Jean Valjean: Sosok Pahlawan Tragis dalam Les Miserables Victor Hugo

victor hugo
[pic: amazon.com]


Wahyu Budi Nugroho

Pembaca sastra amatiran

Konon, para pekerja yang mencetak novel Les Miserables di tahun 1862 ikut menangis kala mencetak sambil membacanya. Siapa pun memang akan terkesan jika membaca betul novel ini. Novel ini adalah kisah tentang “kesempatan kedua”. Kesempatan kedua seringkali menjadi hal yang paling didambakan banyak orang; untuk memperbaiki diri, untuk menjadi diri yang baru; namun tak sedikit pula mereka yang mengabaikannya, yang tak menyadari betapa kesempatan kedua adalah anugerah, hadiah, atau keajaiban yang tak ternilai harganya.

Les Miserables dibuka dengan kisah menyentak sekaligus mengagumkan. Jean Valjean adalah narapidana yang dihukum 19 tahun penjara karena mencuri roti sewaktu muda, alasannya sederhana: ia kelaparan waktu itu.

Setelah memperoleh pembebasan bersyarat dan dikenai wajib lapor, di tengah perjalanannya, Valjean menginap di sebuah biara karena cuaca buruk. Ia diterima dengan sangat hangat oleh uskup biara itu, Uskup Bienvenu Myriel. Akan tetapi, Valjean menyurangi kebaikan Uskup Myriel.

Diam-diam di tengah malam, Valjean mencuri satu set sendok dan garpu perak. Uskup Myriel yang terbangun karena mendengar sedikit kegaduhan, mendatangi tempat asal bunyi-bunyian itu. Valjean yang kemudian bertatapan langsung dengan Uskup Myriel, memukul Uskup Myriel hingga jatuh tersungkur. Valjean pun segera kabur.

Keesokan paginya, polisi setempat membawa Valjean ke biara karena menemukan satu set sendok dan garpu perak di tas Valjean yang mereka curigai berasal dari biara itu, dan memang, Valjean mengaku pada petugas jika semalam ia menginap di situ.

Akan tetapi, hal mengejutkan terjadi kemudian. Uskup Myriel justru mengatakan kepada para petugas polisi jika ia memang memberikan satu set sendok dan garpu perak itu kepada Valjean. Bahkan, ia mengatakan jika Valjean lupa membawa dua tempat lilin perak lainnya karena terburu-buru meninggalkan biara pada subuh buta. Uskup Myriel pun memerintahkan pembantunya untuk mengambil tempat lilin perak itu dan memberikannya pada Valjean.

Setelah Valjean dilepaskan, ia tertunduk malu dan bertanya pada Uskup Myriel kenapa ia berbohong pada petugas polisi. Uskup Myriel menjawab, “Jean Valjean Saudaraku, kau tak lagi menjadi milik kejahatan. Dengan perak ini, aku membeli jiwamu. Aku sudah menebusmu dari rasa takut dan kebencian. Dan sekarang, aku mengembalikanmu kepada Tuhan ... jadilah manusia baru.”.

Dan memang, sejak saat itu Jean Valjean memutuskan untuk menjadi manusia baru, manusia yang sama sekali berbeda dari sebelumnya: berkebalikan 180 derajat. Sayangnya, akibat insiden ini, Valjean tak sempat wajib lapor sehingga kini ia berstatus sebagai buron.

Singkat cerita, setelah Valjean mengubah diri dan sama sekali menjadi manusia baru, usahanya di sebuah kota kecil berhasil, dan akibat kebaikan hatinya pada banyak orang, ia dicalonkan menjadi walikota. Ia bersikeras menolak pencalonan itu, tetapi akibat “paksaan” penduduk kota, ia pun dengan terpaksa menerimanya.

Suatu hari, datanglah inspektur baru yang dipindahtugaskan ke kota kecil itu, Javert namanya. Tak disangka, inspektur itu adalah mantan pengawas di tempat Valjean dihukum kerja paksa dulu. Javert pada mulanya tak mengenali Valjean, tetapi Valjean tetap mengenalinya. Tentu, Valjean kaget bukan kepalang, ia menjadi sangat canggung dan selalu berusaha membuang muka tatkala berbincang dengan Javert.

Pada suatu momen, teringatlah Javert pada sosok Valjean yang menjadi buron dalam pengasawannya. Ia menemukan ciri fisik yang sama pada Valjean yang telah mengubah namanya menjadi Madeleine. Javert pun secara diam-diam mengulik latar belakang Madeleine (Valjean) dan melaporkan pada atasannya.

Suatu hari, Javert mendapat kabar jika Valjean telah tertangkap dan akan diadili, ini membuat kecurigaannya pada Madeleine tak beralasan. Ia pun segera berterus terang dan meminta maaf pada Madeleine jika selama ini telah mencurigainya sebagai Valjean, tahanan yang kabur. Tanpa pikir panjang, Madeleine memafkaannya, dan meskipun Javert meminta hukuman atas dirinya, Madeleine tak mengabulkannya. Singkat cerita, Madeleine memaafkan Javert tanpa syarat.

