Strategi Reynhard: Perkawinan Libido dengan Rasionalitas




Wahyu Budi Nugroho

Pendidikan Tinggi dan Kebejatan Moral
Kita bisa memulai uraian ini lewat Plato yang menyatakan bahwa tingginya pendidikan, atau kepintaran seseorang, tidak berbanding lurus dengan moralnya. Dengan kata lain, mereka yang pandai, belum tentu bermoral. Itulah mengapa, Plato menganjurkan, pemerintahan seharusnya bukan dipimpin oleh orang yang paling pintar, melainkan oleh orang yang paling bijaksana. Secara historis, oposisi antara intelektualitas dengan kemanusiaan kian dipertegas lewat perceraian antara sains dengan filsafat yang mulai terjadi di abad ke-15. Sains, yang merepresentasi ilmu-ilmu eksakta, menganggap memiliki kedudukan lebih tinggi dan “lebih terhormat” karena sifatnya yang pasti, berbeda dengan filsafat yang penuh spekulasi dan abstrak. Maka, sejak saat itu, dimulailah perpecahan epistemologis yang menyebabkan ilmu-ilmu eksakta dan sosial-humaniora mengambil jalan masing-masing dan saling meninggalkan. Akibatnya, sains pun kehilangan sentuhan kemanusiaan, dan pada akhirnya: kehilangan etika serta moralitas.

Namun pada perkembangannya, baik keduanya terlibat kontestasi tak berkesudahan untuk saling goda dan memengaruhi satu sama lain. Hal yang paling kentara adalah pengaruh ilmu eksakta terhadap ilmu sosial-humaniora, salah satu tokoh yang memeloporinya adalah Vilfredo Pareto (1848-1923). Dengan demikian, pasca Pareto, terdapat beberapa aliran atau konstruksi ilmu-ilmu sosial yang tak lagi tersentuh oleh kemanusiaan. Ini terutama ditemui pada ilmu-ilmu sosial yang bercorak positivistik, teknis, ideologis, dan berorientasi pada rekayasa sosial—umumnya ilmu-ilmu sosial makro.

Fenomenologi Autoritarian
Reynhard bukanlah subyek paranoia yang terkekang, ia adalah subyek skizofrenik yang membebasliarkan hasratnya. Namun, yang menjadi unik dalam kasus Reynhard adalah bertemunya libido dengan rasionalitas. Apabila hasrat dicirikan dengan eksistensinya yang tak terukur, tak terkendali, dan tak sadar; Reynhard justru mampu menjinakkan hasrat dengan rasionalitas untuk memperoleh tujuan hasrat yang jauh lebih besar, yakni kompensasi skala masif yang tak terukur atau tak terbatas; sementara rasionalitas selalu bersifat terukur, terkendali, sadar, dan terbatas. Dengan demikian, Reynhard dengan sengaja menekan hasrat lewat teknik-teknik rasional, untuk ihwal yang jauh lebih menguntungkan bagi hasrat itu sendiri. Kita bisa mengambil contoh lewat politik machiavellian yang selalu berupaya mengorbankan yang sedikit untuk memperoleh yang jauh lebih besar.

Jika Reynhard adalah subyek skizofrenik yang paripurna, tentu ia akan langsung menerkam korbannya di jalanan, tanpa “metode” atau cara-cara tertentu—spontan sepenuhnya. Tetapi tidak demikian, ia terlebih dahulu merepresi hasratnya, sebelum kemudian membebasliarkannya. Ini seperti menahan anjing yang kelaparan sehingga membuatnya jauh lebih agresif ketika dilepas. Sebelum lebih jauh mengulas perkawinan antara libido dengan rasionalitas, terdapat satu istilah yang kiranya bisa dimunculkan tentang bagaimana predator (baca: pelaku pemerkosaan) memandang korbannya, itu adalah fenomenologi autoritarian. Berbeda dengan konsep-konsep fenomenologi lain yang berprinsip back to the things themselves ‘kembali pada obyek (itu) sendiri’, fenomenologi autoritarian justru berupaya menempatkan “obyek itu pada yang di sini”. Dengan begitu, dalam konteks tatap muka antarmanusia, fenomenologi autoritarian adalah sebuah kontra-Empati, atau “simpati yang berantipati” karena kita berusaha menyamakan pemikiran, perasaan, dan kondisi obyek, subyek, atau manusia lain layaknya diri kita—kita memandang mereka lewat cara kita.

Secara konkret, hal di atas bisa dimisalkan dengan Reynhard yang berpikir atau merasa korbannya akan turut memperoleh pengalaman yang sama menyenangkan seperti dirinya. Meskipun korban itu berada dalam kondisi tak sadar, Reynhard mungkin berpikir jika penetrasinya pada si korban juga bisa menimbulkan sensasi yang menyenangkan di alam bawah sadar korban. Ini mirip seperti mahasiswa yang melakukan “wawancara imajiner” karena malas menemui informan. Ia membuat daftar pertanyaan sendiri, lalu menerka-nerka dan menuliskan sendiri apa sekiranya jawaban informan. Atau, lewat misal yang lebih mudah, kita memberikan orang lain es krim karena berpikir orang lain akan sama senangnya seperti kita yang memakan es krim, padahal boleh jadi, itu justru bisa membunuhnya. Faktual, para pemerkosa memang umum berpersepsi secara fenomenologi autoritarian.

