"Perempuan Berkepang Kenangan" Sinta Ridwan

“Perempuan Berkepang Kenangan”
dalam Kumcer 2011-15 Sinta Ridwan


Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

Cerpen Perempuan Berkepang Kenangan terdapat dalam antologi cerpen Sinta Ridwan berjudul sama—Perempuan Berkepang Kenangan—sebagai salah satu cerpen yang ditulisnya antara tahun 2011 hingga 2015. Ada beberapa spot (jika saya boleh menyebutnya demikian) yang membuat pembacaan saya terhadap cerpen ini terjeda-jeda barang sejenak. Jeda ini, bisa jadi adalah hal-hal menarik yang ditemui dalam teks seperti anggapan orang kebanyakan, meskipun memang bagi para heideggerian sekadar kegelisahan-lah (angst) yang bisa menciptakan jeda-jeda itu. Tetapi di sini, jeda itu adalah sesuatu yang saya anggap mengingatkan pada yang lain, suatu tipikal-tipikal, juga memberi ruang bagi saya untuk mengelolanya lebih jauh.

Pertama, munculnya teks yang menyebut tak semua pejabat lokal (pribumi) di era kolonial adalah penghianat, kepanjangan tangan Belanda, atau ya seperti yang disebutkan tervulgar barusan: penghianat. Ini mengingatkan saya pada salah satu acara pengajian Cak Nun (maiyah) di Madura di mana kala itu terdapat seorang pemuda yang mengutuki keras Amerika Serikat sekaligus menghardik-hardiknya. Dengan tenang, kurang-lebih Cak Nun menjawab: Amerika Serikat yang kamu maksud itu yang mana? Apakah pemerintahannya, apakah masyarakatnya? Kalau masyarakatnya, masyarakat yang mana, karena di sana ada juga warga muslim, dan warga yang tak sepakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintahannya sendiri. Jawaban Cak Nun seketika membuat peserta pengajian terperanjat, dan memang benar apa yang dikatakannya. Pola pikir yang cenderung menguniversalkan atau menyeragamkan adalah bentuk kedangkalan berpikir yang tak terbantahkan. Manusia menjadi gagal melihat yang partikular, yang unik dan otentik, juga yang berbeda dari kebanyakan. Di sinilah teks yang ditulis Sinta Ridwan mengingatkan saya akan hal itu.

Kedua, perubahan sudut pandang Sinta Ridwan dalam bercerita. Pada paragraf-paragraf awal ia menggunakan sudut pandang orang pertama—“Aku”—yang mencirikan sastra-sastra bernuansa eksistensial. Perlu diakui memang, sastra-sastra bernuansa ini umumnya menjemukan bagi banyak pembaca; pembaca “dipaksa” untuk mengalami apa yang dialami oleh penulisnya. Di sini, penulis menjadi begitu otoriter, tak memberi ruang bagi sudut pandang orang kedua dan seterusnya. Terdapat upaya untuk menjadikan pembaca layaknya diri penulis, tak jarang pula, kita merasa muak karena serasa membaca “buku harian yang tak penting” di mana kita juga tak mempunyai kepentingan apa pun atasnya. Perlu diakui, hanya segelintir penulis saja di dunia ini yang bisa membuat gaya bernarasi demikian menjadi begitu menarik, saya pribadi salah satunya memfavoritkan Knut Hamsun lewat novel Lapar, dan Hudan Hidayat untuk penulis tanah air lewat cerpen Orang Sakit.

Sinta Ridwan dengan kumcer Perempuan Berkepang Kenangan.

...sementara, Sinta Ridwan dalam paragraf-paragraf awal cerpen ini, bagi saya, gagal mengajak diri saya untuk masuk lebih jauh ke dalam dunianya, pada apa yang sedang diceritakannya. Pada paragraf-paragraf akhir sudut pandang orang pertama, Sinta Ridwan tampak mulai kehabisan energi pembakaran, teks-teksnya tampak mulai menyerah dan putus asa mengajak pembaca ... tetapi, yang menjadi daya kejut kemudian adalah beralihnya narasi Sinta Ridwan pada sudut pandang orang kedua yang otomatis memberi ruang bagi hadirnya orang ketiga, dan seterusnya; dan ini terjadi secara tiba-tiba! Ada daya kejut di situ,  yang sebetulnya adalah upaya “penyelamatan teks” yang cukup brilian oleh Sinta Ridwan, menurut saya. Peralihan ini ditandai oleh “Aku” (Sinta Ridwan) yang sedang bercerita, berganti menjadi cerita mengenai Marni dan Rivai.

Dalam paragraf-paragraf awal peralihan ini, saya juga merasa tergelincir, subyek atau tokoh utama yang dinarasikan menjadi kabur atau berpindah begitu saja—samar. Sempat terbersit, apakah Sinta Ridwan masih menjadi tokoh utama dalam cerita ini, ataukah Marni? Pada akhirnya, cerpen ini ditutup dengan kembalinya sudut pandang orang pertama pada beberapa paragraf terakhir, yakni tuntasnya kisah cinta Marni dan Rivai sehingga kembali pada kisah si penulis (Sinta Ridwan). Ketiga, pada paragraf penghabisan, sebagaimana kisah-kisah pada umumnya, Sinta Ridwan membuat akhir yang “menggantung”, yang tak tuntas. Seakan teks ini masih bisa berlanjut, mungkin menjadi novel yang jauh lebih panjang, di sini saya betul-betul mendapati antiklimaks, dan tentu patut disayangkan karena akhir kisah-kisah yang menggantung pun sebetulnya bisa dibuat “menonjok” seperti narasi klimaks sehingga sulit terlupakan—misal Matinya Seorang Buruh dari Anton Chekhov. Di sini bagi saya, Perempuan Berkepang Kenangan menjadi sulit untuk dikenang karena akhiran yang sekadarnya saja, atau jika hendak dipoinkan: “Perempuan berkepang kenangan yang sulit dikenang”.

Catatan:
Sengaja saya sekadar satu kali membaca cerpen Perempuan Berkepang Kenangan untuk menghindari cara-cara pembacaan yang selalu baru yang bisa muncul dari pembacaan berulang. Dengan begitu, bisa jadi pandangan dan penilaian saya terhadap cerpen ini berubah apabila saya melakukan pembacaan untuk kedua atau ketiga kalinya; juga seterusnya.


*****

0 Comments:

Post a Comment