Subjek MANUSIA EGOIS Max Stirner

 

Max Stirner | pinterest.com

 

Fiqri Muliathoha T.

 

Manusia egois adalah salah satu konsep utama yang ditawarkan Max Stirner dalam bukunya, Ego and Its Own (1844). Ketika kita membaca bukunya, kita akan susah sekali menemukan definisi yang tepat dari apa itu “manusia egois”. Hal ini berdasarkan pengalaman penulis yang mengalami kesusahan ketika membaca seperempat buku yang Stirner tulis, dan kemudian memilih beralih ke buku-buku tentang Stirner. Penulis merasa, sangatlah susah untuk memahami pemikiran Stirner dalam Ego and Its Own mengingat ia menulis dengan teknik permainan kata. Selain itu, menurut penulis, kesulitan itu muncul juga karena Stirner menghindari usaha untuk membuat sebuah definisi tepat-tunggal. Stirner lebih memilih memberikan banyak deskripsi tentang apa itu “egois” yang sifatnya ‘berdialog’, tidak langsung dan seringkali kontekstual dengan studi kasus atau isu spesifik yang sedang ia bahas. Hal ini dilakukan karena Stirner berusaha untuk menolak segala macam pemikiran-pemikiran yang sifatnya esensial (essensialisme) dan tidak dapat diubah atau fixed (fixed idea); Stirner menyebut semua istilah itu sebagai spooks.

* 

Manusia egois adalah sebuah usaha Stirner untuk mengembalikan manusia sebagai subjek. Pernyataan itu, didasarkan pada sejarah perkembangan psikologi manusia, di mana semasa kanak-kanak (childhood) subjeknya adalah material dan semasa muda (youth) subjeknya adalah pemikiran (spirit). Seorang anak memang seringkali bertindak untuk memenuhi instingnya, tetapi selama ia belum berhasil melahirkan pikiran (geist sebagai sebuah ‘penemuan diri yang pertama’), dia hanya akan bergerak karena sesuatu di luar dirinya. Ketika ia belum sadar atas dirinya sendiri atau belum memiliki kehendak bebas atau free will, ia hanyalah objek dari segala sesuatu di luar dirinya. Segala sesuatu yang ia inginkan, segala sesuatu yang memerintahnya (orangtua), segala sesuatu di luar diri si anak, menjadi subjek. Kemudian, perlahan-lahan, semakin bertumbuhnya si anak, berkembang juga otaknya. Ketika si anak sudah mampu menemukan dirinya sendiri, tidak hanya berpikir tapi berkesadaran, masuklah dia pada tahap pemuda (youth).

Pada tahap pemuda ini, ia masih merupakan objek, selama ia mendasarkan segalanya pada pemikiran (konsep, ide, keimanan) yang ada di otaknya. Saat ini yang menjadi subjek adalah pemikiran (spirit, geist). Pemikiran (konsep, ide, keimanan) ini lahir karena proses penalaran dan kontemplasi yang dilakukan oleh pemuda tersebut, ketika ia berhadapan dengan situasi di luar dirinya dan perasaan yang ada dalam dirinya. Seperti yang kita tahu, proses penalaran dan pembentukan pikiran dalam kepala tiap manusia, selalu berdasarkan proses enkulturasi (proses pembudayaan, dalam terma antropologi Budaya. (1) Ketika seseorang memikirkan sesuatu yang tidak ia ketahui, ia akan melakukan penalaran, dan seringkali penalaran akan selalu melibatkan pengetahuan yang sudah ada di luar dirinya. Jadi, setiap pemikiran yang ada di dalam kepala kita, mau tidak mau, ada campur tangan dari ide-ide yang ada di luar diri kita. Pemikiran-pemikiran yang ada di luar dirinya dapat dicontohkan dengan adat-istiadat, bahasa, ilmu pengetahuan, pengalaman orang lain, dan lain-lain. Pada tahap ini, pemuda bersifat idealis. Ia menelan mentah-mentah ide atau pemikiran yang ada di luar dirinya. Ia menelan ide atau pemikiran yang sifatnya tetap dan tidak dapat diganggu-gugat. Sifatnya essensial, ide tetap, spooks.

Lalu, (2) Ketika seseorang memiliki pikiran, selama ia ada dalam masyarakat, ia seringkali harus menghadapkan pemikirannya dengan pemikiran-pemikiran lain yang ada di luar dirinya. Perbedaan pemikiran ini menciptakan konflik, kegamangan atau kegalauan eksistensi (anxiety, rendah diri, dan lain-lain). Ia  terus mencari kebenaran-kebenaran pada pemikiran-pemikiran yang ada di luar dirinya, merasa segala pemikiran yang ia miliki selalu lebih lemah sifatnya dari segala pemikiran yang ada di luar dirinya. Ia merasa, bahwa pemikirannya (uncomplate ‘subjective’ spirit) selalu kurang, mengisyaratkan ada sesuatu pemikiran yang sifatnya ideal. Kemudian, ia memberikan sebuah status ‘spiritual’ pada pemikiran di luar dirinya yang ia anggap ideal (objective spirit). Segala macam pemikiran ideal ini, kemudian harus diwujudkan dalam kenyataan. Mulailah ia menciptakan institusi-intitusi yang dibangun atas landasan pemikiran ideal, contohnya; nasionalisme dan negara, keadilan dan pengadilan, Tuhan dan institusi agama, kebangsaan dan batas wilayah negara, serta segala dogma yang lainnya. Ia kemudian tunduk pada hal-hal tersebut. Pemikiran yang ideal ini (dan beberapa memiliki institusi), pada gilirannya menjadi subjek, dan kita adalah objek.

