Richard Rorty | nytimes.com |
Wahyu Budi Nugroho
Kadang serius, kadang ironis
Membincang Richard Rorty adalah membincang soal penolakan “imperatif kategoris” yang ditempatkan secara mapan, universal, dan menjadi landas-dasar kehidupan individu, masyarakat luas, bahkan umat manusia. Berbagai bentuk impeatif kategoris ini hadir melalui sistem sosial yang diwariskan secara turun-temurun, agama, juga pemimpin yang kuat. Tak dapat dipungkiri, agaknya akan lebih mudah menjelaskan imperatif kategoris melalui kerangka pikir strukturalisme, yakni bagaimana bahasa mampu menciptakan kehidupan sosial. Imperatif kategoris, sebagaimana istilah ini kerap digunakan Immanuel Kant dan dicontohkan olehnya: “Bertindaklah sehingga maksim tindakanmu menjadi model bagi seluruh umat manusia”; merupakan ihwal yang bersifat metafisik lagi abstrak. Apabila maksim tindakan yang dimaksudkan Kant dalam imperatif kategorisnya adalah “tindakan yang baik”, maka kita akan segera berpikir tentang apa yang dimaksud dengan “baik” itu?[1]
Tak hanya itu saja, pikiran kita turut tertuju pada dikotomi antara yang baik dengan yang buruk. Mengapa sesuatu dapat dikatakan baik, sedangkan yang lain buruk? Ihwal atau pondasi semacam apa yang dapat sebegitu kuat menentukan keduanya? Dan, apabila kita telah sampai pada pondasi tersebut, kita pun dapat kembali mempertanyakannya; bagaimana pondasi tersebut dapat terbentuk? Pun, mengapa kita, atau orang lain harus turut memegang (baca: menganut) pondasi tersebut?
Dalam merespon imperatif kategoris di atas, secara garis besar Rorty membagi dua tipe manusia, yakni manusia metafisik dan manusia ironis. Manusia metafisik, atau yang lebih penulis suka sebut sebagai “manusia serius”, merupakan mereka yang menerima dan meyakini penuh imperatif kategoris tanpa mempertanyakannya, menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted ‘apa adanya’, serta seakan telah ditentukan begitu saja. Sebagai misal, ketika Hitler menguasai Jerman dan aktif menelurkan propaganda-propaganda anti-Yahudi yang menemui wujudnya sebagai imperatif-imperatif kategoris, mereka masyarakat Jerman yang mengamininya dapat disebut sebagai “manusia-manusia serius” karena larut dalam propaganda antisemit begitu saja—seakan Yahudi memang demikian adanya sebagaimana ungkap Hitler.
Dalam pandangan Rorty, imperatif kategoris tersebut bekerja layaknya “kosakata akhir”, yakni sesuatu yang tak memungkinkan munculnya kosakata lanjutan; ia telah berhenti di situ saja, dan diterima begitu saja tanpa koreksi. Dari sini, kita dapat melihat bagaimana ideologi menjadi salah satu instrumen—termasif bahkan—dalam memproduksi imperatif-imperatif kategoris. Begitu pula, berbagai bentuk pemikiran radikal maupun fanatik mengenai ras, agama, kewarganegaraan, atau apa pun juga yang dianut oleh seseorang atau kolektif sekadar menegaskan keberadaan manusia-manusia serius di dunia ini.
Sebaliknya, Rorty menggunakan istilah “manusia ironis” bagi mereka yang tak begitu saja menerima berbagai bentuk imperatif kategoris yang ada. Manusia ironis ajeg berpikir bahwa segala sesuatunya terjadi secara kebetulan. Andai seorang Nazi yang fanatik menjadi seorang manusia ironis, maka sudah semestinya ia berpikir bahwa kelahirannya di Jerman, menjadi warga negara Jerman, pun menjadi bagian dari ras Arya, adalah kebetulan semata. Ia tak meminta dilahirkan di Jerman, melainkan keberadaannya di negara tersebut dan menjadi bagian dari mayoritas ras tersebut adalah hal yang bersifat sui generic ‘terjadi begitu saja’. Begitu pula, sudah seharusnya ia turut berpikir andaikan dirinya terlahir sebagai seorang Yahudi yang dibencinya mati-matian, maka berbagai bentuk imperatif kategoris yang ditelurkan Hitler pun bakal ditolaknya mentah-mentah.
