Kondisi-kondisi Posmodern

[pic: hisour.com]

Dhea Anisha Prathika Wibowo

Arti paling mendasar posmodern adalah “setelah modern”, yang juga berarti “zaman baru”. Istilah "modern" sendiri berasal bahasa Latin, modernus yang digunakan sejak abad 5 M sebagai batas antara era kekuasaan agama Kristen dengan era paganisme Romawi (Smart, 1990). Lambat-laun, istilah ini berkembang menjadi beberapa istilah turunan, yaitu; modernitas, modernisasi, dan modernisme yang seringkali dalam penggunaannya terjadi tumpang-tindih dan simplifikasi pengertian. Kembali pada terma posmodern, istilah ini sudah digunakan di Barat oleh seniman Inggris, John Watkins Chapman sejak tahun 1870-an (Ratna, 2009). Pada tahun 1930-an istilah posmodern muncul kembali melalui Federico de Onis sebagai reaksi akan kelemahan modernisme. Sedangkan pada tahun 1980-an, istilah posmodern dalam dunia ilmiah sudah tidak asing lagi, bahkan sudah sangat umum digunakan.

Banyak yang menganggap jika arus pemikiran posmodern hanyalah tren sesaat. Namun yang terjadi sebaliknya, pemikiran posmodern justru berkembang pesat dan kian meluaskan pengaruhnya. Istilah ini bahkan telah diterima secara umum dan mafhum digunakan di hampir seluruh media; jurnal, surat kabar, juga stasiun-stasiun televisi. Lebih jauh, terdapat berbagai karakter dari kondisi posmodern, antara lain sebagai berikut;

Globalisasi. Semakin terhubungnya bangsa dan wilayah, mengaburkan perbedaan antarwilayah maju (dunia pertama), bangsa, dan wilayah terbelakang (dunia ketiga). Era Informasi yang menyebabkan tak satu pun negara atau wilayah yang dapat mengurung diri dalam batas geografisnya berdampak pada usangnya konsep negara, teritori, dan kewenangan negara berikut kewarganegaraan seperti yang dikemukakan teori-teori sosial-politik modern.

Lokalitas. Dalam pemikiran posmodern, dimensi lokal dan global merupakan dua hal yang berjalan bersamaan, disebut dengan “global paradoks”. Di satu sisi, era Informasi cenderung menghilangkan hal-ihwal yang bersifat lokal, tetapi di sisi lain memungkinkan hal-hal yang bersifat lokal itu memasuki wilayah nasional dan global baru.

Akhir dari sejarah. Posmodernitas adalah keterputusan (diskontinyuitas) sejarah yang halus. Akhir sejarah dapat diartikan sebagai berakhirnya sebuah pertentangan ideologi kapitalis dengan ideologi sosialis, dan semakin merajalelanya kapitalisme global (neo-kapitalisme).

Kematian individu. Self (individualitas) berubah menjadi sebuah arena pertarungan, pertarungan tersebut adalah antara “diri” dengan “lingkungan sosial-budaya”.

Metode informasi. Cara produksi dalam terminologi Marxis kini sudah tidak relevan. Era sekarang adalah era Informasi atau “era pos-Industri”, era di mana masyarakat posmodern telah mengorganisasi dan menyebarkan informasi berikut hiburan.

Era simualsi dan hiperealitas. Jean Baudrillard (1983) menyatakan bahwa realitas sekarang tidak stabil dan berdasar pada konsep ilmiah tradisional (positivisme). Masyarakat semakin banyak yang “tersimulasi”, tertipu dalam “dunia citraan” dan “wacana” yang dengan gerakan cepat dapat menggantikan pengalaman yang dimiliki manusia atas realitas. Goldman dan Parson (1995), mengemukakan bahwasannya iklan (tayangan televisi) adalah wahana utama dalam dunia simulasi tersebut.

Perbedaan dan penundaan dalam bahasa. Bahasa, menurut Jacques Derrida sudah tidak lagi memiliki hubungan representasional, melainkan menggelincirkan realitas. Bahasa sudah tak dapat menggambarkan realitas dunia secara jernih dan transparan. Bahasa sudah dianggap memiliki sifat licin, media ambigu yang dapat membuat sebuah pemahaman yang tadinya jelas berubah menjadi tak pasti.

Polivokalitas. Hal yang dikemukakan dengan paradigma yang berbeda, di mana satu sama lain memiliki kedudukan yang sejajar. Ilmu pengetahuan pun dihadapkan pada multinarasi, di mana satu sama lain saling melengkapi dan bisa saling bersaing.

Kematian analisis oposisi biner. Didasarkan oleh analisis polaritas (oposisi biner) layaknya; laki laki vs perempuan, benar vs salah, negara maju vs negara terbelakang. Hal ini dianggap tidak relevan lagi karena telah lahir keanekaragaman atas posisi subjek.

Lahirnya gerakan sosial baru. Bermunculan gerakan yang mendorong perubahan sosial progresif. Contohnya gerakan perempuan, gerakan perempuan berkulit hitam, gerakan etnis dan budaya lokal, gerakan anti kolonialisme, gerakan lingkungan hidup, dan gerakan kaum lesbian dan gay. Tegas dan jelasnya, berbagai gerakan tersebut menuntut terciptanya perubahan sosial yang baru, penghargaan pada perbedaan etnis, budaya, agama, dan seks—tak lagi berfokus pada isu ekonomi.

Kritik terhadap narasi besar. Era posmodern lebih memercayai keberagaman ketimbang keseragaman, serta lebih menghargai perbedaan interpersonal.

Otherness (keliyanan). Penghargaan pada kelompok atau suara yang terpinggirkan sangat berkaitan erat dengan munculnya gerakan dan perjuangan hak sipil serta penghargaan atas multikulturalisme.

*****


0 Comments:

Post a Comment