Ketika Filsuf Bicara Cinta: Dari Hobbes sampai Derrida

Ketika Filsuf Bicara Cinta: Dari Hobbes sampai Derrida



Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

“Don’t sleep away this night my baby. Please stay with me at least ‘till dawn...”
[Daniel Sahuleka]

“Cinta” Didefinisikan Kembali
Bagi saya, definisi terapik mengenai cinta diungkap oleh Kahlil Gibran, ia mengatakan bahwa “cinta adalah sesuatu yang menggetarkan”. Ini artinya, ketika Anda membuat gawai dalam mode ‘getar’, tiap kali ada telpon, SMS, atau pesan WA yang masuk; di situ ada cinta. Begitu juga, ketika sedang terjadi gempa, sebaiknya Anda tidak cepat-cepat keluar rumah, karena saat itu juga Anda sedang dipenuhi cinta. Begitupun, cara termudah menemukan cinta adalah lewat memegang kawat tembaga dengan tangan telanjang, lalu Anda masukkan ke colokan listrik; niscaya Anda akan menemukan cinta di situ (baca: kesetrum).

Bukan, bukan itu semua tentunya yang dimaksudkan Gibran. Cinta sebagai sesuatu yang menggetarkan terkait erat dengan perasaan, karena memang, hanya perasaanlah yang bisa membuat getaran alami dalam tubuh—di samping kerusakan syaraf, otot, dan lain sejenisnya. Meskipun memang, ini masih bisa diperdebatkan, kita bisa juga tergetar akibat perasaan (emosi) marah, dendam kesumat, atau kecewa berat. Namun, kita semua tahu perbedaan antara perasaan negatif seperti marah dengan perasaan positif seperti cinta. Perasaan cinta melahirkan reaksi menggetarkan yang menyenangkan, membahagiakan, dan membuat kita melayang enteng; sekalipun itu pada pacar orang lain atau suami/istri orang lain.

Tetapi terkadang, perasaan cinta pun bisa tersamarkan dalam benci. Ada seseorang yang justru bertindak jahat pada orang yang sangat dicintainya, dan justru sama sekali tak tampak mencintai atau menyayanginya. Mungkin Anda masih ingat serial kartun di tahun 2000-an yang berjudul Hey Arnold! Di situ, Helga Pataki yang sesungguhnya mati-matian mencintai dan memuja Arnold justru sering bertindak kasar padanya, bahkan memposisikan dirinya sebagai musuh Arnold. Mereka yang mencintai dengan cara seperti ini (membenci), adalah orang-orang yang memiliki cinta platonis—diambil dari nama filsuf Plato, pencetus pemikiran idealisme (alam idea).

Hey Arnold! [fanpop.com]

Cinta platonis adalah cinta yang tak terjangkau, cinta kita pada idola; seperti cinta saya pada Alyssa Soebandono. Cinta platonis adalah cinta yang ada di angan-angan, dalam mimpi, dan sebagai penegasan (seperti) sebelumnya: sebagai cinta yang tak terjangkau. Sialnya, apabila seseorang terjebak pada cinta platonis, sementara orang yang dicintainya berada di dekatnya dan “terjangkau”, maka ia akan cenderung berlaku jahat kepadanya. Mengapa? Karena ia terlanjur memposisikan orang yang dicintainya sebagai ‘yang tak terjangkau’, sebagai ‘yang paling sempurna dan jauh’. Dengan demikian, apabila orang itu ada di sekitarnya, ia justru merasa terancam dan berupaya menciptakan jarak. Kejahatan yang dilakukannya adalah usaha sekeras-kerasnya untuk menutupi kegugupan, nervous, atau ‘salah tingkah’ saat berada di dekat orang yang dicintainya.

