Merespons CINTA ala STOIK



I.G.A Brenda Yanti
Pegiat Sanglah Institute

“...ketika Anda diberikan cinta, itu bukanlah milik Anda. Cinta yang diberikan kepada Anda di waktu sekarang, tidak berarti cinta diberikan kepada Anda di setiap waktu. Jadi, ketika ia diberikan kepada Anda, bukan berarti itu tidak bisa diambil dari diri Anda.”

“Pelajaran utama dalam mencintai adalah pengendalian keterlibatan emosi dalam setiap tindakan.”

“Perlakukan cinta itu secara mandiri sehingga ketika ia lepas, ia tidak akan merasa kehilangan tempat bergantungnya.”

Patah hati memang terasa berat bagi kebanyakan orang. Anjuran tuk segera “berpindah” pun bagaikan taburan garam di atas luka yang masih basah. Berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang hingga akhirnya dapat terbiasa dengan rasa sakitnya itu? Di sini, filsafat stoikisme, memberikan pilihan pengobatan bagi mereka yang lukanya tak kunjung kering.

Cinta dalam Stoik
Stoikisme adalah salah satu pandangan filsafat yang memiliki tujuan untuk mencapai ketentraman hidup. Ketentraman atau kebahagiaan, oleh stokisme, dipandang sebagai keadaan yang tenang dan terlepas dari rasa cemas, khawatir, atau perasaan-perasaan lain yang berakhir pada timbulnya beban dan masalah dalam kehidupan. Stoikisme mengajarkan kita untuk membedakan up to us (apa yang bergantung padaku) seperti tujuan hidup, persepsi, atau pertimbangan, dan not up to us (apa yang tidak tergantung padaku) seperti opini orang lain, citra diri, atau bencana alam. Dengan memahami keduanya, manusia diajarkan untuk menyadari bahwa terdapat berbagai hal di luar kendali manusia yang dapat menyebabkan kekecewaan, dan manusia diajarkan untuk tidak bergantung pada hal di luar kendalinya(!). Lalu apa yang harus dilakukan manusia untuk menghadapi “kondisi-kondisi” di luar kendali itu? Jawabannya adalah menerapkan kebijaksanaan.

It is not things that disturb us, but our opinion of them” –Epictetus

Situasi emosional yang dirasakan manusia tidaklah datang dari situasi eksternal dirinya, namun dari representasi, opini dan/atau kesalahan penialaian manusia terhadap suatu kondisi. Menegasi kenyataan justru hanya mempersulit manusia menerima kondisi dirinya.

Begitu pula, ketika Anda diberikan cinta, itu bukanlah milik Anda. Cinta yang diberikan kepada Anda di waktu sekarang, tidak berarti cinta diberikan kepada Anda di setiap waktu. Jadi, ketika ia diberikan kepada Anda, bukan berarti itu tidak bisa diambil dari diri Anda. Sebagaimana stokisme menyarankan penalaran, dalam cinta, hendaknya manusia tidak kehilangan rasionalitasnya. Sadar bahwa orang lain tidaklah berada dalam kendali kita. Tentang pasanganmu, segala yang ia rasakan dan lakukan adalah kendalinya, bukan kita.

Menanggapi cinta
Dalam menghadapi cinta, seorang stoik baiknya dapat menjernihkan batasan-batasan antara apa yang terjadi dan respons afektif apa yang perlu diberikan. Kecenderungan seseorang memilih respons dalam permasalahan hubungan biasanya didasari atas ledakan emosi yang ia rasakan kala itu. Peninjauan terhadap sebab-akibat suatu respons diabaikan sehingga hasil dari respons tersebut pun tidak jaran berujung pada kekecewaan. Seorang stoik akan menarik diri mereka dari keterlibatan emosional yang tidak diperlukan sehingga ia tidak terjebak dalam representasi-representasi yang tidak sesuai. Pelajaran utama dalam mencintai adalah pengendalian keterlibatan emosi dalam setiap tindakan.

Kehilangan cinta

“… Future love does not exist. Love is a present activity only. The man who does not manifest love in the present has not love.” –Leo Tolstoy

Kita kerap kali disosialisasikan tentang cinta sejati yang berakhir pada eternitas, namun sayangnya hal tersebut hanya indah sebatas dalam dongeng putri dan pangeran. Sebagiamana cangkir teh atau pot, ketika ia pecah, kita akan menyadari kehilangan tersebut, dan ini sesungguhnya adalah perkara biasa. Epictetus menyarankan kita untuk siap menghadapi kehilangan, dan mengganti cangkir teh yang pecah itu. Hal ini merupakan siklus kehidupan mendasar manusia, bertemu, mencintai, dan berpisah. Keterikatan yang diciptakan oleh cinta sah-sah saja, namun perlu diingat bahwa keterikatan berlebih akan menimbulkan rasa kecewa. Perlakukan cinta itu secara mandiri sehingga ketika ia lepas, ia tidak akan merasa kehilangan tempat bergantungnya.

Stoikisme melatih kita untuk berdamai dengan temporalitas, bahkan mereka yang paling kita cintai dapat meregang dari keabadian, dan saat itu terjadi, kita akan ditinggalkan dengan “kegembiraan yang tidak bisa dibatalkan”, yang sebelumnya telah masuk ke kehidupan kita bersamaan dengan dirinya dulu.

*****

0 Comments:

Post a Comment