Sosiologi Penyangkalan (Bag. 2): Bentuk dan Praktik

                                                            multiplesclerosis.net


"Banyaknya TKA adalah kesalahan kita"

-Luhut Binsar Pandjaitan-



Penyangkalan secara umum diartikan sebagai tindakan aktif yang mengabaikan realitas  atau informasi yang relevan. Pun, penyangkalan juga diletakkan sebagai alat untuk menjauhkan diri dari sebuah tanggung jawab. Lebih jauh, terdapat tiga bentuk penyangkalan; literal, interpretatif, dan implikatif.

Penyangkalan literal

Bentuk penyangkalan secara literal diartikan sebagai bentuk pernyataan bahwa sesuatu tidak terjadi atau tidak benar (Cohen: 2001). Dalam penyangkalan literal, fakta sekaligus informasi di baliknya disangkal (Zerubavel: 2010). Adapun contoh dari praktik penyangkalan literal di ranah pemerintahan: “penggundulan hutan di Indonesia menurun secara signifikan.” Namun, secara fakta dan data, penggundulan hutan mengalami peningkatan. Di ranah konflik: “tidak ada konflik di sini, tidak ada pembantaian, mereka semua berbohong, kami tidak percaya, kami tidak melihat apa-apa.” Pernyataan-pernyataan tersebut menolak untuk mengakui fakta yang terjadi – dengan berbagai alasan, dengan itikad baik atau buruk, dan secara sengaja berbohong sebagai mekanisme pertahanan yang tidak disadari.

Penyangkalan interpretatif

Dalam penyangkalan interpretatif, fakta umum (sesuatu yang terjadi) tidak disangkal. Sebaliknya, mereka diberi arti atau interpretasi yang berbeda dari apa yang terlihat bagi orang lain (Cohen: 2001; Norgaard 2011). Di ranah pribadi, wujud penyangkalan interpretatif seperti: “Saya hanya peminum, bukan pecandu alkohol; saya tidak menderita, hanya diuji dengan berbagai masalah; seks oral adalah perilaku yang tidak pantas, tetapi bukan benar-benar tindakan seks atau hubungan seksual.”  Di ranah konflik: ini adalah pertukaran populasi, bukan pembersihan etnis; kami membunuh karena mereka menyerang terlebih dahulu. Di ranah kebijakan: Covid-19 ada, tetapi tidak perlu dianggap berbahaya; oksigen tidak langka, tapi terbatas; tidak ada penangkapan aktivis, kami hanya mengamankan; ini bukan penggusuran, tapi relokasi. Dengan mengubah kata-kata, dengan eufemisme, atau dengan jargon teknis, para penyangkal membantah makna kognitif yang diberikan pada suatu peristiwa dengan memberikan makna kembali ke peristiwa lain.

Penyangkalan implikatif

Penyangkalan implikatif terjadi ketika upaya penyangkalan atau interpretasi suatu fakta tidak tercapai (Cohen: 2001). Bentuk penyangkalan ini turut dihasilkan dari suatu anggapan bahwa suatu fakta terjadi akibat dari implikasi psikologis, politik atau moral yang mengikuti suatu peristiwa (baca: rasionalisasi sebab-akibat). Adapun praktik penyangkalan implikatif: sebagai saksi perampokan, kita melihat persis apa yang terjadi, tetapi kita menyangkal tanggung jawab sebagai warga negara untuk campur tangan; korupsi dan obral jabatan dianggap wajar dalam sistem politik; adanya penggundulan hutan dianggap lumrah, demi keberlangsungan industri dan pertumbuhan ekonomi. Praktik-praktik penyangkalan tersebut sering disebut “rasionalisasi” (Norgaard 2011). Menganggap peristiwa yang terjadi tidak memiliki hubungan dengan diri kita, sebagai tindakan untuk menghindari risiko menjadi korban atau menganggap orang lain akan akan menangani dan memperbaiki masalah tersebut. 




*****

 

Referensi;

Cohen, Stanley. 2001. States of Denial: Knowing about Atrocities and Suffering. Cambridge: Polity Press. 

Norgaard, Kari Marie. Living in Denial: Climate Change, Emotions, and Everyday Life. Cambridge, Mass: MIT Press, 2011.

Zerubavel, Eviatar. 2010. The Social Sound of Silence: Toward a Sociology of Denial. Pp. 32–44 in Shadows of War: A Social History of Silence in the Twentieth Century, edited by E. Ben-Ze’ev, J. Winter, and R. Ginio. Cambridge: Cambridge University Press.


0 Comments:

Post a Comment