Struktur Sosial, Kepentingan Kelompok, dan Kelompok-kelompok yang Bertentangan


Struktur Sosial, Kepentingan Kelompok,
dan Kelompok-kelompok yang Bertentangan
 
[pic: cartoonstock.com]
Tanti Candra
Pegiat Sanglah Institute

Dahrendorf menemukan dua pandangan tentang masyarakat yang saling bertentangan. Keduanya berusaha menjelaskan filsafat sosial, yaitu mengenai bagaimana terciptanya kehidupan bermasyarakat dalam arti bagaimana mereka berhubungan satu sama lain. Satu aliran menyatakan bahwa hubungan yang terjadi dalam masyarakat karena adanya kesepakatan bersama atau konsensus. Sedangkan aliran pemikiran lain, berpendapat bahwa ikatan atau tatanan yang terjadi di dalam masyarakat karena adanya kekuasaan dan paksaan. Kedua aliran tersebut adalah aliran utopia dan aliran rasional. Menurut aliran utopia, perbedaan kepentingan di dalam masyarakat memang ada, tetapi bisa disubordinasikan ke dalam persetujuan bersama terhadap nilai-nilai, sedangkan menurut aliran rasional persetujuan bersama terhadap nilai-nilai memang ada tetapi lemah sifatnya dan tidak efektif.

Melalui kedua aliran di atas, Dahrendorf memetakannya menjadi dua metateori, yaitu teori integrasi yang membayangkan struktur masyarakat sebagai sebuah sistem yang terintegrasi secara fungsional, di mana keseimbangan dipertahankan melalui pola tertentu dan melalui proses yang berulang-ulang. Metateori yang satunya lagi, yaitu teori penggunaan paksaan yang melihat struktur sosial sebagai sebuah bentuk organisasi yang mempersatukan anggotanya melalui penggunaan kekuasaan dan paksaan secara terus-menerus. Bagi Dahrendorf, kedua aliran metateori tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam analisis permasalahan sosial di dalam sosiologi.

Dalam analisis teori konsensus Parsons, Dahrendorf mendukung pendapat D. Lockwood yang menyatakan bahwa konsep yang disusun Parsons sangat dibebani oleh asumsi-asumsi dan kategori-kategori yang berhubungan dengan peranan unsur-unsur normatif dalam perilaku sosial untuk menjamin stabilitas sosial, dan Parsons cenderung mengabaikan kondisi-kondisi kepentingan yang menciptakan pertentangan sosial ataupun ketidakstabilan. Dahrendorf mencoba menyederhanakan gambaran mengenai kedua aliran metateori tersebut. Menurutnya, aliran struktural fungsional mendasarkan teorinya ke dalam beberapa asumsi, yakni stabilitas, integrasi, fungsi koordinasi, dan konsensus. Analisis sosial dengan pendekatan integrasi ini hanya memungkinkan kita untuk memahami suatu realitas sosial, padahal yang dibutuhkan oleh sosiologi adalah memahami semua realitas sosial yang terjadi. Selain teori konsensus, Dahrendorf juga menyederhanakan teori penggunaan kekuasaan ke dalam beberapa asumsi yang mendasarinya, sebagai berikut;
1. Setiap masyarakat, dalam setiap hal tunduk pada proses perubahan, dan perubahan sosial terjadi dimana-mana.
2. Seluruh masyarakat dalam setiap hal memperlihatkan pertikaian dan pertentangan, di mana pertentangan juga terdapat dimana-mana.
3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya.
4. Setiap masyarakat didasarkan atas penggunaan kekuasaan oleh sejumlah anggota terhadap anggotanya yang lain.

Tampaknya, Dahrendorf lebih sepakat dengan teori penggunaan paksaan yang ia contohkan dengan permasalahan pemogokan buruh Jerman Timur. Ia beranggapan, dengan menggunakan teori tersebut akan lebih memuaskan untuk menerangkan sebab dan akibat yang terjadi karena permasalahan Jerman Timur tersebut. Kelompok pemberontak yang terlibat dalam pertentangan tersebut dianggapnya sebagai agen perubahan melalui perpecahan. Tetapi sekali lagi, Dahrendorf menegaskan bahwa salah satu dari metateori ini hanya bisa digunakan untuk menganalisis suatu fenomena sosial yang berkaitan, tidak bersifat umum.

