Munculnya Kerajaan-kerajaan Baru: “Wajar, era post-Truth”

[pic: regional.kompas.com]

Wahyu Budi Nugroho

Saat ini kita telah memasuki era posmodern, era di mana produksi informasi jauh lebih masif ketimbang manufaktur. Tak jarang, atau sering bahkan, itulah yang menyebabkan kita dibingungkan oleh berbagai informasi yang muncul dari beragam sumber. Lebih jauh, ini pulalah yang menghantarkan kita pada hadirnya era post-Truth atau “pasca-Kebenaran”. Dalam era post-Truth, semua bisa benar sekaligus bisa salah; karena yang tersisa hanyalah kekuasaan dan kepentingan. Sebetulnya, istilah, konsep, atau postulat post-Truth adalah turunan dari “narasi besar”[1] posmodern, layaknya pos-Struktural, poskolonial, atau posthuman. Dengan begitu, munculnya berbagai “kerajaan baru” di tanah air akhir-akhir ini, sesungguhnya adalah sesuatu yang bisa dimaklumi. Era post-Truth lah yang memungkinkan hadirnya fenomena terkait, atau: era post-Truth lah yang justru memroduksinya.

Mungkin, apa yang dikatakan Raja Keraton Sejagat Totok Santoso, serta Sekjen Sunda Empire Rangga Sasana bagi kebanyakan kita adalah hal yang lucu, aneh, dan konyol. Mengapa? Karena cerita yang mereka sampaikan tak sesuai dengan narasi sejarah yang selama ini kita terima, dan telah lama termaktub di buku-buku sejarah sejak SD hingga SMA. Namun, bagaimana jika kelak ditemukan prasasti atau dokumen-dokumen sejarah yang nyatanya justru membenarkan mereka semua—Totok dan Rangga? Bagaimana jika, suatu hari nanti PBB secara mengejutkan justru mengakui bahwa mereka memang berada di bawah naungan Sunda Empire, dan selama ini mereka memang menutup-nutupinya. Bagaimana jika, kelak terungkap urung terjadinya perang nuklir hingga detik ini, dikarenakan arahan Sunda Empire terhadap Amerika Serikat, Korea Utara, dan Iran untuk saling menahan diri. Ini sama seperti kasus pelengseran Gus Dur yang diungkap Virdika Rizky Utama dalam bukunya. Selama ini, kita menganggap lengsernya Gus Dur sebagai proses sosial-politik yang lumrah dan natural, atau “memang begitu adanya”, nyatanya tidak demikian: segalanya telah didesain dan direncanakan sedemikian rupa.

Bagaimana jika, nyatanya Totok Santoso memang pewaris sah dari keraton seluruh dunia. Bagaimana jika, nyatanya ia memang memiliki garis keturunan raja-raja, hanya saja ia berada dalam garis keturunan yang sengaja “disingkirkan”, dan dalam kondisi vacum of power, pendeklarasiannya sebagai raja sebetulnya menjadi sah. Jangan-jangan, penolakan kita atasnya dikarenakan kita merasa terancam, kepentingan yang tak sejalan, atau karena ihwal yang paling sepele: “Semua itu tak masuk di nalar kita”. Tetapi, bagaimana jika sesungguhnya nalar kita yang salah? Kasus Totok boleh jadi mengingatkan kita pada E.P Thompson yang menegaskan: “Sejarah seharusnya tidak hanya ditulis oleh pihak yang menang, tetapi juga oleh mereka yang kalah”. Dalam konteks ini, Totok adalah pihak kalah yang berupaya menuliskan sejarahnya.

Faktual, kebenaran sejarah memang tak menjamin berada di pihak yang menang, pada pihak ini, sejarah justru rentan dimanipulasi dan disalahgunakan. Sebagai misal, bagaimana Soeharto mengklaim diri sebagai orang terpenting dalam perencanaan Serangan Umum 1 Maret (1949), lalu bagaimana konstruksi sejarah ini kemudian dilembagakan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar, menengah atas, juga hingga perguruan tinggi. Sebaliknya, narasi-narasi sejarah kecil justru membuktikan Sri Sultan HB IX lah sosok yang paling berjasa dalam peristiwa penting itu. Ini, sama seperti kita saat ini yang, secara meyakinkan, tak lagi memercayai media-media mainstream yang nyatanya selalu berafiliasi dengan kekuasaan dan partai politik tertentu sehingga pembiasan realitas dan narasi selalu terjadi. Sebaliknya, media-media kecil seperti Blog, Wordpress, pun informasi-informasi liar lewat akun anonim Facebook, Twitter, atau pesan berantai via WhatsApp, saat ini justru lebih mengusik dan “lebih masuk akal” ketimbang informasi-informasi media utama. Semisal, munculnya akun Twitter kontroversial @digeeembok yang mengungkap kondisi internal maskapai Garuda, lalu ada pula situs chirpstory.com yang kerap mengulas konspirasi serta kehidupan gelap para figur publik tanah air yang, sedikit-banyak memang terbukti kemudian.