Layaknya cinta sebagai perasaan yang menghasilkan getaran serupa dengan reaksi-reaksi lainnya—amarah misalnya—atau, cinta yang terkadang tersamarkan oleh kebencian; seringkali kita dibingungkan oleh semua itu. Begitu pula, para filsuf memiliki pandangan yang terbelah mengenai cinta, yakni pandangan pesimis dan optimis. Mereka yang pesimis akan cinta, seperti; Thomas Hobbes, Sigmund Freud, Alfred Charles Kinsey, Jean-Paul Sartre, dan Jacques Derrida. Sementara, mereka yang optimis akan cinta, antara lain; Jean-Jacques Rousseau, Soren Aebey Kierkegaard, Karl Marx, dan Erich Fromm.

Pandangan Pesimis tentang Cinta
Pandangan matrealisme Thomas Hobbes membuatnya menempatkan tubuh manusia tak ubahnya sebagai mesin. Begitu juga, berbagai perasaan manusia dianggapnya tak lebih sebagai reaksi kimia semata. Begitu juga dengan cinta. Kita takkan menemui berbagai pemikiran idealis mengenai cinta dari Hobbes. Cinta sebagai kemurnian hati, cinta sebagai anugerah, cinta sebagai gejala yang agung, dan sejenisnya; semua tereduksi sebagai reaksi kimia semata bagi Hobbes. Hal ini tak ubahnya penelitian yang mengatakan bahwa reaksi perasaan manusia yang memakan coklat, sama seperti perasaan ketika jatuh cinta.

Thomas Hobbes [philosophy.org]

Sigmund Freud dan Alfred Kinsey mempunyai pandangan serupa dengan Hobbes, yakni cinta sebagai gejala biologis. Freud yang menjadi pioner psikologi modern membasiskan cinta pada hasrat libidinal (libido). Bagusnya, libido adalah insting hidup manusia, namun kurangnya, ini mengembalikan pengertian cinta sebagai kenikmatan semata, dan kenikmatan berbeda dari kesenangan: kenikmatan selalu menjadi kompensasi atas sesuatu. Berbagai bentuk kenikmatan, termasuk di dalamnya (ber)cinta, selalu bisa dijelaskan lewat tahapan-tahapan phallic atau psikoseksual menurut Freud; fase oral, fase anal, fase phalik, fase laten, dan fase genital. Bahkan seseorang yang merokok misalnya, secara freudian bisa dianggap sebagai orang yang merindukan puting ibu (fase oral). Dan apabila ia telah memiliki pasangan—bisa juga tidak—itu bisa digantikan lewat berciuman.

Sigmund Freud [philosophy.org]

Alfred Kinsey, seorang biolog Amerika Serikat, mendaulat cinta sebagai dorongan seksual. Bahkan baginya, kenikmatan puncak yang bisa diperoleh lewat pertemuan dua lawan jenis hanyalah melalui hubungan seksual. Dalam kamus Kinsey, kita akan sulit menemukan penghormatan dan perlindungan antarmanusia karena cinta, kalaupun ada, penghormatan dan perlindungan itu hanyalah selubung atau “topeng halus” untuk menyembunyikan hasrat liar seksual yang sesungguhnya. Dengan demikian, kita pun tak akan menemui konsep cinta atau hubungan seksual yang sakral dalam pandangan Kinsey; bahwa hubungan seksual adalah upaya memiliki keturunan, representasi dari kemurnian cinta, tabu jika dilakukan sembarangan, usaha untuk membangun keluarga, dan lain sebagainya; karena bagi Kinsey, dorongan seksual yang mewujud dalam cinta adalah hasrat paling liar dan terprimitif manusia yang kini sekadar terbalut oleh “aturan-aturan” kebudayaan—sehingga melahirkan beragam tafsir.

Alfred Kinsey [philosophy.org]

Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre memandang cinta dengan penuh prasangka. Ia menganggap cinta sebagai penindasan halus, pengobyekkan terhadap manusia, bahkan ia mendaulat seseorang yang jatuh cinta sesungguhnya “terjebak” pada dunia orang lain. Bagi Sartre, kecintaan seseorang terhadap orang lain menandai kegagalan dirinya mempertahankan diri sebagai subyek. Dengan mencintai orang lain, ia memiliki konsekuensi berhadapan dengan tuntutan-tuntutan dalam cinta. Dari sini, cinta pun rentan mentransformasi dirinya menjadi hasrat untuk memiliki. Jika telah demikian, maka salah satu pihak akan dikorbankan; menjadi benda, obyek; yang pasrah “ditindak”. Tak hanya itu saja, Sartre menganggap hubungan seksual sebagai pereduksian manusia sebagai ‘daging’ semata. Hal ini sebagaimana ungkapnya: “Hasrat selalu gagal menemukan diri sebagai subyek”.

