Feminisme ala Julia Kristeva: “Feminis yang bukan feminis”

[pic: the-tls.co.uk]

I. A. Dea Ikka Wardhani

Feminisme Lama dan Feminisme Posmodern
Ranah perjuangan feminisme posmodern tak sama dengan “feminisme lama”, arus pemikiran feminisme posmodern lebih berfokus pada eksistensi perempuan lewat tulisan, gaya bahasa, dan tatanan kata dalam sastra sehingga perempuan menjadi bebas dengan caranya sendiri—bukan lewat segala konstruksi yang dibebankan kepadanya. Julia Kristeva, tokoh feminis posmodern asal Perancis yang enggan disebut sebagai seorang feminis merupakan tokoh kontroversial karena penolakannya terhadap feminisme lama yang menegasi maskulinisme.

Ia tidak menyukai feminisme yang telalu mengatur perempuan harus menjadi seperti apa. Selain itu, ia juga tidak sependapat ketika feminisme lama menciptakan cap bahwa feminisme adalah lawan dari maskulinisme, sehingga apa pun yang dilakukan atas nama feminisme pastilah beriringan dengan terminus kebebasan dari maskulinisme.

Kristeva mengatakan bahwa gerakan feminisme (lama) memang sedikit-banyak mampu memperbaiki ketidakadilan gender yang menimpa perempuan, namun feminisme lama juga dapat menjerumuskan perempuan pada dogmatisme baru. Dogmatisme tersebut berupa pelenyapan keunikan individu oleh identitas kelompok yang mengatasnamakan feminis. Feminisme lama dengan visi utama “kebebasan”, cenderung menuntut perempuan untuk melepaskan kekhasan budayanya serta melakukan universalisasi perempuan.

Perempuan dianggap tak lagi perlu memikirkan aturan budaya mereka, atau dengan kata lain, feminisme tak menerima mereka yang memiliki karakteristik tertentu: mereka haruslah seragam. Padahal menurut Kristeva, setiap perempuan bebas untuk memilih menjadi seperti apa; termasuk untuk menjadi feminis yang bagaimana. Selain itu, feminisme lama menjadikan perempuan memiliki peran ganda; mereka harus mampu bertindak baik di ranah domestik maupun publik, yang justru membebani perempuan itu sendiri.

Feminisme lama menganggap bahwa pemosisian mereka sebagai ibu rumah tangga adalah produk patriarki. Julia Kristeva mengritik ini lewat esainya yang berjudul Woman’s Time (1981), ia mengatakan bahwa manusia sejatinya tidak sendirian, sudah menjadi kodrat manusia untuk berbaur dan saling melengkapi satu sama lain sehingga ketika ia memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, itu bukanlah masalah, sejauh keputusan itu tak diambil karena keterpaksaan.

Semiotika Gender
Representasi semiotik di ranah bahasa turut menjadi salah satu pemikiran Kristeva, terutama dalam konteks bahasa feminin dan maskulin. Pemikiran ini dipengaruhi oleh Jacques Lacan tentang subjek individual yang dikonstruksi melalui bahasa, yakni lewat simbol yang bekerja dalam kehidupan fisik, tekstual, dan sosial. Pemikiran Lacan sendiri awalnya dipengaruhi oleh teori Sigmund Freud mengenai dorongan seksual pra-Oedipal dan Oedipal.

Pra-Oedipal merupakan tahapan semiotik ketiadaan bahasa, fase ini lebih menekankan gejala perasaan sehingga tak ada pemikiran mengenai penanda yang membedakan antara konsep “Aku” dengan “Yang Lain”. Oleh sebab itu, keibuan atau kebapakan tidak terpikirkan oleh bayi; yang ada hanyalah perasaan siapa yang terdekat. Ketika memasuki tahapan Oedipal atau simbolik, barulah individu akan berpikir tentang penanda. Ia memasuki tahapan pemisahan diri dari “Aku” dengan “Yang Lain”, kemudian ia mulai mendefinisikan diri sendiri di masyarakat, termasuk dalam gender.

Julia Kristeva mendasarkan pemisahan tersebut pada rasa benci, jijik, atau hina. Ketika individu mulai mengalami ketidaksesuaian pada salah satu gender karena perasaan tersebut, ia akan memisahkan diri dan menjauh. Sayangnya, pemikiran ini menekankan pada pemisahan diri pada perempuan. Kesan simbolik pada diri laki-laki sebagai “yang menarik” dan sebagai “idola masyarakat” menjadi terpedomankan—terinternalisasi kuat.

Kristeva memandang sulitnya perempuan memasuki ruang publik dikarenakan adanya permasalahan bahasa yang tak baku atau tak terpedoman. Bahasa-bahasa perempuan seringkali tak memiliki dasar (alasan) yang jelas, semisal alasan perempuan marah yang biasa dikaitkan dengan kondisi menstruasi, padahal sesungguhnya itu sama sekali tak berhubungan. Akibatnya, tanda atau bahasa dari perempuan menjadi tidak ada artinya dan tidak dianggap. Lain halnya dengan laki-laki yang sedari awal memberikan perannya dan menjadikan bahasa mereka terbakukan. Hal ini pada akhirnya membuat perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.

Julia Kristeva juga dengan tegas menentang identitas feminin (dengan perempuan biologis) serta maskulin (dengan laki-laki biologis). Perempuan ataupun laki-laki (dalam pemahaman ini dikatakan feminis dan maskulin) dapat berada pada diri siapa saja karena gender bukanlah mengenai jenis kelamin. Ketertarikan orang-orang pada laki-laki bukan semata-mata karena penis yang dimilikinya, tetapi juga karena beragam bahasa yang terpedomankan kepadanya. Dengan demikian, tak perlu heran ketika ada seorang perempuan memiliki sifat kelaki-lakian (maskulin), atau sebaliknya ketika laki-laki memiliki sifat keperempuanan (feminin), semua karena pengambilan bahasa yang ada, dan bukan dikarenakan pengambilan penis atau vagina.

Oleh karenanya, Kristeva lebih menekankan feminisme pada sastra karena bahasalah yang menjadi awal dari ketidakadilan gender. Kristeva memaknai kebebasan gender sebagai kemampuan terlepas dari belenggu semiotika antara pra-Oedipal dengan Oedipal, yakni kebebasan bergerak di antara chaos ‘kekacauan’ dan tatanan. Artinya, menjadi feminis di era sekarang berarti membebaskan perempuan menjadi seperti apa dan bagaimana; bukan karena keharusan menjadi sesuatu untuk bersaing dengan maskulinitas.

*****

0 Comments:

Post a Comment