susah payah dijelaskan. Jika ingin tahu tentang Umbu, salami dan dekati dia, bukan dengan intelektualitas atau gelar akademik yang malah menjadi jarak, tapi sebagai orang biasa. Sebab Umbu juga orang biasa.Dalam hening, kita akan bertemu dengannya. Sebuah sajak darinya bisa menjadi pintu untuk masuk pada keheningan itu:
Upacara XXXVII
lepaslah rahasia sebagai rahasia percakapan sunyi
lelehan debu
tegalan kalbu
rayau waluku
(jam-jam pasir di waktu air
dipukul airwaktu pasir
nyawa kembara
di pohon raya
menala rindu
berkalam batu…)
peganglah rahasia sebagai rahasia percintaan sunyi
sedekah sesaji bumi
dewi sri sepasang musim
bimasakti seruling jisim
semantra setungku mentari
(tuak-tuak waktu di jam sajak
di pukul sajak waktu tuak :
ombak mencapai pantai
gamelan sudah mulai
tanah lot bergelora
pura besakih purnama…)
dari kabut fajar sanur hingga megah senja kuta
bermalam siang tabuh gunung meru merasuki jiwa
di lambung lumbung lambang kedewatan balidwipa
berbanjar peri candi melontar genta yang purba
di luar teratai
di dalam semadi
di luar kepala
di dalam semesta:
langit ilmu manusiawi
masuk ke luar kamus sukmaku
bumi teknologi rohani
raung hutan hantu di lubuk tuhanku
samudera galaksi pribadi
membajak-bajak rawapaya payahku
rahasia seni puisi
bermukamuka fanabakaku
(…beruas-ruas bambu tuak
tuang tuang tualang gelegak
bergaung parang perang tenggak ke puncak
menatah patahkata sajak
di luar kepala
di dalam semesta
di luar teratai
di dalam semadi….)
(Umbu Landu Paranggi, Kedewatan, Agustus-Desember 1982)
0 Comments:
Post a Comment