EMPATI DAN ORANG ASING


[Pic: valetmag.com]

Tyo Mokoagow

 

Roman Krznaric berkata bahwa manusia pada dasarnya adalah Homo Empathicus. Sembilan puluh delapan persen dari kita sebenarnya punya potensi berempati yang tinggi. Dan fitrah ini sudah cukup sebagai alasan bahwa revolusi bisa tercipta dari empati yang paling sederhana sekalipun.

 

Ia mengatakan bahwa kita harus mengajarkan empati sejak dari dini. Bahkan setiap orangtua, tengah belajar berempati kepada anak-anaknya dengan berusaha memahami keinginan dan ketidaksukaan buah hatinya. Dalam skala yang lebih luas, empati dapat meningkatkan kerja sama sosial. Bila Anda fokus berempati kepada seseorang atau suatu kelompok, maka daya moral Anda akan meningkat cepat.

 

“Kapan pun kamu merasa bimbang, atau kamu merasa terlalu egoistis, terapkan ujian ini: Ingatlah wajah dari orang paling malang yang pernah kamu lihat, dan tanyai diri kamu sendiri, apakah ada tindakan yang berguna yang bisa kamu lakukan untuknya sekarang? Dengan begitu, keraguan dan individualitasmu akan mencari,” demikian ujar Mahatma Gandhi, seorang praktisi empati radikal.Gandhi prrmah berkata bahwa ia tidak sekadar Hindu, ia juga Katolik, ia juga Muslim, dan lain-lain…

 

Yang lebih radikal lagi, kita bahkan harus berempati kepada musuh kita. Saya pikir, Robert Green yang menulis 48 Hukum Kekuasaan dan Sun Tzu pun melakukan hal yang sama. Peperangan adalah seni membaca siasat musuh, dan untuk itu, diperlukan energi empati yang tinggi.

 

Ada satu saran menarik yang saya petik dari filsuf ini. Ia berkata, demi mengasah empati, cobalah untuk sekali seminggu berbicang-bincang dengan orang asing. Memancing percakapan dengan siapapun dari pelbagai latar belakang yang acak dan tak tertebak. Berbincanglah tentang cuaca, atau situasi politik terkini, atau tentang pekerjaan, atau tentang rumah, dan macam-macam lagi. Yang lebih menantang lagi, berbincanglah dengan orang yang secara signifikan berbeda dengan Anda, orang yang dilekati oleh stereotip tertentu bahkan.

 

Krznaric memperkenalkan konsep petualangan eksperensial dalam melatih empati. Namanya “Dialogue in the Dark”. Ini seperti museum di mana orang-orang datang dengan penutup mata, di ruangan gelap gulita, tak ada cahaya sama sekali. Semua pengunjung masuk dan dipandu pelayan. Di sana mereka akan belanja, makan malam, berbincang-bincang, dalam situasi di mana mata sama sekali tak bekerja. Aktivitas tersebut dilakukan selama sejam. Kita tampaknya dilatih untuk memahami kegelapan, dan memahami seseorang di balik dinding kegelapan yang mengahalangi kita. Kita lebih terlatih memahami hal-hal yang banyak tak kita hiraukan.

 

Konsep terakhir yang menarik adalah outrospeksi. Kebalikan dari introspeksi. Bila dahulu sekali Sokrates bilang, kalau untuk jadi manusia bijak dan bajik kita harus menyelami diri kita sendiri (introspeksi), maka Krznaric menyeimbangkan introspeksi dan outrospeksi untuk memenuhi tujuan Sokrates itu. Outrospeksi ialah gagasan tentang siapa Anda, dan melangkah keluar dari diri Anda lalu menatap mata orang lain demi memahami dunia mereka.

 

Zaman empati tidak berhenti. Justru baru dimulai pada era internet ini. Sepuluh tahun terakhir, kata empati di mesin pencarian raksasa frekuensinya meningkat dua kali lipat. Kita semakin terhububung dengan orang asing dalam sekali waktu terasing dari diri sendiri. Kita mungkin perlu orang asing, supaya bisa belajar mengenali diri sendiri, supaya tahu cara  terbaik memperlakukan penderitaan manusia dengan penuh takzim.

 

*****

0 Comments:

Post a Comment