Iklan, Kultur Lokal, dan “Banjir Visual”

[peeartree.com.au]


A.A Chintya Maharani Putri
Pegiat Sanglah Institute

Guna menarik minat konsumen, banyak upaya pengemasan iklan produk yang dilakukan perusahaan. Memasarkan produk lewat video pendek melalui akun YouTube salah satunya. Dilansir dari msn.com terdapat sepuluh iklan dan konten terpopuler dari berbagai merk. Sepuluh merk itu adalah Shopee Indonesia, Toyota Indonesia, Hansaplast, Imoo Indonesia, MyBaby, Pantene Indonesia, Gojek Indonesia, Heinz ABC, serta Oppo Indonesia dan Smartfren (Wunardy, 2019). Konten yang termuat dalam sepuluh merk tersebut adalah Men Sale-Pasti Ada! dari Shopee Indonesia, New Avanza-Part of Indonesia’s Greatness dari Toyota Indonesia, Ayu Galoyo Eps.1 Puasa Cari Jodoh #IniKoyoSaya dari Hansaplast Indonesia, Watch Phone Z5 dari Imoo Indonesia, #MandiHappyMyBaby2.0 dari MyBaby, #AkuPilihMaafIbu dari Pantene Indonesia, Jo & Jek #TrikNgetrip dari Gojek Indonesia, Exploreresep Eps.11 Makassar dari Heinz ABC, #Hadiah561km Mini Series Eps.1 dari Oppo Indonesia, dan Anak Dikutuk Baik #KuotakanYangBaik dari Smartfren.

Upaya mengolaborasi sesuatu yang unik dalam sebuah iklan merupakan bentuk dari budaya promosi dengan tujuan menarik perhatian konsumen agar terpikat pada produk yang ditawarkan. Bentuk promosi yang disampaikan dalam bentuk iklan ataupun video pendek tersebut sebenarnya tidak lepas dari pengaruh kebudayaan tertentu. Pengaruh tersebut dapat diamati melalui variasi tanda, simbol, bahasa dan wacana yang disisipkan pada iklan produknya. Ini artinya, terdapat upaya mengomunikasikan pesan kepada calon konsumen; terlepas dari tujuan perusahaan menyebarkan citra modernitas, ketaatan diri, kebahagiaan, kesempurnaan, kebaikan, kenyamanan, kepatuhan, kepraktisan, kebebasan, ataupun perubahan melalui iklan produknya. Dengan kata lain, pesan dalam iklan tersebut merupakan ekspresi kebudayaan dari sebuah produk atau ideologi perusahaan.

Salah satu definisi tertua mengenai budaya dikemukakan oleh antropolog Inggris, Sir E. B. Taylor (1832-1917), yakni sebagai keseluruhan hal yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.  Lebih lanjut, seorang antropolog Amerika Serikat, Margaret Mead (1901-1978) mendefinisikan budaya sebagai perilaku pembelajaran sebuah masyarakat atau subkelompok. Sementara, Raymond Williams (1921-1988) sebagai salah seorang pendiri culture studies menerangkan bahwa budaya mencakup organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekspresikan atau mengatur hubungan sosial, serta bentuk-bentuk berkomunikasi khas anggota masyarakat.

Dalam hal ini, budaya yang termuat dalam promosi iklan oleh perusahaan boleh jadi memuat segala keseluruhan cara hidup, material, intelektual [pengetahuan], kepercayaan, kebiasaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, ekspresi, struktur, hubungan sosial, serta komunikasi sebagai hal yang kompleks. Kompleksitas tersebut dipertontonkan melalui variasi tanda (kode), simbol, bahasa, teks, wacana dalam iklan. Pesan dalam iklan yang disajikan dapat diartikan sebagai representasi atas sesuatu yang berbeda-beda. Menurut Stuart Hall, representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili dunia secara bermakna kepada orang lain atau khalayak umum. Selain itu, Stuart Hall mendefinisikan representasi sebagai suatu bahasa untuk memproduksi kebudayaan. Bahasa sebagai representasi dalam memaknai bentuknya yang beragam; dapat berupa simbol, tanda tertulis, lisan ataupun gambar. Proses pemaknaan gagasan, pengetahuan, pesan [stimulus] secara fisik, baik bermakna langsung (denotatif) maupun tidak langsung (konotatif) berada dalam kajian analisis semiotika. Berangkat dari tinjauan di atas, sesungguhnya dimensi representasi tak hanya mengulik apa mewakili apa ataupun siapa mewakili siapa; melainkan pula penyelisikan atas sumber pesan, transmisi pesan, hingga penerimaan pesan.

*****

0 Comments:

Post a Comment