Menimbang Peluang "People Power" Pasca Pilpres 2019



Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

Ada teori yang mengatakan bahwa setiap kurang-lebih dua puluh hingga dua puluh lima tahun sekali, tanah air mengalami pergolakan. Ini dimulai dari Pemberontakan PKI 1926 yang menyebabkan para tokoh kuncinya diasingkan ke Boven Digul, Papua oleh pemerintah kolonial Belanda. Dua tahun berselang (1928), Sumpah Pemuda terhelat, dan kurang-lebih dua puluh tahun berikutnya (1945) Revolusi Kemerdekaan Indonesia terjadi. Tiga tahun setelahnya (1948) terjadi Pemberontakan PKI Madiun, dan dua puluh tahun kemudian (1965) meletus Peristiwa Gestok. Tidak sampai dua puluh tahun lagi, tepatnya sembilan tahun kemudian, peristiwa MALARI 1974 terjadi. Dan pada akhirnya, di tahun 1998, Indonesia mengalami momen Reformasi.

Meletusnya setiap peristiwa di atas tentunya didorong oleh keharusan sejarah yang berbeda-beda. Peristiwa di tahun 1926, 1928, dan 1945 misalnya, memang disebabkan kondisi obyektif tanah air di bawah penindasan kolonial Belanda sehingga kemerdekaan, atau perjuangan menuju pembebasan adalah kewajiban sejarah. Peristiwa 1948 dan 1965 yang didalangi oleh PKI setidaknya memiliki motif sama—mari kita kesampingkan dahulu teori-teori konspirasi—yakni untuk mengganti Pancasila dan mendirikan negara komunis, hal ini, terutama untuk peristiwa 1965, juga didorong oleh kegagalan perekonomian Orde Lama Soekarno. Peristiwa 1974 terjadi karena terlampau luasnya pemerintahan Orde Baru Soeharto membuka kran investasi bagi asing sehingga muncul kehawatiran akut berbagai sumberdaya yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat luas dikuasai oleh pihak luar. Di samping itu, terjadi kesenjangan sosial yang luar biasa antara masyarakat kaya dengan miskin perkotaan, terutama di Jakarta.

Dari sekian people power­ di atas—jika memang bisa disebut demikian—momen Reformasi 1998 menjadi cukup spesial. Reformasi 1998 adalah kulminasi dari kejengahan rakyat terhadap 32 tahun otoritarianisme Orde Baru; korup, kolusi, dan nepotismenya rezim; berpadu dengan krisis ekonomi akibat fenomena bubble economic yang juga menimpa Eight of Asian Magic lainnya. Dalam hal ini, apabila people power terjadi di kemudian hari, maka ia tak mungkin mengambil motif yang sama seperti peristiwa 1926, 1928, 1945, atau 1965 karena rasionalisasi sejarah yang berbeda, dan dinamika sosial-politik tanah air yang berbeda pula. People power di kemudian hari—jika memang terjadi—hanya bisa mengambil motif dan pola-pola sebagaimana peristiwa di tahun 1974 dan 1998, yakni kediktatoran rezim, dan terutama kondisi ekonomi yang sekarat.

Pertanyaannya, apakah kedua kondisi di atas memang dirasakan dewasa ini? Jika iya, maka people power bukan isapan jempol belaka, tetapi jika tidak, maka people power adalah omong kosong belaka. Pun jikapun ada tanpa kedua kondisi di atas, people power bukanlah benar-benar people power atau gerakan yang betul-betul diinisiasi oleh rakyat, melainkan oleh kelompok dan golongan kepentingan tertentu, juga dengan tujuan tertentu pula, yaitu kekuasaan. Sebetulnya, sangat mudah mengidentifikasi detik-detik meletusnya people power, yakni jika kondisi represi dan buruknya perekonomian dirasakan secara obyektif oleh mayoritas masyarakat.

People power tak bisa terhelat hanya karena sebagian elemen masyarakat merasakan kedua kondisi di atas, dan sebagian lagi tidak, ia harus betul-betul merepresentasi kondisi seluruh masyarakat. Lalu, bagaimana jika mayoritas masyarakat hanya merasakan salah satu kondisi di atas, semisal represifnya rezim atau mencekiknya perekonomian? Dalam batas-batas tertentu, itu pun belum tentu bisa meletupkan people power. Jika suatu pemerintahan sangat represif, namun ia mampu menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya, maka pemerintahan itu masih bisa diampuni (baca: dimaklumi). Sebagai misal, bagaimana Partai UMNO yang berkuasa di Malaysia selama enam puluh tahun tak pernah menuai people power karena mampu menyejahterakan masyarakat Malaysia. Begitu juga, untuk kasus di Kuba misalkan, Fidel Castro yang sempat berniat mengundurkan diri pada tahun 1969 karena gagal memperbaiki perekonomian Kuba, justru pidato pengunduran dirinya ditolak luas rakyat Kuba karena rakyat sudah begitu mencintainya. Dengan demikian, syarat terjadinya people power tidak hanya bisa bertumpu pada salah satu sebab (kondisi) di atas, melainkan harus keduanya: represifnya rezim dan buruknya kondisi perekonomian.


*****

0 Comments:

Post a Comment