Kekuasaan dan Wewenang
Menurut pandangan teori penggunaan paksaan, tidak ada kerjasama secara sukarela atau konsensus umum, tetapi pelaksanan paksaan-lah yang menyebabkan organisasi sosial melekat satu sama lain. Hal Ini berarti, bahwa dalam setiap organisasi sosial, sejumlah posisi tertentu dipercaya untuk mengendalikan posisi yang lain untuk menjamin penggunaan kekuasaan secara efektif. Dengan kata lain, berarti ada perbedaan pembagian antara kekuasaan dan wewenang. Menurut Dahrendorf, perbedaan kekuasaan dan wewenang sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa kekuasaan pada dasarnya berhubungan dengan kepribadian individual, sedangkan wewenang selalu berhubungan dengan posisi atau peranan sosial seseorang. Guna menjelaskan lebih lanjut, Dahrendorf mengutip pernyataan Max Weber yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah hubungan faktual semata-mata, sedangkan wewenang adalah hubungan dominasi pendudukan yang sah.

Dahrendorf kembali menghubungkan antara wewenang dengan pertentangan kelompok. Menurutnya, pertentangan kelompok dari organisasi masyarakat total dan perserikatan-perserikatan yang ada di dalamnya sebenarnya bukanlah hasil dari hubungan kekuasaan yang terjadi begitu saja, melainkan yang muncul dimana saja wewenang itu dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, Dahrendorf merumuskan lima asumsi mengenai wewenang, yaitu;
1. Hubungan wewenang adalah selalu berbentuk hubungan antara superordinat dan subordinat.
2. Dimana terdapat hubungan wewenang, di sana unsur superordinat mengendalikan subordinat.
3. Kondisi yang demikian, secara relatif lebih diletakkan pada posisi sosial daripada kepribadian individu.
4. Berdasarkan kenyataan, wewenang selalu mengharuskan orang-orang untuk tunduk kepada pengendalian.
5. Wewenang adalah hubungan yang sah, ada sanksi yang berlaku di dalamnya.

Dahrendorf menambahkan, terdapat dua hal yang harus ditetapkan mengenai wewenang, yaitu bagi individu pemegang peranan, dominasi dalam suatu perserikatan tertentu tidak berarti juga melakukan dominasi terhadap perserikatan lain, dan sebaliknya ketundukan dalam suatu perserikatan tertentu bukan berarti tunduk terhadap perserikatan lainnya.  berdasarkan dua hal tersebut, dapat dikatakan bahwa wewenang merupakan kekuasaan yang sah dan bersifat terbatas, maksudnya adalah hanya berlaku pada suatu struktur sosial.

Kepentingan Nyata dan Kepentingan Tersembunyi
Dalam suatu pertentangan kelompok yang dilihat dari sudut pandang teori penggunaan kekuasaan, Dahrendorf memberikan asumsi dasar bahwa pertentangan kelompok didasarkan pada dikotomi pembagian wewenang dalam perserikatan yang dikoordinasi secara memaksa. Muncul proposisi baru, yaitu posisi yang memiliki wewenang dalam perserikatan menyebabkan pertentangan antarorang yang memegangnya. Pemegang posisi superodinat dan subordinat memiliki kepentingan tertentu yang berlawanan. Kepentingan pemegang posisi dominan adalah kepentingan yang berkuasa. Kepentingan ditentukan dan disyaratkan oleh posisi. Kepentingan yang dilihat dari sudut pandang pemain peranan, disebut kepentingan peranan. Kepentingan peranan adalah kepentingan yang tersembunyi, yaitu arah yang terpendam dari perilakunya yang ditentukan baginya dan yang dilepaskan dari arah kesadarannya selama memegang sebuah peranan. Selanjutnya, kepentingan tersembunyi ini dapat berubah menjadi tujuan-tujuan yang disadari, maka kepentingan tersebut menjadi kepentingan nyata menurut Dahrendorf. Kepentingan nyata adalah program dari kelompok-kelompok yang terorganisasi.