Hal di atas kiranya mengingatkan kita pada kata-kata Kolonel Hans Landa dalam film Inglourious Basterds (2009): “Gosip lebih menarik daripada fakta. Fakta adalah sesuatu yang saat ini dianggap benar, tetapi besok bisa salah, sementara gosip: ajeg berada dalam benar/salah”. Lebih jauh, tulisan ini ingin mengajak untuk berrefleksi, mengapa kita, tidak bisa menerima berbagai narasi yang diungkapkan Totok Santoso dan Rangga Sasana. Apa yang salah dengan kita? Ketidakmampuan itu boleh jadi disebabkan oleh kegagapan kita dalam merespon era posmodern, atau singkat kata, ketidaktahuan kita akan kondisi-kondisi seperti apa yang terhelat di era posmodern itu. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat beberapa kondisi yang perlu dipahami dalam posmodernitas yang akhirnya melahirkan era post-Truth.

Pertama, runtuhnya narasi besar. Dalam ranah pascamodern, narasi besar adalah pencerahan, modernitas, agama, marxisme, kapitalisme, dan ide-ide besar lain yang berupaya menotalisasi umat manusia dalam satu jaringan besar saling terkait. Singkat kata, narasi besar adalah sebuah kisah tunggal yang luas nan solid di mana setiap kita ikut “terjelaskan” di dalamnya. Dalam konteks ini, narasi besar adalah rentetan kisah sejarah yang “diresmikan negara”, diajarkan di bangku-bangku sekolah sejak SD hingga SMA, bahkan perguruan tinggi. Rangkaian kisah sejarah itu, memuat narasi perjalanan jatuh-bangunnya berbagai kerajaan di tanah air hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seakan, kondisi yang sekarang menjadi masuk akal dan terjelaskan lewat rangkaian peristiwa yang dikisahkan.

Namun yang sering terlupakan adalah,  kekuasaan lebih banyak berperan dalam diakuinya narasi besar di atas. Dengan kata lain, narasi besar sejarah nasional diresmikan dan dilegitimasi oleh kepentingan dan kekuasaan nasional. Kita tentu masih ingat berbagai penyelewengan sejarah yang terjadi di era Orde Baru, bagaimana narasi besar sejarah kala itu cenderung “menyangatkan” Soeharto sebagai sosok yang paling berjasa. Contoh lain adalah distorsi sejarah di era Adolf Hitler dan Joseph Stalin; tak peduli separah apa pun penyelewengan sejarah dilakukan, narasi besar sejarah rekaan mereka tetap menjadi rujukan dan dianggap benar bagi rakyatnya.

Sosok Marquis de Sade dan Mirebau yang dicontohkan Michel Foucault dapat pula menjadi misal. Bagi rakyat Perancis, keduanya adalah pahlawan revolusi, sedangkan bagi kaum borjuis Perancis, keduanya adalah “orang gila”. Di tanah air, perdebatan sosok Arung Palakka sebagai pahlawan ataukah penghianat pun masih menjadi diskursus. Misal lain adalah lebih banyaknya daftar pahlawan nasional yang berasal dari (Suku) Jawa dibandingkan suku-suku lain di tanah air. Kita boleh curiga, jangan-jangan penyusun leksikon sejarah nasional adalah orang Jawa sehingga lebih banyak memasukkan daftar orang Jawa sebagai pahlawan nasional ketimbang suku lainnya. Rangkaian contoh di atas kiranya kian menegaskan betapa kepentingan dan kekuasaan nyatanya lebih banyak berperan dalam konstruksi narasi, itulah mengapa, kita pun akan selalu bisa mengkritisi dan menyangsikannya.