Konsep manusia ironis Rorty dapat pula ditempatkan sebagai wacana tanding bagi para penganut keagamaan yang brutal. Andaikan seseorang terlahir di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindhu, maka besar kemungkinan ia pun bakal terlahir dalam keluarga Hindhu dan menganut agama tersebut. Begitu pula jika seseorang terlahir di Arab Saudi yang besar kemungkinan bakal menjadikannya seorang Islam, atau di Amerika Serikat yang menjadikannya seorang Kristen Protestan. Tak pelak, konsep manusia ironis Richard Rorty menjadikan mereka yang mati-matian memaksakan agamanya terhadap pihak lain menjadi tampak konyol mengingat segalanya tak lebih merupakan kebetulan semata.
Lalu, apa sumbangsih pemikiran pragmatis Rorty bagi dimensi keaktoran seseorang? Pemikiran Rorty bekerja layaknya epoche dalam fenomenologi, yakni sebentuk “tanda kurung kurawal” atau “penangguhan sementara” terhadap asumsi-asumsi dan justifikasi yang dimiliki seseorang. Pemikirannya seolah mengajak individu menempatkan diri dalam posisi individu lain atau mereka yang dianggap sebagai other ‘liyan’, serupa dengan bentuk pemikiran pragmatisme pada umumnya. Lebih jauh, konsep manusia ironis terutama, memawaskan aktor atas nilai-nilai yang diperjuangkannya; apakah lewat nilai-nilai itu dirinya justru terhagemoni (baca: tertindas) tanpa disadarinya ataukah tidak. Tak dapat dipungkiri, konsep manusia ironis Rorty memiripkan bentuknya dengan fenomenologi Max Scheler yang mengharuskan seseorang, terutama ilmuwan, untuk “bebas apung” sehingga mampu mengungkap sumber-sumber sosial dari berbagai ideologi politik dan mengulas baik dimensi kekurangan maupun kelebihannya masing-masing.
Lebih jauh, pemikiran Rorty tentang manusia ironis bukannya tanpa kritikan sama sekali. Kritik yang begitu mengemuka atasnya adalah eksistensi manusia ironis yang dituduh tak memiliki prinsip dan keyakinan: “Karena ia dapat menempatkan diri dalam posisi mana pun, maka ia tak memiliki prinsip”. Pertama, Rorty menjawabnya dengan menambah imbuhan “liberal” pada manusia ironis—“manusia ironis liberal”. Ini berarti, liberalisme (baca: kebebasan) menjadi prinsip dan keyakinan manusia ironis. Liberalisme, bagi Rorty, merupakan pemahaman terbaik karena menghindarkan manusia dari beragam ketakutan tak beralasan; ketakutan berkeyakinan sesuai kehendak, ketakutan mengemukakan pendapat di depan publik, ketakutan berekspresi dalam segala bentuk, dan lain sebagainya.
Namun, pertanyaan yang menyerua kemudian adalah; jika manusia ironis telah menganut nilai tertentu, yakni liberalisme, masihkah ia dapat disebut sebagai manusia ironis? Kedua, Rorty pun mengemukakan adanya ranah privat dan ranah publik di mana keironisan manusia ironis berada di ranah privat, dan karena keironisannya di ranah privat—untuk dirinya sendiri—maka ia tak ironis bagi orang lain—yang ada di ranah publik. Begitu pula, hal ini didukung oleh prinsip utama manusia liberal menurut Rorty, yakni penolakan bertindak kejam terhadap orang lain, terutama di dalamnya pemaksaan dan merendahkan orang lain. Dengan demikian, manusia ironis liberal adalah mereka yang memiliki keyakinan dan tak berupaya memaksakan keyakinannya pada orang lain, namun mereka sangat “anti” terhadap pihak-pihak yang berupaya memaksakan keyakinannya mengingat “tidak bertindak kejam terhadap orang lain, terutama memaksakan kehendak” merupakan kosakata akhir manusia ironis liberal. Pun bagi Rorty, manusia ironis liberal tak menutup kemungkinan pula merubah kosakata akhirnya dan membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan ranah privat yang lebih luas.
*****
[1] Sementara kita telah ditunjukkan kesia-siaan proyek besar James
William More dalam upayanya mencari arti kata “baik”. Hingga akhir hayatnya,
More tak mampu mendefinisikan apa itu “baik” dalam pandangan universal—“baik”
menurut seluruh umat manusia.
0 Comments:
Post a Comment