P e r m a i n a n

P e r m a i n a n
 
(pic: kratosdrss.com)
Wahyu BN

Ini adalah permainan menjadi Tuhan, bertahun-tahun sudah kulakukan, dan sampai sekarang belum juga ketahuan. Aku belum tertangkap. Sudah tentu aku ketagihan: ini sangat mengasyikkan.

Sebulan sekali, satu-dua hari dalam seminggu; aku berpindah-pindah hotel. Ada satu syarat utama untuk melakukan permainan ini: kamu harus memesan kamar di lantai tertinggi, atau boleh juga satu-dua lantai di bawahnya, asalkan hotel itu setidaknya punya dua puluh tingkat. Syarat selanjutnya adalah ... kamu harus punya senapan laras panjang yang baik, senapan sniper! Biasanya buatan Amerika atau Jerman, tapi belakangan produk Pindad juga tak kalah bagus. Mono binokularnya juga harus berkualitas; agar akurat. Terakhir, lakukan pada malam hari.

Kubuka jendela, angin dingin yang merasuk hanya kian mendinginkan darahku, merestui sikapku. Dunia ini terlalu panas, seakan neraka bocor: tugaskulah mengurangi hawanya, membuatnya sedikit lebih dingin.

Kuamati jalanan di bawah sana, tangan kananku telah menggenggamnya dengan layak. Segalanya sudah kupersiapkan; peluru terisi penuh, keker kulap jernih, sempat juga tadi larasnya kugosok dengan braso biar berkilap garang.

Kini, saatnya memilih orang-orang yang beruntung...

Ada satu sosok yang sedang kuamati, kudekatkan dan kudekatkan terus citranya dengan mono binokular. Ini bukan pertama kalinya aku menembak gelandangan; sudah enam atau tujuh kali sepertinya. Tapi, apa boleh buat, sepertinya ia akan jadi lumpen proletar yang beruntung selanjutnya.

Kuintai betul dirinya yang sedang bersandar meluruskan kaki di samping pangkal pondasi gedung Bank BNI ’47 di depanku. Kuyakinkan, ia cuma menghabiskan nyawa, sudah kubilang, ini bukan pertama kalinya aku menaruh simpati pada orang-orang sepertinya. Orang semacam ini hanyalah pengamat orang-orang yang berlalu-lalang, tentu terlintas dalam pikirnya andai menjadi salah seorang yang diamati; hidup lebih baik, rumah yang layak, istri yang cantik, juga anak yang meramaikan hari-hari. Ia terlihat begitu lelah dan menatap sayu ke orang-orang. Mungkin seharian tadi ia berkelana kesana-kemari. Wajahnya mengungkap penyesalan terbesar: terlahir ke dunia. Demi Odin, betapa duka nestapa!

Segera kulepaskan kunci pengaman, bersiap menembaknya. Harus tepat di kepala, agar ia langsung mati: akan kuakhiri kesengsaraannya di dunia fana ini.

“Zleeeeeb...!”

Ia jatuh ke samping kiri dari pandangku. Tembakanku tak berbunyi, karena memang kupasang peredam di ujung laras. Kupikir, orang-orang belum menyadari kalau gelandangan itu telah tewas. Ia seperti tertidur saja di pinggir jalan.

Sasaran selanjutnya.

Ada gerombolan lima wanita muda terlihat girang, sepertinya mereka habis menonton konser, atau hendak pergi ke suatu tempat. Tiga orang di antaranya bercakap kesana-kemari sambil sesekali berjalan mundur, dua sisanya merespon dengan antusias. “Perlukah salah satu di antaranya...?” tanyaku dalam hati.

Tidak, tidak. Aku mendapati pemandangan lebih menarik. Seorang anak yang terlihat merengek dan menyeret-nyeret ibunya, seperti ia bersikeras meminta sesuatu. Ibunya terlihat kewalahan. “Siapakah yang lebih pantas...?” batinku.

Seketika aku mempertimbangkan secara seksama. Asal kalian tahu, permainan ini memerlukan konsentrasi tingkat tinggi, juga pengambilan keputusan taktis: otak dipacu sigap untuk setiap sikonnya. Bagaimana tidak, mereka yang telah lalu tak mungkin kembali, seperti masa lalu.

Kumantapkan pilihanku, dan ... “Zleeeeeb!”