Jean-Paul Sartre [philosophy.org]

Jacques Derrida, filsuf yang kerap ditasbihkan sebagai salah seorang pemikir posmodernis, memiliki pandangan yang unik mengenai cinta. Baginya, orang yang jatuh cinta adalah “narsis”. Mengapa? Karena orang yang jatuh cinta selalu memerlukan perhatian, bahkan pemujaan dari orang yang dicintainya. Inilah mengapa, orang yang jatuh cinta sesungguhnya tidak sedang mencintai orang lain, tetapi dirinya sendiri. Begitu pula, jika kita menggunakan perspektif dekonstruksionis Derrida, kesempurnaan cinta menjadi hal yang langka. Berpijak pada kritiknya terhadap Marcel Mauss tentang konsep potlatch ‘pemberian cuma-cuma’, diungkap oleh Derrida bahwa “ucapan terima kasih” pun telah menggugurkan pemberian. Ini artinya, seseorang yang mencintai orang lain, dan berharap cintanya dibalas, sesungguhnya telah menggugurkan cintanya pada orang itu. Karena mencintai adalah mencintai, tak harap berbalas, sekalipun orang yang dicintai bertindak jahat dan menolaknya: mencintai tetaplah mencintai.

Jacques Derrida [philosophy.org]

Pandangan Optimis tentang Cinta
Rousseau dianggap banyak pihak sebagai pencetus aliran pemikiran romantis (romantisme). Romantisme Rousseau meyakini bahwa pada hakikatnya setiap manusia terlahir baik, jujur, penuh cinta dan kasih sayang. Apabila manusia menjadi yang sebaliknya, Rousseau mendakwa masyarakatlah yang bertanggung jawab karena “merusaknya”.

[Bersambung...]

*****

13 comments:

  1. I really like your discourse so much. Thank you for it. I hope some new article published by you next time.

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks so much for your appreciation. we do appreciate.

      Delete
  2. Aku sabar menunggu lanjutannya bang

    ReplyDelete
  3. cinta, satu kata, kaya makna
    nggak sabar nunggu lanjutannya..

    ReplyDelete
  4. Sangat membantu bagi pemula yang ingin belajar filsafat,
    Kira-kira lanjutan nya kapan nih?

    ReplyDelete
  5. lanjutannyaaaaa

    ReplyDelete
  6. ini hanya interpretasi saya saja.
    saya kira apa yang di ungkapkan oleh sartre hanyalah sebuah ujian. jika mengacu pada kehampaan eksitensi, mungkin hal yang di takutkan oleh sartre bisa saja terjadi pada manusia dengan berkali-kali lipat konsekuensinya. karena bisa saja manusia kehilangan eksistensinya karena persoalan cinta, tapi bukahkah banyak juga yang telah mendapatkan eksistensi mereka karena cinta? keluar dari kehampaan itu karena cinta pula. yang membuat saya berani mengatakan bahwa itu hanyalah ujian oleh sartre bagi para pencinta, karena orang-orang sudah terlanjur hidup pada kekacaun yang bahkan romantis pun bergeser artinya, dan bahkan cinta pun bisa saja demikian. mengikuti ciri khas dari para filsuf posmoernisme termasuk sartre, menolok tentang satu narasi mapan (Anti-fondasionalisme.)
    tapi say sangat sepakat untuk menggolngkan sartre dalam golongan orang yang pesemis persoalan cinta, manusia bisa kehilangan eksistensinya, dan manusia bisa sealu terjebak dalam kekacauan-nya.

    ReplyDelete