Kelompok Semu dan Kelompok Kepentingan
Kumpulan orang yang menempati posisi dan kepentingan yang sama, dalam keadaan yang terbaik, adalah sebuah kelompok potensial. Dengan mengikuti Morris Ginsberg, yang menyatakan bahwa kelompok adalah sekumpulan orang yang berhubungan atau berkomunikasi secara teratur, dan memiliki sebuah struktur yang dapat dikenal, tetapi anggotanya memiliki kepentingan tertentu atau cara perilaku bersama yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan mereka menjadi kelompok yang sesungguhnya, merupakan pengertian dari kelompok semu. Kelompok semu merupakan kelompok dengan kapasistas yang besar. Kelompok semu membentuk kelompok baru yang memiliki perilaku bersama adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan merupakan agen yang sesungguhnya dari pertentangan kelompok. Kelompok kepentingan biasanya memiliki struktur, bentuk organisasi, memiliki program atau tujuan serta anggota.

Elit dan Kelas Penguasa
Dalam menjelaskan elit dan kelas penguasa, Dahrendorf merujuk pada teori tiga orang sosiolog yang karya-karyanya dianggap bisa mewakili. Ketiga sosiolog tersebut adalah Pareto, Mosca, dan Aron. Mosca secara eksklusif menunjukkan kelas politik yang segera berubah menjadi “kelas penguasa” dalam karya Elementi di Scienza Politica. Pareto memperkenalkan konsep tersebut dengan sebutan elit, tetapi ia membedakan elit menjadi dua, yaitu; elit yang memerintah, dan elit yang tidak memerintah. Mengenai elit dan kelas penguasa, Dahrendorf memfokuskan pembahasan ketiga sosiolog tersebut ke dalam lima aspek utama, yaitu:
1. Dalam dominasi mengenai kelompok dominan, Aron menyebut kelompok elit sebagai minoritas. Mosca juga mengatakan hal yang sama, bahwa kelompok penguasa adalah kelompok yang jumlahnya sangat sedikit. Ide tentang elit tampaknya secara otomatis menimbulkan ide tentang sejumlah kecil orang-orang pilihan. Begitu juga, Marx yang melihat kaum borjuis atau penguasa alat produksi secara keseluruhan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kaum proletar.
2. Pareto dan Mosca menandai kelompok dominan dengan sejumlah kekayaan khusus yang mana pemiliknya dinyatakan penting dalam sebuah kelompok untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi kekuasaannya. Mosca menjelaskan lebih lanjut, menurutnya, minoritas atau para elit biasanya terdiri dari individu-individu yang superior terhadap massa yang menguasai kekayaan material, intelektual, dan juga kehormatan moral, semua itu disebut dengan kekayaan nyata oleh Mosca. Kekayaan nyata tersebut diyakini membawa pengaruh yang sangat besar di dalam masyarakat mereka, tetapi Dahrendorf nampaknya tidak setuju dengan ide yang disampaikan oleh Mosca, karena ia yakin bahwa kekayaan yang dimiliki oleh kaum elit sesungguhnya tidak berpengaruh banyak terhadap anggota kelompoknya, tetapi hanya sebatas usaha dan kemampuan dalam mempertahankan kepentingan bersama di dalam kelompoknya. Menaggapi hal tersebut, sesungguhnya yang diharapkan terjadi adalah tipe elit yang disampaikan oleh Mosca, tetapi kenyataannya, yang banyak kita temui sekarang adalah elit-elit seperti halnya yang dikatakan oleh Dahrendorf. Apalagi pada sistem masyarakat demokrasi liberal, siapa pun bisa menjadi elit asalkan mereka mampu meyakinkan konstituante, sehingga belum tentu elit memiliki kekayaan seperti yang telah disampaikan di atas. Oleh karena itu, hampir tidak ada elit yang mampu berpengaruh terhadap anggota kelompoknya, yang terjadi justru para elit menjalankan kepentingan dengan mengatasnamakan kepentingan bersama.
3. Mosca menarik kesimpulan bahwa kelompok dominan dalam pertentangan kelompok selalu terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukkan. Tetapi lagi-lagi Dahrendorf menganggap bahwa aspek yang disampaikan Mosca tersebut tidak dapat dipertahankan karena terlalu menggeneralisasi. Ia mencontohkan dengan kelompok pada kehidupan masyarakat industri yang menurutnya pengorganisasian terhadap kelompok penguasa lebih susah dilakukan, karena sesungguhnya kepentingan masing-masing elit lebih besar.
4. Mosca dan Pareto memastikan kelas penguasa hanya terdiri dari orang yang memegang posisi dominan di bidang politik saja di dalam masyarakat. Elit yang dimaksud oleh Pareto adalah elit yang berkuasa di bidang politik saja. Aron juga mensyaratkan bahwa kesatuan sebuah kelas penguasa di semua bidang kehidupan di mana wewenang dilaksanakan. Secara tidak langsung, mereka mengisyaratkan bahwa kelompok politik adalah penguasa di segala bidang kehidupan manusia. Lagi-lagi, Dahrendorf menolak ide tersebut, ia masih pada pendiriannya bahwa wewenang hanya pelaku pada suatu struktur dalam suatu organisasi, tidak bersifat general seperti yang disampaikan oleh ketiga sosiolog di atas.
5. Mosca dengan tegas mengatakan bahwa orang bisa menerangkan keseluruhan riwayat peradaban umat manusia dilihat dari segi pertentangan antara upaya penguasa dalam memonopoli, dan untuk mewariskan kekuasaan politik, serta upaya untuk mengubah hubungan-hubungan kekuasaan dari pihak yang bukan pemegang kekuasaan. Pernyataan Mosca ini pun kembali di tolak oleh Dahrendorf, karena dianggap sebagai perumusan ulang pemikiran Marx mengenai sejarah perjuangan kelas.

