Semua akan Indah pada Waktunya


“The elite will ultimately line up like ducks in a row
behind whoever is accumulating the most power”
-Jeffrey Winters-
                                      

Selama menjalin asmara dan membangun karir, saya selalu diberikan wejangan, "semangat, salah dan gagal itu biasa, semua akan indah pada waktunya". Namun,  ketika saya kembali berjuang dan gagal lagi, saya masih belum bisa menemukan makna dari wejangan tersebut. Mungkin saya masih harus terus belajar tentang politik kehidupan. Terlebih sebagai rakyat, saya adalah salah satu objek dari buruknya praktik politik di negeri ini.


Indonesia telah memasuki babak baru dalam sejarah kelam politiknya, meskipun kebaruan hanya berpihak kepada elit politik. Keputusan Jokowi menunjuk Prabowo sebagai Menteri Pertahanan secara tidak langsung membawa gerbong Gerindra sebagai bagian koalisi. Menurut Hasto, merangkul Gerindra dan memberi tempat di dalam kabinet dimaknai sebagai konsolidasi ideologi, politik, pemerintahan serta semangat rekonsiliasi untuk membentuk sebuah kekuatan nasional. Tidak adanya konflik antar partai turut menghentikan rentetan pertikain antara cebong dan kampret. Ibarat, bergabungnya Gerindra ke “Kabinet Indonesia Maju” adalah sebuah langkah perdamaian dan kemajuan besar, meskipun rasa damai dan maju itu pun dimonopoli oleh mereka.


Merangkul oposisi adalah cara jitu Jokowi untuk  mengamankan kekuasaan di periode kedua. Sinyal negatif kemunduran demokrasi di Indonesia tak hanya berimplikasi pada menurunya mekanisme check and balance, tetapi juga mengulang promiskuitas pembagian kekuasaan di antara elit politik. Dimana matinya oposisi pun berarti memberikan ruang bagi tumbuhnya oligarki di tubuh pemerintahan. Bergabungnya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tak ayal sebagai ajang reuni (bagi-bagi kursi) para kontestan pemilu presiden 2019, sekaligus menguatkan tesis kuatnya dominasi menteri dari partai politik di kabinet Jokowi.


Menganalisa kualitas demokrasi Indonesia berdasarkan dimensi institusional dan perilaku, demokrasi di Indonesia berjalan dengan sangat baik. Akan tetapi, apabila demokrasi dianalisis sebagai kesempatan untuk memperjuangkan hak asasi manusia, demokrasi di Indonesia sangatlah buruk. Keberhasilan rezim Jokowi meredakan konflik dengan oposisi tidak diikuti dengan meredanya konflik antara rakyat dengan para pengusaha yang didukung oleh rezim Jokowinomi. Manipulasi politik hingga intimidasi negara dan korporasi terhadap rakyat masih menjadi strategi utama kerja, kerja, kerja di era kebaruan orde baru saat ini.


Saya menerima adagium jika politik itu dinamis, tidak ada kawan dan lawan abadi di dalamnya. Akan tetapi, saya berharap pendapat "pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa", tidak lagi digunakan dalam konteks demokrasi di Indonesia.


Pada akhirnya saya pun paham akan makna kalimat "semua akan indah asalkan ada kepentingannya pada waktunya”. 

Makna tersebut adalah JOKOWI-MA’ARUF AMIN-PRABOWO-SANDIAGA.



0 Comments:

Post a Comment