** 

Manusia egois, bertolak dari dua pengandaian Stirner di atas. Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek; material dan pemikiran-pemikiran adalah objek. Materialitas bisa di atasi dengan perkembangan otak dan penalaran (reason). Tetapi, untuk melepaskan diri dari pemikiran (spirit, spooks) agaklah sulit. Kita hanya dapat mengatasinya melalui dua hal, apa yang Stirner sebut (1) Kepemilikan diri (owness), dan (2) Anti esensialisme yang sifatnya tersirat dalam bukunya. Di sini, penulis memakai penafsiran Saul Newman atas buku Max Stirner dalam beberapa tulisannya.

Ketika berbicara soal kepemilikan diri, sebagai salah satu contoh, Stirner meletakkannya dalam pembahasan tentang penolakannya pada konsepsi liberalisme. Menurutnya, liberalisme hanyalah omong-kosong, karena ia menjanjikan kebebasan. Menurutnya, konsep kebebasan tidaklah ada, ia hanyalah konsep dalam mimpi. Kebebasan yang ditawarkan liberalisme mengisyaratkan bahwa sistem negara adalah penjaga kebebasan. Ia harus dipelihara oleh semua orang yang ada di dalamnya. Di sini, orang-orang yang ada di dalamnya, kehilangan dirinya dan hanya dilihat sebagai roda penggerak kecil dari mesin besar yang disebut negara. Negara mengorbankan individu, ia menolak keunikan yang dimiliki individu. Atas nama ‘kebaikan bersama dan tujuan bersama’, negara seringkali lupa bahwa apa yang ia hadapi adalah individu yang memiliki perasaan, mimpi, kesedihan, hidung untuk bernapas, galau, anxiety, dan lain sebagainya. Mereka lupa bahwa tiap-tiap individu itu berbeda dan punya permasalahannya masing-masing. Mereka hanya melihat individu-individu sebagai angka-angka statistik. Di sinilah kemudian, Stirner menggantikan kebebasan dengan kepemilikan diri. Menurutnya, manusia hanya menjadi dirinya sendiri, selama ia dapat menguasai dirinya sendiri, karenanya, ia memiliki dirinya sendiri secara utuh. Ia adalah subjek. Aku adalah milikku sendiri.

Kebebasan dalam kerangka liberalisme humanis, juga bermasalah. Kebebasan-kebebasan yang ditawarkan oleh filsuf-filsuf humanis (salah satunya Kant) mengisyaratkan bahwa, untuk mencapai kebebasan, kita harus seperti ini, ini, dan ini, manusia haruslah bersifat ini dan ini, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini bersifat esensialis, gagasan bahwa ada kategori-kategori atau konsep-konsep yang umum dari manusia (categorical imperative). Kategori-kategori itu seakan-akan bersifat tidak dapat diganggu-gugat dan universal, seperti idea dalam konsep Plato. Sebagai contoh, bohong itu buruk, tidak dapat diganggu gugat, padahal kita harus melihat konteksnya. Bohong, pada anak kecil yang insecure mungkin diperbolehkan untuk menambah kepercayaan dirinya. Berpikir dengan cara esensialisme, seringkali membuat kita tidak empiris (membumi), berandai-andai (mengawang/terbang) dan rawan menjadi masalah yang serius, salah satu contohnya adalah rasisme. Di sinilah kemudian, Stirner menyerukan perlawan terhadap hantu-hantu (spooks) yang ada di dalam kepala kita dan di luar diri kita. Hantu-hantu atau konsep, ide, pemikiran yang seakan-akan tidak bisa diganggu-gugat. Perlawanannya ini mengisyaratkan pemikiran Stirner yang bercorak anti esensialisme.

Dengan demikian, manusia egoisme dapat dicapai melaui dua hal di atas. Manusia egois adalah dia yang memiliki dirinya sendiri. Manusia egois adalah dia yang berani mempertanyakan segala macam pemikiran-pemikiran, baik yang ada di dalam dirinya, diluar dirinya, termasuk pemikiran yang terinstitusionalkan. Semua ia lakukan dalam upaya untuk mengembalikan dirinya sebagai subjek.

***

0 Comments:

Post a Comment