Massa dan Kelompok Tertindas
Dahrendorf membuat penyataan umum bahwa pada dasarnya di dalam masyarakat industri, kelas penguasa dan kelas yang ditundukkan mempunyai kesempatan yang sama dalam membentuk organisasi. Ia juga mengatakan bahwa kelompok pertentangan yang ditundukkan itu tidak perlu dibayangkan sebagai massa yang secara esensial tak terorganisir dan tanpa kekuatan efektif. Ia meneruskan ciri-ciri kelompok yang tertundukkan sebagai berikut;
1.  Kelompok yang ditundukkan tidak harus terdiri dari mayoritas anggota sebuah perserikatan.
2. Anggotanya tidak harus dihubungkan oleh kekayaan atau sebuah kultur bersama selain daripada kepentingan yang mengikat mereka menjadi kelompok-kelompok.
3. Adanya mereka selalu dalam hubungannya dengan perserikatan tertentu. Jadi satu masyarakat tertentu, mungkin memperlihatkan adanya beberapa kelompok bertentangan yang ditundukkan.

Kelompok ataukah Kelas yang Bertentangan?
Dahrendorf secara tegas menyatakan bahwa yang terlibat di dalam suatu pertentangan sosial adalah kelompok sosial, bukan kelas sosial. Ia memiliki empat alasan mengapa konsep kelas tidak dapat digunakan untuk menganalisis pertentangan di dalam masyarakat pos-Kapitalis;
1. Karena alasan historis, bahwa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat di era Marx menimbulkan adanya dua kelas, yaitu kelas borjuis dan proletar. Sedangkan pada masyarakat pos-Kapitalis, borjuis dan proletar tidak lagi sebagai blok-blok yang mengorientasikan blok-blok serupa. Kemajuan pelembagaan nilai-nilai dan persamaan hak yang dicapai telah menyingkirkan berbagai perbedaan di antara kedua kelas tersebut. Pertentangan yang terjadi pada masyarakat modern lebih bersifat umum dibandingkan dengan pertentangan kelas menurut Marx yang sangat spesifik, sehingga penggunaan kelas menurut Dahrendorf kurang tepat digunakan.
2. Pada masyarakat modern, secara umum ciri-ciri kelompok yang bertentangan ditetapkan berdasarkan variabel yang cakupannya sangat luas. Banyak kemungkinan yang terjadi di dalam pertentangan yang sedang berlangsung.
3. Marx menyebut kelas hanya bagi kesatuan-kesatuan, seperti kelompok-kelompok yang telah mencapai tingkatan organisasi politik dan dengan ikatan yang erat. Sedangkan, pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat modern bisa saja terjadi antar berbagai kelompok sosial.
4. Masih sering terjadi kekeliruan antara konsep kelas dengan stratum. Kegunaannya masih sering dipertukarkan, walaupun jelas adanya perbedaan antara studi mengenai pertentangan kelas dengan studi mengenai stratifikasi sosial. Oleh karena itu, Dahrendorf beranggapan bahwa tidak bijaksana jika masih berupaya menggunakan konsep kelas yang sudah kehilangan maknanya sejak lama.

*****

0 Comments:

Post a Comment