Kedua, ketiadaan realitas. Bayangkan jika kita hidup dalam ruang “hampa bahasa”, kita takkan mengetahui jika tabrakan antara motor dengan mobil di depan rumah kita adalah murni kecelakaan, adegan syuting film, atau sekadar candaan para pengendaranya yang merupakan sahabat lama. Ketika seseorang mengatakan pada kita bahwa itu murni kecelakaan, maka dengan segera teks yang dimunculkan itu menjadi realitas: “...bahwa itu adalah kecelakaan”. Beberapa hari kemudian, seseorang mengatakan pada kita bahwa tabrakan yang terjadi kemarin sebetulnya adalah syuting FTV dengan kamera tersembunyi, maka realitas kita akan peristiwa itu pun diperbaruhi: “...bukan lagi kecelakaan murni, tetapi syuting film”; dan begitupun realitas ini akan terus diperbaruhi ketika kita memperoleh teks-teks baru di masa mendatang. Mengapa? Karena kita tak mungkin mengakses realitas murni secara langsung tanpa perantara bahasa. Ini sebagaimana keyakinan Jacques Derrida bahwa realitas adalah teks itu sendiri: “...yang nyata hanyalah teks, tak ada apa-apa di luar teks”.

Begitu pula, selama ini kita menerima teks-teks sejarah nasional secara taken for granted ‘apa adanya’, dan tanpa pernah mempertanyakannya, semua itu pun menjelma menjadi realitas bagi kita. Menurut Derrida, dikarenakan realitas hanyalah teks semata, maka ia seharusnya tak bersifat tunggal, melainkan jamak. Dengan kata lain, selalu terbuka bagi konstruksi teks-teks lainnya, dan itulah yang ditunjukkan lewat narasi Totok Santoso berikut Rangga Sasana. Dalam hal ini, prinsip dekontruksi dapat diterapkan pada teks utama—narasi besar—yakni, sejauh mana ia memiliki celah, mungkinkah muncul cerita yang lain dari celah-celah itu, dan apakah narasi yang dimunculkan Totok serta Rangga justru melengkapi, atau bahkan mencipta alur narasi yang baru? Semua, dalam prinsip dekonstruksi, menjadi sah-sah saja, karena memang, “pusat” tak menjadi fokus utama, melainkan “pinggiran”.

Ketiga, hilangnya subyek dan kesadaran. Penolakan kita atas narasi yang diberikan Totok dan Rangga, secara tak sadar sesungguhnya menunjukkan bahwa diri kita telah “terinstitusionalkan”. Diri yang terinstitusionalkan ini adalah diri yang diciptakan untuk menolak konstruksi-konstruksi lain yang tidak disosialisasikan selama ini. Menyatakan bahwa satu narasi baik atau benar, sedangkan yang lain buruk atau keliru, hanyalah menunjukkan betapa kesadaran kita sesungguhnya turut diciptakan. Dengan begitu, kesadaran yang terkontrol dan mengatasi subyek—di luar subyek—secara langsung telah membunuh subyek itu sendiri, atau dengan kata lain: “Setiap kita adalah produk”.

Sebagai misal, mengapa kita bisa menganggap satu ideologi baik, sedangkan yang lainnya buruk? Ini tak lain dikarenakan sosialisasi yang telah ditanamkan sejak lama. Hal yang sama berlaku juga untuk suku, ras, dan agama; di mana kita kerapkali menganggap salah satunya lebih unggul ketimbang yang lain. Pikiran-pikiran bawah sadar ini bekerja layaknya ideologi: “Saya tidak tahu tetapi tetap melakukannya”, atau “Saya sudah tahu, tetapi tetap melakukannya”. Dengan begitu, penolakan kita atas narasi yang diberikan Totok dan Rangga boleh jadi dikarenakan kita telah terinstitusionalkan sedemikian rupa, dan semua beroperasi dalam alam bawah sadar.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita bersikap? Seyogiyanya tak perlu terlalu serius, karena setiap teks dan realitas memang perlu diberikan ruang. Ketunggalan teks dan realitas hanya kian menunjukkan kebebalan pikiran dan kemiskinan hasrat—monodiscourse. Selama kerajaan-kerajaan baru itu tak merugikan kita; kita bisa mendaulatnya sebagai semacam pesta kebudayaan, perayaan akan kemajemukan, pun perayaan akan kekayaan simbol. Kita bisa menyikapi fenomena ini sebagaimana kita bersikap terhadap Lucinta Luna atau Mimi Peri. Sekali lagi; semua bisa benar, sekaligus bisa salah; dan pengalaman yang kaya adalah pengalaman yang membuka beragam kemungkinan.


*****


[1] Pengertian “narasi besar” dalam konteks ini digunakan secara berbeda mengingat posmodern sendiri menolak istilah terkait.

0 Comments:

Post a Comment