Akan tetapi, kabar tertangkapnya Valjean juga mengejutkan Madeleine. Bagaimana tidak, karena ialah Valjean yang sesungguhnya. Dapat dipastikan, polisi telah salah tangkap.

Madeleine pun berangkat ke Paris untuk menyaksikan persidangan Valjean. Dan pada akhirnya, Madeleine yang saat itu merupakan seorang walikota terhormat, mengakui pada khalayak di persidangan bahwa ialah Valjean yang sesungguhnya. Mengapa? Ia tak mau orang yang tak berdosa dihukum atas kesalahannya.

Awalnya, para hadirin sidang tak percaya, tetapi karena Madeleine mampu menunjukkan bukti-bukti akurat bahwa ialah Valjean yang sesungguhnya; mereka pun akhirnya percaya.

Mengetahui kabar ini, Javert berteriak girang, “Aku tahu itu!”, nyatanya selama ini kecurigaannya benar.

Madeleine segera melarikan diri, ia tak mau kembali ke kamp kerja paksa, karena merasa hukuman yang dijatuhkan padanya sangatlah tak adil—19 tahun penjara hanya karena mencuri roti.

Beruntung, orang-orang justru membantu pelariannya, termasuk petugas polisi kota, karena memang Valjean selama ini telah bertindak sangat baik pada orang-orang; pada penduduk kota. Kebaikannya sangat membekas.

Di tengah pelariannya, Valjean tak lupa menjemput Cossette. Ia adalah anak seorang pelacur bernama Fantine yang meninggal karena TBC, yang telah membuat Valjean berjanji untuk merawatnya. Fantine sesungguhnya terpaksa melakoni profesi sebagai pelacur. Ia dipecat dari pekerjaannya karena ketahuan memiliki anak yang tak sah (Cossette)—saat itu moralitas sangatlah keras di Perancis.

Setelahnya, Cossette pun menemani petualangan (baca: pelarian) Valjean, sementara ia terus diburu Javert.

Pada akhirnya, Valjean dan Cossette berhasil memasuki kota Paris dan bersembunyi di sebuah biara. Ia tinggal di sana bersama Cossete selama belasan tahun.

Beranjak remaja, Cossette tak menghendaki dirinya menjadi biarawati, ia memohon pada Valjean agar bisa keluar dari biara. Valjean mengiyakannya, dan dengan uang yang masih disimpan Valjean, mereka membeli sebuah rumah cukup mewah di kota Paris.

Akan tetapi, betapa terkejutnya Valjean mengetahui jika Javert masih memburunya, meskipun telah belasan tahun berlalu. Javert memanglah sosok petugas polisi yang kaku dan terobsesi dengan hukum, bahkan cenderung “gila”.

Beruntung, kedekatan Cossette dengan pemuda progresif yang menyuarakan revolusi mampu menyelamatkan Valjean. Meskipun sebelumnya itu yang justru menyebabkan jati diri Valjean kembali terbongkar dan diketahui Javert. Setelahnya, Valjean dan Cossete pun “berlindung” pada kelompok revolusioner muda ini.

Javert yang kemudian menyoba menyamar untuk menyusupi kelompok revolusioner, pada akhirnya justru ditangkap oleh kekasih Cossette—pemuda revolusioner.

Ketika kelompok revolusioner itu hendak mengeksekusi Javert, Valjean meminta izin untuk mengambil alih tugas itu. Tetapi, apa yang dilakukan Valjean? Ia justru melepaskan Javert.

Meskipun begitu, Javert terus saja meyakinkan Valjean agar mengeksekusinya. Ia mengatakan betapa ia takkan pernah berhenti memburu Valjean, di sini, semakin tampak jelas “kegilaan” Javert. Mendengar itu, Valjean tetap melepaskannya.

Syahdan, revolusi pun gagal, dan pemerintah berhasil mengendalikan situasi. Tentu, Javert kembali di atas angin. Ia pun berhasil menangkap Valjean dan kekasih Cossette.

Valjean memohon kepada Javert agar melepaskan pemuda itu, dan sebagai gantinya, dirinyalah yang ditahan; sosok yang telah berbelas-belas tahun lamanya diburu Javert.

Javert mengabulkan permintaan Valjean, dan kembali mengungkit betapa seharusnya Valjean membunuh dirinya selagi ada kesempatan. Tetapi, apa yang terjadi kemudian...?

Javert justru melepaskan borgol Valjean, kemudian balik memborgol dirinya sendiri. Ia pun menjatuhkan diri ke aliran sungai yang ada di belakangnya, hanyut dan mati.

Ia malu dengan kebaikan hati Valjean.

 

*****

0 Comments:

Post a Comment