‘Keyakinan yang Buruk’ Para Partisipan Karma: Investigasi Psikoanalisis Eksistensial

‘Keyakinan yang Buruk’ Para Partisipan Karma:
Investigasi Psikoanalisis Eksistensial

[pic: iyaa.com]

Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

“Kamu diikutin, lho.”
—Roy Kiyoshi.

Setidaknya, terdapat dua problem utama yang menyertai para partisipan program Karma ANTV. Pertama, mereka merasa kehidupan mereka dikontrol dan dikendalikan oleh “sesuatu” di luar diri mereka, yang dengan demikian kehidupan mereka tak bebas. Kedua, bagaimana mereka kehilangan eksistensi diri mereka sebagai SUBYEK, kedirian mereka dinilai dan dilabelkan oleh tokoh utama acara ini—juga pembawa acaranya—Roy Kiyoshi dan Robby Purba. Setiap mereka yang berpartisipasi dalam acara ini, yakni mereka yang “dipajang” di panel-panel bertulis angka yang konon mewakili tanggal lahirnya, selalu membawa masalah ketidakbebasan dirinya yang merasa dikontrol dan dikendalikan “makhluk gaib” di luar diri mereka. Hadirnya makhluk gaib berupa jin, siluman, setan, iblis, dan semacamnya ini dalam kehidupan mereka ditengarai karena “kiriman” orang lain, residu dari ilmu hitam yang mereka pelajari, ada juga yang hadir dengan sendirinya karena mereka memang disukai makhluk-makhluk seperti itu. Lebih jauh, tulisan ini takkan mendebat ada-tidaknya makhluk-makhluk astral yang dimaksud, melainkan lebih kepada kondisi psikologis para partisipan Karma.

Dalam kasus ini, psikoanalisis eksistensial Jean-Paul Sartre sesungguhnya bisa berbicara cukup banyak. Psikoanalisis eksistensial Sartre adalah proyek untuk menemukan kedirian manusia sebagai entitas yang bebas sebebas-bebasnya. Kebebasan manusia ini disuratkan lewat dalil eksistensialisme yang berbunyi, “eksistensi mendahului esensi”. Apa yang dimaksud adalah, manusia berbeda halnya dengan benda-benda lain yang diciptakan, mereka selalu memiliki esensi dalam penciptaannya, semisal gunting yang ditujukan untuk memotong kertas atau semacamnya, komputer yang diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, dan lain sebagainya. Manusia, berbeda halnya dengan gunting atau komputer; manusia sama sekali tak memiliki esensi dalam penciptaannya. Itulah mengapa Sartre berkata, “Segala sesuatu telah ditetapkan, kecuali cara untuk hidup”. Manusia dapat memilih berbagai cara untuk hidup, ia bebas menciptakan dirinya—hendak menjadi apa dia—bahkan Sartre menegaskan: “Hidup bukanlah soal menemukan dirimu, tetapi menciptakan dirimu”. Di kesempatan lain Sartre berucap, “Manusia itu bebas, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri”, bahkan menurut Sartre, sebetulnya manusia itu dikutuk untuk bebas! (Condemned to be free!)

Jean-Paul Sartre
[pic: philosophynow.org]

Bagi Sartre, selama manusia mengada (baca: hidup), ia berada pada proses penciptaan diri yang terus-menerus: “Sekali manusia terlempar ke dunia, ia bertanggung jawab atas segala yang diperbuatnya”. Sartre secara apik mengilustrasikan ini dengan kisah empat orang pendaki gunung. Di tengah jalan setapak, terdapat bongkahan batu besar yang menghalangi langkah mereka. Nyatanya, terdapat berbagai pilihan bebas untuk meresponnya. Pendaki pertama langsung tertarik menjadikan batu besar itu sebagai latar foto. Pendaki kedua tertarik pada komposisi geologis yang menyusun kesolidan batu tersebut. Pendaki ketiga langsung terduduk lesu menganggap batu itu merusak harinya yang indah, sementara pendaki keempat langsung pulang ke rumah.

[quotes.com]

Pada kesempatan lain, Sartre mengambil contoh yang lebih ekstrim dengan mengutip kata-kata Jules Romains: “Tidak ada korban yang tak bersalah dalam perang!”. Apa yang dimaksudkan Sartre adalah, semua orang bersalah dalam perang. Ketika kita memilih untuk terus hidup, maka menjadi konsekuensi kita jikalau terluka akibat perang, entah karena terkena pecahan mortir, atau cacat seumur hidup. Dengan kata lain, manusia pun sesungguhnya bisa memilih untuk membunuh dirinya agar tak menyaksikan kekejaman perang, mendapati pengalaman traumatis akibat perang, melihat kegetiran-kegetiran yang terjadi, dan semacamnya. Melalui misal-misal di atas, dapatlah ditilik bahwa sesungguhnya selalu tersedia pilihan bebas bagi manusia; dari yang moderat hingga terekstrim. Itulah mengapa, sebetulnya manusia tidak bisa tidak untuk tidak bebas; manusia sepenuhnya dan selamanya bebas menurut Sartre.