Kepala anak kecil itu pecah. Mungkin karena terlalu kecil, seperti batok kelapa muda yang terlesat lembing, lalu isinya, airnya maksudku, tumpah-ruah tanpa bisa ditadah. Sang ibu langsung berteriak histeris. Orang-orang di radius, yakni mereka yang berlalu-lalang tak jauh darinya tampak masih ragu mendekat karena urung memahami yang terjadi. Yang mereka tahu, ibu dan anak itu memerah darah, dari kepala si anak yang pecah, terciprat kental pada atasan sang ibu, di sekitaran dada. Merah segar.

Ramai orang mulai merubung ibu dan anak itu, beberapa juga melihat ke atas, ke arahku. Mereka mulai menyadari situasi. Ada penembak gelap: itulah aku. Jika sudah begini, saatnya beristirahat, besok pagi aku harus check-out pindah ke hotel lainnya.

Malam berikutnya.

Hanya hotel yang berbeda dengan aroma sama: malaikat yang baik tengah memilih mereka yang diberkati, serba kudus. Tentu kalian tahu siapa malaikatnya. Aku, aku, dan selalu aku.

Kulihat anak muda berjalan tanpa keraguan, ada kebanggaan di ubun-ubunnya. Bisa ditebak, ialah anak muda berprestasi, memiliki pencapaian-pencapaian baru di setiap harinya. Mapan, sukses terlalu dini, mempunyai tujuan teramat jelas dalam hidupnya. Anak-anak muda seperti ini, tak pernah membiarkan absurditas mengintip barang semili pun ke dalam hidupnya.

Tapi, apakah ia tetap memperhatikan orangtuanya? Tak pernah menyakiti gadis-gadis? Sebegitu sempurnakah ia? Dan, sudah berapa banyak orang ia korbankan untuk mencapai posisinya saat ini?

“Zleeeeeeb...!”

Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan...

Sejurus seorang lelaki tua mendekat berupaya membalikkan badan pemuda yang tertelungkup itu, kemanusiaannya serasa ditagih. Ya, badan tegap dan penuh kebanggaan itu tak ada lagi. “Zleeeeeeb!” seorang tua itu pun ikut tumbang. Kini mereka seperti sepasang ayah dan anak yang teronggok tak terurus di jalanan, mirip bangkai-bangkai, meski belum menjadi bangkai. Mati.

Tak menunggu lama, sepasang pria dan wanita buru-buru mendekat melakukan segala upayanya. Tapi itu sia-sia, karena kupastikan kedua pria itu mati seketika. Terang, hanya satu-dua orang saja di dunia ini yang masih bisa hidup setelah kepalanya ditembus pe lu ru; kupastikan itu bukan mereka.

Tanpa ragu-ragu, segera kutembaki pria dan wanita itu secara bergiliran. Nyarislah mereka seperti sepasang suami-istri muda dalam pengamatanku sebelumnya, dan nyarislah diriku melihat kepadatan penduduk yang kian-kian. Patah satu tak boleh tumbuh seribu; yang patah biarlah patah; layu, mati, dan menyejarah. Hilang satu biarlah hilang, tak boleh berganti satu yang lain, dua, tiga, dan seterusnya: sadarkah mereka tanah ini sudah terlalu sesak?

Lagi, seseorang berlari mendekati mayat-mayat di jalanan bawah. Empat orang sudah kulenyapkan, tak sabar yang kelima sebentar lagi. Lalu-lalang malam ini cukup sepi, mungkin karena insiden semalam. Dus, orang-orang jadi takut keluar malam. Hanya aku yang tak pernah  takut: malaikat malam telah mengobral berkatnya.

“Zleeeeeeeb!”

Sampailah kita pada yang kelima. Tembakanku selalu tepat; hanya kepala, kepala, dan kepala. Membuncah angan-angan tak bertanggung jawab mereka. Tidakkah mereka tahu setiap diri harus merasa malu pada eksistensinya? Ya, kupinjam kalimat ini dari La Nausee.

Kupikir sementara cukup. Minggu depan malaikat ini bakal hadir di hotel lain, masih dengan tugas sama. Saatnya menutup jendela dan membuka pakaian, besok pagi malaikat ini harus mulai mengoreksi lembar jawab ujian dan memberi nilai para mahasiswanya. Mengapa? Karena kepegawaian universitas memang sudah memintanya.


*****

0 Comments:

Post a Comment