Mereka menjadi mesin hasrat besar yang memaksa hasrat-hasrat lain untuk tunduk padanya. Otoritarianisme ini juga seolah menyiratkan sang mesin hasrat besar yang mampu menyediakan segala macam kode, teks, dan simbol tentang apa itu kesenangan, atau apa itu kenikmatan. Ia menjadi regime of siginificant ‘rezim penafsir’ yang seakan paling tahu dan memahami kebutuhan hasrat-hasrat lain. Ia seperti seorang yang telah sangat mahir bercinta, lalu memosisikan diri sebagai guru bagi para amatiran. Prinsip penyamaan hasrat yang demikian, faktual, hanya bisa disediakan oleh logika dan rasionalitas. “Ia manusia sepertiku, dengan begitu, ia juga akan senang pada apa yang kusenangi”. Secara tak sadar, kita seringkali menggunakan imperatif kategoris ini tanpa mempertanyakannya: “Jangan sakiti orang lain, karena kita sendiri juga tak ingin disakiti”, misalnya; tetapi hal yang sama juga bisa berlaku sebagaimana dipraktikkan Reynhard: "Jika aku senang melakukan ini, pasti orang lain juga akan merasa senang". Itulah mengapa, etika tak pernah bisa atau takkan pernah berhasil dibangun berdasarkan prinsip kesamaan atau kesetaraan, melainkan hanya bisa dibangun lewat menempatkan yang lain sebagai “yang lebih tinggi”.

Perkawinan Libido dengan Rasionalitas: “Kekejaman yang Sempurna”
Kita bisa mengandaikan apa yang dilakukan Reynhard sama seperti the final solution (baca: holocaust) yang dilakukan NAZI, dan memang, nama-nya sendiri mengingatkan kita pada Reinhard Heydrich, sang arsitek holocaust yang terbunuh di Praha. Bedanya, holocaust beroperasi di level birokrasi, organisasi pemerintahan, dan menjadi program resmi negara; sementara Reynhard melakukannya secara individual. Adapun kesamaan antar keduanya adalah pendayagunaan rasionalitas sehingga menghasilkan “teknik-teknik rasional” dalam usaha mencapai tujuan. Perlu ditekankan, rasionalitas sekadar berurusan dengan efisiensi dan efektivitas tingkat tinggi tanpa memedulikan kemanusiaan. Lebih jauh, berikut ini adalah tabel teknik-teknik rasional yang digunakan Reynhard beserta analisisnya.

Teknik-teknik Rasional
Implikasi
Kategorisasi/
Spesialisasi
Memantau mangsa dari jendela apartemen.
Jendela apartemen sebagai tempat pengintaian alami, tanpa perlu membangun tempat pengintaian yang didesain secara khusus. Orang-orang tak menyadari jika jendela apartemen milik Reynhard adalah “jendela-bukan-jendela”.
Terdapat politik ruang yang dioperasikan Reynhard dalam kaitannya dengan spesialisasi. Tak hanya soal jendela apartemen, tetapi juga ruang-ruang lain dalam apartemennya yang memiliki fungsi tersendiri. Semisal tempat untuk menjamu calon korban dengan minuman, tempat memperkosa, dan lain-lain.
Mencari mangsa di malam hari.
Pada malam hari, fokus dan konsentrasi manusia berkurang (tidak terlalu mawas), karena memang malam hari ditujukan untuk beristirahat, atau sekadar untuk melakukan aktivitas ringan.
Kondisi malam hari, terutama saat tengah malam, jauh lebih sepi ketimbang siang hari. Ini juga mengisyaratkan aktivitas nokturnal, di mana malam “lebih berharga” ketimbang siang.
Mencari mangsa tak jauh dari apartemennya.
Teknik ini menyediakan kontrol dan kendali atas lingkungan. Pengenalan pada lingkungan sekitar dapat meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang tak terprediksi.
Semakin jauh mangsa dari tempat tinggal, semakin beresiko. Predator justru dapat berbalik menjadi mangsa bagi predator lainnya. Geografi lingkungan turut menjadi penentu sukses-tidaknya aksi.
Mencari pria mabuk.
Kontrol penuh atas subyek atau individu lain. Dalam kondisi ini, konfrontasi antar kesadaran (kesadaran Reynhard dengan korban) tidak terjadi, kesadaran Reynhard sepenuhnya dominan. Kondisi Reynhard “berada bagi dirinya” (being for itself), sedangkan si korban “berada dalam dirinya” (being in itself). Reynhard menjadi subyek, dan si korban menjadi obyek.
Kondisi orang lain sebagai obyek (benda) adalah sasaran empuk. Hal ini juga menghemat kalor yang harus dikeluarkan untuk menundukkan.
Membidik pria usia 17 hingga 36 tahun.
Penyatuan obyek hasrat dan obyek penyebab hasrat. Penyatuan keduanya adalah keuntungan ganda untuk pemenuhan fantasi.
Kategori prima secara seksual, dan dalam kondisi keatraktifan seksual puncak.
Menawarkan bantuan kepada calon korban.
Hutang budi, keterbukaan dan penerimaan.
Imperatif kategoris kebaikan universal di mana hukum pertukaran sosial berlaku di dalamnya.
Berjalan bersama calon korban ke apartemen.
Tidak perlu bersusah-payah menggotong atau menyeret korban. Dapat pula dikatakan, korban secara sukarela menyerahkan dirinya.
Pertemanan, persahabatan, serta kehadiran bersama (co-Presence).
Memberikan minuman berisi obat bius.
Cara tercepat membuat korban tak sadarkan diri secara total. Hanya berurusan dengan dampak ekonomis dan kebersihan.
Realisasi aksi film-film fiksi.
Memperkosa lebih dari satu kali.
Realisasi “Papa Besar”, transformasi diri sebagai phalus dan mesin hasrat pusat. Kooptasi teks dan kode-kode kenikmatan berikut kesenangan secara sepihak.
Obyektivasi manusia sebagai “daging” semata.
Rasionalitas Instrumental
Tindakan Terpola dan Terstruktur
Psikopatologi

