|
[pic: starwars.fandom.com] |
Dhea Anisha Prathika Wibowo
Dalam Beyond
Left and Right (1994), Anthony Giddens menyajikan pemikiran tentang “modernitas
akhir” atau “modernitas tinggi” sebagai sebuah pandangan radikal terhadap
globalisasi. Ia melihat bahwa hal utama yang dibawa globalisasi bukanlah saling
terhubungnya ekonomi global, melainkan saling tergantungnya antara
komunitas-komunitas lokal dengan proses kemodernan global. Adanya teknologi informasi
modern memungkinkan masyarakat menjadi sadar diri dan mampu melakukan social reflexivity ‘refleksivitas sosial’.
Refleksivitas sosial menunjuk pada mungkinnya suatu masyarakat melakukan
evaluasi atas dasar aspek-aspek yang sangat intim dalam ranah kehidupannya yang
berkaitan dengan perubahan sosial yang cepat.
Giddens sendiri menyatakan bahwa kehidupan di era
modern tinggi berbeda halnya dengan kondisi modern awal. Baginya, era modern
sekarang adalah era terjadinya sebuah perubahan atau perkembangan sosial-budaya
yang sangat cepat. Perubahan ini meliputi semua aspek yang ada dalam
kebudayaan, yang diibaratkan sebagai sebuah “panser raksasa” (juggernaut) yang melaju begitu cepat dan
dapat dikendalikan pada taraf tertentu, akan tetapi jika sebaliknya, maka ia
dapat terperosok ke jurang dan hancur berkeping-keping.
Perubahan yang sangat cepat dalam kehidupan, atau
yang Giddens istilahkan dengan runway
world ‘dunia yang berlari kencang’, bakal melahirkan kekhawatiran dan
kecemasan. Rasa khawatir itu muncul ketika arah yang diambil para pengendali
atau penentu kebijakan tidak tepat, sehingga membawa kita semua pada malapetaka
dunia (Giddens, 1990: 139). Ia melihat terdapat empat institusi penting untuk
mendefinisikan modernitas. Pertama,
kapitalisme yang ditandai dengan produksi komoditas, pemilikan pribadi atas
modal, tenaga kerja tanpa properti, dan lain-lain. Kedua, industrialisme yang menggunakan sumberdaya alam dan mesin
untuk menghasilkan barang. Ketiga,
kemampuan dalam mengawasi (surveillance
capacities) aktivitas warga negara, terlebih dalam bidang politik, dan Keempat, pengendalian atas alat-alat
kekerasan atau industrialisasi alat-alat perang.
|
Anthony Giddens [pic: gold.ac.uk] |
“Panser raksasa” dalam gagasan Giddens memiliki
arti sebagai metafora bagi kehidupan sosial-struktural. Guna memahami metafora
ini, kita dapat mengandaikan kekhawatiran akan ketidakmampuan para ilmuwan
untuk mengubah arah kebijakan negara dalam menghindari dan mengatasi masalah. Cara
yang digunakan Giddens sangat menarik, karena ia menggunakan dualisme dalam konteks
sosial-budaya di era modern dengan konsep juggernaut
atau “panser raksasa”. Kehidupan sosial-budaya dapat diartikan sebagai panser
raksasa yang lajunya sangat cepat dan arahnya menunjukan tanda-tanda
ketidakbenaran.
Bagi Giddens, diperlukan sosok agen (individu, ilmuwan,
aktor) yang memiliki kemampuan untuk mengubah arah modernitas yang hampir terperosok
ke jurang. Dalam hal ini Giddens menempatkan aktor sebagai individu yang lebih
memiliki kebebasan dan kekuatan, karena menurut Giddens aktor adalah pelaksana
tindakan yang relatif bebas untuk memilih tindakannya karena berada di atas
struktur.
*****
0 Comments:
Post a Comment