Persamaan Komunisme dan Kebijakan COVID-19 Indonesia



                                                        

Pertama mendengar ideologi komunisme, maka yang tertuju adalah pertalian antara marxisme dan leninisme yang memimpikan "tatanan masyarakat yang adil, tanpa kelas, dan tanpa penindasan". Sejalan dengan cita-cita Karl Marx mengenai masyarakat sosialis, komunisme pun mengalami kebuntuan dan dianggap sebagai ideologi utopis. Meskipun komunisme dan sosialisme memiliki beberapa perbedaan dalam tataran konsep dan praktik, keduanya memiliki karakteristik yang sama  yaitu mengutamakan hal-hal publik ketimbang pribadi, sekaligus memperbaiki masalah yang timbul akibat sistem kapitalisme pasar bebas, termasuk eksploitasi pekerja, dan jurang pemisah antara borjuis dan proletar. 


Pasca Tembok Berlin runtuh dan Uni Soviet bubar, komunisme turut dinyatakan mati. Pun, keabsahan ideologi komunisme mulai diragukan banyak orang, termasuk dari kalangan intelektual. Komunisme hanya sekadar rekaman historis dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk melawan kapitalisme. Namun harus diakui, paham komunisme pernah menjadi kekuatan dunia yang sangat berpengaruh. Banyak pemikiran baru yang muncul menginterpretasi gagasan komunisme, namun komunisme hanya berada di tataran "romantisme" atau sekedar dijadikan inspirasi ideologis bagi suatu gerakan revolusioner.


Kendati komunisme diterapkan di China, Kuba, Korea Utara, Laos, dan Vietnam, pada kenyataannya, "negara murni komunis tidak pernah ada". Negara-negara tersebut dapat diklasifikasikan sebagai negara komunis karena pemerintah pusat mengendalikan semua aspek sistem politik dan ekonomi. Tetapi tidak satu pun dari mereka mencapai penghapusan properti pribadi, sistem kelas, dan penindasan seperti yang diharapkan oleh ideologi komunis.


Akan tetapi, yang menjadi pertanyaannya, apa persamaan komunisme dengan kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia? Tercatat, sejak diumumkannya pasien pertama yang terinfeksi virus corona pada 2 Maret 2020, pemerintah pusat dan daerah menerapkan berbagai macam konsep aturan dalam rangka menekan penularan virus corona di Indonesia. 


Konsep aturan penekanan penularan COVID-19 pertama yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan PSBB tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020 yang mengatur pelaksanaan PSBB beserta syarat-syarat penerapannya. Namun, apakah konsep PSBB dapat dikatakan berhasil menekan penularan Covid-19? Tentu saja tidak. Namun, belum berhasilnya konsep PSBB, lahirlah konsep baru, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diberlakukan di level kabupaten atau kota.


Apakah konsep PPKM lebih berhasil ketimbang pendahulunya? Sekali lagi, tentu saja tidak. Mengulangi pola yang sama, PPKM kembali dilanjutkan hanya saja dengan konsep yang berbeda. Mulai 9 Februari 2021, pemerintah menetapkan PPKM mikro yang dilakukan mulai dari level desa, kelurahan bahkan hingga RT dan RW. 


Apakah PPKM mikro itu sebenarnya adalah PPKM setengah hati, atau PPKM sebenarnya adalah PSBB setengah hati? Di sini kiranya menjadi perlu untuk sepakat bahwa berbagai konsep atau istilah tersebut bertujuan baik, mencegah penularan COVID-19 meskipun kenyataan di lapangan implementasi tidak jelas, tidak tegas, dan cenderung tebang pilih. Di sisi lain, berbagai macam konsep atau istilah aturan dan pernyataan-pernyataan nyeleneh (baca: tak masuk) akal para pejabat di Indonesia mulai dari kebalnya orang Indonesia karena senang makan nasi kucing hingga kalung anti-virus, mengakibatkan munculnya kebingungan dan public distrust masyarakat terhadap segala bentuk himbauan pemerintah dalam penanganan penyebaran COVID-19 Indonesia, baik di tingkat nasional hingga daerah. 


Sementara, di saat berbagai negara dihadapkan dengan pemilihan siapa yang akan menjadi prioritas penerima vaksin, pemerintah Indonesia lebih memilih strategi vaksinasi dengan melibatkan influencer sebagai strategi komunikasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksin Sinovac aman. Tentunya, strategi pemerintah Indonesia dalam hal pemberian vaksin COVID-19 menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat terutama para ahli kesehatan.


Terlebih, kasus korupsi dana bantuan sosial untuk pandemi COVID-19 di wilayah Jabodetabek yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara, turut memperburuk citra penanganan COVID-19 di Indonesia. Terbaru, video viral perayaan hari ulang tahun Megawati di masa PPKM Bali yang menunjukan Gubernur Bali yang sekaligus ketua DPD PDIP Bali, I Wayan Koster berkumpul tanpa menjaga jarak serta menyuapkan nasi tumpeng kepada para kader menggunakan sendok yang sama, memberikan bukti nyata bahwa PPKM hanya sebatas konsep belaka.


Berbagai konsep penanganan COVID-19 dari perubahan istilah strategi pencegahan penularan COVID-19, konsep vaksinasi dengan melibatkan influencer, hingga perilaku buruk para pejabat publik tentunya menunjukkan bagaimana praktik penanganan di Indonesia belum mampu dikatakan efektif sesuai dengan konsep baik yang dicita-citakan.


Terakhir, sebagai refleksi. Harus diakui jika kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia itu seperti komunisme, "selalu baik di tataran konsep, tetapi buruk di tataran praktik".





*****




Catatan:


Tujuan penulisan esai ini adalah sebagai refleksi sekaligus kritik mengenai berbagai kontroversi kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia, tanpa bermaksud mendiskreditkan peran tenaga medis yang tengah berjuang.























0 Comments:

Post a Comment