Menjadi kian tegas jika rasionalitas dapat dibedakan dari refleksi. Rasionalitas adalah aktivitas berpikir yang hanya bertanggung jawab pada logika sebab-akibat. Sementara, refleksi lebih luas daripada itu. Ia tak hanya mencakup logika sebab-akibat, tetapi juga interpretasi, pemaknaan, bahkan hingga penghayatan. Begitu pula, jika refleksi adalah aktivitas kreatif yang “diciptakan” manusia, maka rasionalitas sekadar aktivitas berpikir yang “ditemukan” manusia. Pengertian rasionalitas sebagai ihwal yang ditemukan menyiratkan keberadaannya di luar manusia, atau mengatasi manusia. ia, rasionalitas, layaknya wacana kuasa yang menyublim dan tak terpusat pada seseorang ataupun kelompok; melainkan bebas dimanfaatkan untuk beragam kepentingan.

Sebagai misal, kesadaran bahwa jarak terdekat antardua titik adalah dengan menarik garis lurus di antara keduanya, dan bukannya menciptakan alur garis melingkar atau berbelok; adalah sesuatu yang telah sejak lama, atau pada mulanya memang sudah demikian. Manusia hanya menunggu rumus-rumus itu untuk ditemukan. Lewat contoh yang lebih konkrit, bukan Richard James dan Maurice James McDonald yang menciptakan metode restoran cepat saji untuk pertama kalinya, tetapi memang begitulah cara-cara yang bisa ditempuh untuk menyajikan makanan secara cepat dan tepat.

Pertanyaannya, jika rasionalitas adalah sesuatu yang bersifat nonmanusia, lalu, bagaimana jika ia ditujukan bagi kemanusiaan? Banyak pakar sepakat jika itu pada akhirnya akan tetap berekses pada ketidakmanusiawian, segala bentuk rasionalitas yang mewujud dalam birokrasi misalnya. Ia akan selalu menjelma menjadi instrumen yang dingin, metodis, antidialog, dan otoriter. Bagaimanapun juga, rasionalitas takkan menyapa kita dengan hangat dan bersahabat. Rasionalitas hanya akan mencapai tujuan bagi dirinya sendiri, dan jika kita tak waspada, ia mampu mewujudkan kejahatan yang paripurna. Segala bentuk genosida, pembunuhan massal lewat perang, bencana alam yang disebabkan manusia: semua itu didalangi oleh rasionalitas.

Catatan Terbatas
Dalam menulis esai ini, saya menggunakan perspektif berbagai filsuf yang urung ter-sebut namanya. Beberapa filsuf itu adalah; Gilles Deleuze dan Felix Guattari, Edmund Husserl, Emmanuel Levinas, Jacques Lacan, Michel Foucault, Zygmunt Bauman, dan Jean Paul Sartre. Begitu pula, saya masih ragu menggunakan istilah “fenomenologi autoritarian”. Sebelumnya, sempat terpikir untuk menggunakan istilah “fenomenologi ke-menjadi-an”, namun terminus “menjadi” (to be) telah lama bernegasi dengan “memiliki” (to have), sementara, fenomenologi yang dimaksudkan lebih berasosiasi pada “modus memiliki”.

Sekian.

*****

0 Comments:

Post a Comment