Tinjauan Nietzschean Sop Ayam Pak Min Klaten

 


 Wahyu Budi Nugroho

Penggemar Sop Ayam Pak Min Klaten

Kenapa Sop Ayam Pak Min Klaten bisa sedemikian suksesnya, hingga memiliki cabang dimana-mana? Jawabnya sederhana, karena Pak Min tahu apa yang kita inginkan. Ketika kita menginginkan sop, maka itu sebetulnya hanyalah kuah dan dagingnya. Bukan tomat, kentang, wortel, kubis, brokoli, dan lain-lainnya: hanya kuah dan daging!

Sop ayam Pak Min begitu frontal dan brutal, juga “gersang” dalam batas-batas tertentu; hanya berisi kuah, daging, dan sedikit bawang goreng serta seledri terkadang; tetapi memang inilah yang kita inginkan. Pak Min mengejek sop-sop ayam lain yang kerap menambahkan entitas-entitas tak esensial dalam sopnya, yang justru, sebetulnya, merusak dan menyemari citarasa sop ayam itu sendiri, memiskinkan rasa kaldunya.

Di sini, Pak Min berhasil menyingkap selubung hasrat terdalam kita akan sop ayam. Dan meskipun itu sedikit kasar, tetapi kita berterima kasih kepadanya—karena ia berhasil mewujudkan apa yang betul-betul kita inginkan. Ini tak ada bedanya dengan Nietzsche yang berhasil mengungkap segala motivasi manusia dalam satu premis: “Kehendak akan kuasa!”.

Kehendak akan kuasa kerapkali bertopengkan moralitas, kesantunan dan kesopanan, kepandaian, atau apa pun itu berbagai kualitas nilai yang dianggap lebih dan dihargai dalam masyarakat. Lewat perspektif nietzschean, seorang pemuka agama yang alim dan kalem bisa dituduh memilki kehendak akan kuasa pada umatnya. Seorang guru atau dosen yang baik, bisa disangkakan menyimpan kehendak akan kuasa juga pada murid-muridnya.




Dalam sabda Nietzsche, seringkali usaha untuk mencapai kuasa dilakukan dengan membalikkan nilai, norma, atau budaya yang ada—bahkan peradaban. Ketika seseorang tak mampu berkuasa lewat sarana kekerasan dan kehewanan, ia akan berupaya membalikkan semua itu pada nilai-nilai kasih sayang dan “kecengengan”. Lewat nilai-nilai baru inilah sesungguhnya seseorang menjadikannya cara untuk berkuasa.

Dalam hal ini, Pak Min tampil sebagai "pengubah jalannya permainan". Ia menerabas pakem-pakem dunia persopayaman konvensional, menjungkirbalikkannya, dan membuat definisinya sendiri tentang sop ayam, yaitu sop ayam yang memang seyogiyanya hanya terdiri dari kuah dan daging. Dengan cara inilah Pak Min merebut pasar dunia persopayaman tanah air, dan menguasainya.

Lebih jauh, layaknya sop ayam Pak Min yang gersang dan apa adanya, Nietzsche juga menelanjangi selubung motivasi orang-orang secara apa adanya. Kebaikan, keramahan, perhatian, atau hal-hal menyentuh lain dari seseorang sebagai instrumen untuk berkuasa, berpengaruh, atau “dianggap” di antara orang-orang lainnya, baik disadari atau tidak.

Mari bayangkan sejenak bagaimana serangkaian hal di atas (kebaikan, keramahan, perhatian, dan lain sejenisnya) adalah sayur-mayur dalam sop ayam, sedangkan inti dari sop ayam yang sesungguhnya adalah kuah dan dagingnya. Kuah dan daging adalah kehendak akan kuasa, sementara hal-hal selain itu dalam sop ayam hanyalah selubung agar sop ayam layak dan bisa disebut sebagai sop ayam sebagaimana umumnya—memenuhi kriteria.



Ini adalah pelor yang melesat tepat ke jantung sasaran, tak seorang pun mampu berkutik, apalagi mengelak. Semua adalah kehendak akan kuasa; semua hanyalah kehendak akan kuah panas dan daging ayam untuk menghangatkan diri, bukan sayur-mayur di dalamnya.

Lewat analogi nietzschean yang lain, sop ayam Pak Min adalah dyonisian, sementara sop-sop ayam lainnya adalah apollonian. Dyonisian adalah kejujuran, keliaran, dan keberanian untuk apa adanya, sementara apollonian adalah pengingkaran, pengilahan atas sesuatu lewat selubung-selubung yang lain, lewat sayur-mayur yang ada pada sop ayam, yang sesungguhnya sama sekali tak kita butuhkan, juga kilahan-kilahan konservatif yang bersikeras jika sop ayam seharusnya berisi ini-itu, tak hanya daging dan kuah saja.

Singkat kata, sop ayam Pak Min adalah makanan super, karena ia mampu mengatasi narasi besar sop-sop ayam sebelumnya.

*****

0 Comments:

Post a Comment