Quo Vadis Sosiologi Kesehatan di Masa Pandemi

 

[Pic: 123rf.com]

Deny Kristianto

Pengajar Sosiologi

 

Sosiologi kesehatan (bisa) dihitung sebagai cabang baru disiplin sosiologi. Keberadaanya pragmatis-parsial bagi sejawat humaniora. Namun di tengah pandemi COVID-19, fase Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) keberadaanya seolah malah semakin kabur. Pasalnya, dominasi ilmu-ilmu kesehatan, kedokteran dan epidemiologi masih dianggap lebih tepat untuk perbekalan hidup di era AKB. Sebagai adaptasi kehidupan yang menyeluruh, AKB tanpa dukungan kajian dan penerapan keilmuan yang holistik akan menjadi upaya spekulasi asal-asalan dan beraroma konflik kepentingan. Perlulah kiranya sosiologi kesehatan dihantarkan lagi pada kedudukannya sebagai sebuah cabang disiplin sosiologi yang disuburkan dan dikembangkan atas nama humanisme.


Sosiologi kesehatan muncul dikarenakan bidang kedokteran memerlukapemahaman berbagai faktor sosial yang berhubungan dengan polpenyebaran penyakit (epidemiologi) dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu sehingga awalnya muncul cabang keilmuan yang dinamakan sosiologi kedokteran. Straus membedakan antara “sosiologi mengenai bidang medis” dansosiologi dalam bidang medis”. Menurutnya, sosiologi mengenai bidang medis terdiri dari  kajian sosiologis terhadap  faktor di bidang medis. Upaya ini dilakukan oleh ahli sosiologi yang menempati posisi mandiri di luar bidang medis dan bertujuan mengembangkan sosiologi serta menguji prinsip dan teori sosiologi. Sedangkan rumusan mengenai sosiologi dalam kesehatan (medis) jelas mengacu pada kepentingan bidang kesehatan yang menggunakan perspektif sosiologi.

 

Interaksi sosial sebagai objek kajian pada sosiologi nyatanya berhubungan erat dengan subjek ilmu-ilmu kesehatan, yaitu “masyarakat manusia”, itulah mengapa kita mengenal istilah “kesehatan masyarakat”. Alih-alih hubungan keduanya tak dapat dipisahkan, tetap saja irisan dua keilmuan ini masih dianggap komplemen bagi kepentingan masyarakat dibandingkan sosiologi ekonomi, sosiologi agama, dan sosiologi politik. Kajian kesehatan yang lebih dekat kepada ilmu biologi (ilmu-ilmu alam) menjadikan sosiologi kesehatan sedikit dihindari oleh ahli-ahli kemasyarakatan pada umumnya. Padahal harus diakui, masa AKB begitu memerlukan keberadaan sosiologi kesehatan sebagai pengawal ilmiah terselenggaranya model hidup yang adaptif di tengah masyarakat yang penuh pusaran perubahan sosial-budaya.

 

Perlu disadari bahwa, kebutuhan masyarakat untuk era kebiasaan baru ini tidak hanya sekadar strategi menghadapi puncak pandemi, namun untuk persiapan kemungkinan-kemungkinan cara, model, dan dampak adaptasi baru di masa depan. Pemetaan kebiasaan hidup di berbagai wilayah pandemi dapat dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan sosiolog kesehatan dan para ilmuwan sosial lainnya. Kebutuhan ini penting dan mendesak agar pemetaan tidak mengabaikan sisi kemanusiaan. Sehingga, adaptasi kebiasaan baru tidak hanya dimaknai sebatas sebuah zaman kemenangan bioteknologi dan teknologi informasi yang berorientasi bisnis. Kebiasaan penggunaan masker, cuci tangan menggunakan sabun, meningkatnya minat masyarakat pada hand sanitizer, serta komoditas sepeda yang kini justru menjadi percepatan akumulasi pemodal asing.

 

Urgensi sosiologi memberikan “suara” dalam upaya pemetaan sosial kesehatan masyarakat penting untuk segera direspon kalangan ilmuwan humaniora. Sayangnya, pemetaan sosial kesehatan yang dilakukan saat ini justru didominasi oleh para pemangku kepentingan yang bersinggungan dengan kepentingan para pemodal, misalnya hegemoni budaya daring yang mengabaikan fakta bahwa akses masyarakat terhadap internet tidak merata.

 

Sosiologi mengenai kesehatan yang berfokus pada kepentingan sosiologi dalam mengkaji masyarakat dalam segi kesehatan diharapkan tidak kian tenggelam pada kepentingan pemodal semata. Di sisi lain, kita melihat bahwa masyarakat tanah air secara umum masih mencampuradukkan pengetahuan kesehatan “alternatif” sebagai bagian kebiasaan yang telah mandarah daging dengan berbagai pengetahuan mutakhir ilmu kesehatan modern. Pemahaman masyarakat tentang kesehatan memiliki khas yang berbeda di tiap-tiap wilayah.


Fenomena populernya empon-empon, pengobatan alternatif Ningsih Tinampi, hingga viralnya teori-teori konspirasi di tengah pandemi Covid-19 adalah bukti eksistensi sosiologi kesehatan yang dipertanyakan peran dan fungsinya bagi pendidikan kesehatan masyarakat. Sebab, usaha-usaha medis secanggih apa pun tanpa melibatkan pemahaman mutakhir tentang manusianya, dapat dikatakan sebagai sebuah praktik ngawur sejawat cendikia.

 

*****

 

Referensi;

Iskandar, A. (2012). Sosiologi Kesehatan (Suatu Telaah Teori dan Empirik). Bogor: IPB Press.

Rosmalia, Dewi, & Sriani, Yustiana. (2017). Sosiologi Kesehatan: Bahan Ajar Keperawatan Gigi, Jakarta: PPSDAK-KEMENKES RI.

Sunarto, Kamanto. (2009). Sosiologi Kesehatan, Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.

 

0 Comments:

Post a Comment