Merawat Kesendirian, Membunuh Sepi, dan Menemukan Diri

 



“Cepat sembuh ya!”

Ujar satgas yang bertugas mengantar pasien suspect Covid-19. Sambil menutup pintu mobil, sepertinya ia bergegas untuk kembali menjemput pasien lain. Saat itu pukul 8 malam. Bahkan katanya mereka tak sempat untuk makan malam di jam yang tepat. Plastik bening seukuran dua kali kursi pengemudi itu menjadi pembatas antara yang menyetir dengan penumpang di dalamnya.
Aku turun dan mengangkut barang-barangku. Dua tas tenteng dan satu ransel yang cukup berat sangat merepotkan untuk diangkut sendiri. Tak ada yang membantu, bahkan menyapaku saat sampai di Lobi. Yang menyambutku hanyalah meja kuning dengan berbagai makanan dan barang titipan yang terlihat berserakan.
Aku masih tak percaya bahwa pada akhirnya akan menjalani karantina di Isolasi Terpusat. Meski begitu, saat sampai di sana aku masih tenang-tenang saja. Mengisolasi diri adalah hal yang sebenarnya biasa aku lakukan. Lebih tepatnya menjauhkan diri dari manusia.
Tapi yang aku pikirkan adalah: apakah aku bisa betah berdiam diri di balik tembok selama 10 hari lebih?
Entahlah. Hingga aku mendapatkan nomor kamar, aku masih tak ingin berpikir yang aneh-aneh.
Keseharianku biasanya habis untuk menulis. Karena pekerjaanku memang begitu. Terkadang pikiran dan diri ini sudah lelah lama-lama berdiam diri di depan laptop. Cara untuk mengusir lelah biasanya adalah mengobrol dengan teman-teman dekatku.
Meski aku benci berinteraksi dengan banyak orang, aku bukanlah anti sosial. Aku tak punya masalah jika harus memulai percakapan atau mengobrol tentang banyak hal.
Aku hanya benci jika obrolan yang dibangun adalah hal-hal menyebalkan, yang seharusnya tak perlu diutarakan. Hal tersebutlah yang membuat diriku sangat ingin sekali mengisolasi diri. Setidaknya energiku bisa diisi ulang saat sendiri. Ini adalah waktu yang tepat. Tapi mengapa aku masih saja merasa kosong?
Hari pertama, sepertinya aku betah melakukan apapun sendiri. Hanya melakukan hal-hal untuk diri sendiri bukanlah sesuatu yang sulit.
Hari kelima, kegundahan itu mulai tiba. Rasanya seperti ulat yang menggeliat ingin keluar dari tanah. Aku mulai sering memposting hal-hal remeh di sosial mediaku. Kesannya memang seperti sedang mencari simpati.
Aku ingin orang-orang memberi perhatian. Aku ingin mereka selalu membalas pesan singkatku dan berujung pada percakapan tanpa batas.
Sepertinya isolasi telah menumbuhkan energiku untuk berinteraksi dengan manusia. Meski ada beberapa dari mereka yang belum pernah kutemui sebelumnya. Percakapan tanpa berhadapan satu sama lain, hanya bergantung pada seberapa cepat masing-masing dari kami membalas pesan singkat itu sesungguhnya membantuku untuk membunuh sepi.
Merawat kesendirian dalam waktu yang lama bukanlah hal yang mudah. Kerentanan akan kerap dialami bagi mereka yang memutuskan untuk menjadi seorang individual.
Ketika mereka, seorang individu yang dituntut untuk mengisolasi diri. Murni bukan dari keinginan mereka sendiri, ternyata dapat memicu perasaan kosong.
Kemungkinan hal ini terjadi karena tak ada energi yang membuat mereka hidup. Meski terkadang mereka tak ingin berbicara dengan orang lain, mereka bisa saja mendapatkan energi dari apa yang mereka lihat ketika berada di ruang terbuka. 
Bisa jadi energi mereka adalah melihat bagaimana orang-orang saling bercakap atau hanya duduk di atas pasir sambil menghirup udara laut.
Mengisolasi diri di dalam ruang tertutup memang hanya membuat diri ini menjadi semakin kosong. Pelarian terbaik adalah dengan membangun percakapan melalui pesan singkat. 
Usaha mencari perhatian kepada orang-orang melalui pesan singkat itu ternyata malah membuatku merasa superior. Dengan begitu aku bisa membunuh sepi. Kesendirian yang biasa aku lalui tetaplah terawat. Aku tak perlu kontak fisik dengan mereka. Aku bisa menemukan diriku bahwa energi yang ku dapatkan adalah melalui kata-kata.
Seperti membaca buku, berlarut dalam kisah si penulisnya. Aku bisa berbagi cerita kepada mereka. Menyelami percakapan yang semakin dalam. Aku bisa mendengar kisah mereka. Kami saling bersahutan sama lain. Seolah-olah percakapan ini tidak ada habisnya. Tak perlu menunggu waktu yang akan datang untuk membuat janji temu. 
10 hari mengisolasi diri bukanlah waktu yang begitu lama. Akan tetapi, rentang waktu tersebut membuatku banyak merenung. Mengilhami berbagai pertanyaan yang berputar di kepala. Aku bisa perlahan menyusun puzzle kehidupan, menemukan diri.
Terima kasih untuk kalian yang menyempatkan diri untuk membalas pesan singkatku. Atau menanggapi hal-hal bodoh yang kerap aku unggah ketika diriku merasa gundah.
Kalian lah yang telah menjadi energi untuk membunuh rasa sepi. Terima kasih karena sudah ada.

—Tulisan ini dibuat ketika penulis, Laksmi Mutiara Prameswari sedang berada di isolasi terpusat pada akhir Agustus 2021. Ada banyak hal yang ia temukan ketika tengah menjalani isolasi, salah satunya adalah terciptanya esai ini.


1 comment:

  1. Selalu sehat Laksmi dan berbahagia,kutunggu tulisan berikutnya

    ReplyDelete