Dalam konteks acara Karma, para partisipan merasa hidupnya dikontrol dan dikendalikan oleh sesuatu dari luar dirinya. Mereka tidak leluasa atau tidak bebas menciptakan hidupnya. Seolah segalanya sudah ditentukan, selalu diawasi, dan dituntun oleh suatu “kekuatan luar biasa” yang tak terjamah, atau seperti yang telah ditegaskan sebelumnya: mereka seakan tak mempunyai pilihan bebas!  Bagi Sartre, mereka yang merasa hidupnya tak bebas bisa dikatakan berada dalam mauvaise foi atau “keyakinan yang buruk”. Lebih jauh menurutnya, hanya terdapat dua pilihan bagi manusia yang mengada di dunia, hidup secara otentik, ataukah hidup dengan mauvaise foi. Hidup secara otentik berarti manusia mengakui dan meyakini kediriannya yang bebas sebebas-bebasnya. Ia sepenuhnya lah yang bertanggung jawab terhadap diri berikut bagaimana cara-nya untuk hidup.

[quotes.com]

Sebaliknya, hidup dengan mauvaise foi berarti hidup secara tak otentik. Terminus mauvaise foi juga bisa disubstitusikan dengan istilah malafide atau “penipuan diri”, yakni penipuan manusia bahwa sesungguhnya ia bebas sebebas-bebasnya. Mauvaise foi atau malafide adalah bentuk pengingkaran terhadap kebebasan manusia—bahwa ia sesungguhnya bertanggung jawab penuh terhadap dirinya, bukan orang lain atau hal-hal di luar dirinya. Seseorang yang meyakini dirinya ditakdirkan untuk “menjadi sesuatu” atau “melakukan sesuatu” tanpa bisa mengubahnya adalah contoh konkret bagaimana malafide bekerja. Padahal, proyek penciptaan diri manusia akan (bisa) berlangsung terus-menerus sampai dirinya tiada. Oleh karenanya, manusia sesungguhnya bisa diumpamakan dengan sebuah lukisan. Lukisan tidak akan diketahui akhirnya sebelum lukisan itu selesai dibuat. Sama halnya seperti manusia yang baru bisa diketahui siapa dirinya setelah “proyeknya selesai”. Selama ia hidup, modifikasi-modifikasi selalu mungkin terjadi, itulah mengapa Sartre berkata, “Tak ada manusia yang konsisten!”. Dengan demikian, justru ketika manusia merasa konsisten dan menganggap dirinya tak mampu melakukan berbagai modifikasi pada diri: ia berada dalam keyakinan yang buruk.

Problem kedua. Para partisipan Karma hadir di hadapan Roy Kiyoshi untuk dinilai, seakan Roy Kiyoshi memiliki pengetahuan lebih melampaui sang partisipan, tegas dan jelasnya: mereka dihakimi! Dalam kondisi ini, para partisipan Karma menjadi obyek atau benda yang pasrah “dikerangka” Roy Kiyoshi. Hal ini sebagaimana ungkap Sartre ihwal eksistensi manusia sebagai pour soi ‘berada bagi dirinya’ yang berkesadaran, yang dengan demikian ia dapat menilai dan mengkerangka orang lain. Dalam acara Karma, seyogiyanya para partisipan juga bereksistensi sebagai pour soi, namun keberadaannya diubah menjadi en soi ‘berada dalam dirinya’, ibarat benda yang tak berkesadaran dan pasrah untuk “ditindak”. Dalam eksistensialisme Sartre, para partisipan ini sesungguhnya mengalami “momen eksistensial”, yakni ketika mereka merasakan keintiman dengan diri akibat “serangan” orang lain: “Orang lain melihat dan menilai”. Lebih jauh Sartre berkata, “Ada pendarahan internal ketika duniaku disedot oleh orang lain”. Hal ini pulalah yang kiranya dirasakan para partisipan Karma. Tatapan mata Roy Kiyoshi yang begitu membendakan ibarat lubang yang menyedot partisipan dan seluruh dunianya ke dalam lubang itu.

[quotes.com]

Terlebih, tak jarang pula ditemui pertanyaan-pertanyaan Roy Kiyoshi yang senonoh dan cenderung mempermalukan partisipan, semisal bagaimana partisipan Karma berhubungan intim dengan makhluk gaib, dan lain sejenisnya. Mereka jelas ditelanjangi lewat berbagai pertanyaan semacam ini, itulah mengapa Sartre berkata; “Orang lain adalah neraka!”, “Orang lain adalah sebab kejatuhanku!”. Tegas dan jelasnya, orang lain membuat kita kehilangan diri sebagai SUBYEK. Sementara, kondisi manusia dalam mode diobyekkan, termasuk dinilai (dikerangka) orang lain akan melahirkan nausea, yakni perasaan “muak”, mual; sebentuk muntah-muntahan, sejenis jeli lengket yang menjijikkan. Begitupun, para partisipan yang mengamini kata-kata Roy Kiyoshi tentang dirinya (partisipan) dapat didaulat berada dalam keyakinan yang buruk. Dengan demikian dalam perspektif psikoanalisis eksistensial, acara Karma adalah acara yang aneh. Seseorang dengan sukarela datang dan meminta dirinya untuk diobyekkan atau dibendakan!

*****

Bacaan lanjutan;
Sartre, Jean-Paul, 1948, The Psychology of Imagination, New York Philosophical Library.
______________, 1956, Being and Nothingness, New York Philosophical Library.
______________, 1960, Existentialism is Humanism, Methuen & Co. Ltd.
______________, 1965, Nausea, Penguin Books.
Nugroho, Wahyu Budi, 2013, Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar.

3 comments:

  1. Apresiasi, angkat topi. Selamat Bung Wahyu, selamat Sanglah Institute

    ReplyDelete
  2. topinya tidak perlu diangkat, nanti hilang, tetap dipakai sajalah...

    ReplyDelete
  3. Hahaha...Nanti aku pakaikan lagi jika tak ada 😄

    ReplyDelete