Belajar Semiologi #1: Analisis Foto Selfie Via Vallen


Belajar Semiologi #1: Analisis Foto Selfie Via Vallen
 
[pic: @viavallen]
A.A Chintya Maharani Putri
Pegiat Sanglah Institute

Salah satu foto selfie dalam akun Via Vallen  memuat beraneka tanda, antara lain; simbol dilarang merokok, simbol helikopter, headphone, sofa, topi, jaket bludru, baju, tas, kacamata, keterangan tempat (Batulicin, Kalimantan Selatan, Indonesia), jaket hitam, rambut panjang layer, pose sedang selfie, keterangan caption (alhamdulillah dan emoji), keterangan mengunggah foto selfie-nya (13 Januari). Menilik bagaimana Barthes menjelaskan posisi manusia yang hidup di tengah tanda dengan segala bentuk, nilai dan maknanya; baik mereka menyadari secara refleks arti sebuah tanda atau tidak; tetaplah tidak dapat mengubah posisi bahwa mereka hidup di antara tanda tersebut. Oleh karenanya Barthes mengelompokkan pembacaan tanda tersebut ke dalam empat kajian, di antaranya; (1) Langue dan Parole, (2) Penanda dan Petanda, (3) Sintagma dan Sistem, (4) Denotasi dan Konotasi (Barthes, 2017: 19).

Unsur-unsur tanda dalam foto selfie Via Vallen dalam tulisan ini akan diurai melalui elemen-elemen semiologi, kemudian dibedah kembali dengan lima jenis kode semiologi Roland Barthes. Setelah melalui lima jenis kode semiologi tersebut, foto selfie  Via Vallen akan dipasangkan pada dimensi sosial yang sesuai. Posisi Via Vallen  sebagai sosok penyanyi terkenal dalam analisis ini akan ditiadakan, sebab dalam prekonstitusi (semiologi) yang ada hanyalah “tanda”. Tanda membicarakan dirinya dan melalui kode, maka sebuah makna akan terbentuk. Makna tersebut kemudian berangkat di atas banyaknya kemungkinan yang ada, lalu menaturalkan interpretasi terhadap kode dengan analisisnya yang historis (Barker, 2016: 75).

Tahap awal penguraian kode pada foto selfie Via Vallen  diawali dengan elemen pertama semiologi Roland Barthes, yaitu efek tiruan. Perlu diingat kembali bahwa penguraian ini tidaklah menawarkan ‘perjanjian’ apa pun, tidak pula membicarakan bagaimana posisi Via Vallen yang sebenarnya; sebab tujuan dari semiologi sendiri adalah membedah sebuah tanda di antara banyaknya kemungkinan. Analisis yang diberikan pun akan berdiri di titik tengah di antara positif dan negatif, posisi foto selfie Via Vallen di sini adalah sebagai media dalam menganalisis foto selfie dengan semiologi Roland Barthes sebagai pisau bedahnya.

Analisis efek tiruan terhadap foto selfie Via Vallen mencurahkan serangkaian kode dan menyiratkan banyak tanya. Foto selfie tersebut terlihat sederhana dan menyejukkan, menempatkan kemungkinan bahwa itu memang benar keadaan ketika itu atau justru terdapat penambahan efek ‘cool’ untuk menunjang foto selfie-nya. Keadaan menjadi tidak stabil akibat pengambilan cahaya yang memang benar adanya demikian ataukah ada hal lain. Silauan cahaya dari luar memberikan aksen segar. Pantulan yang mengenai sofa bahkan parasnya pun mengantri seolah foto selfie tersebut memang demikian adanya. Terlepas dari gawai yang mungkin Via Vallen gunakan, foto selfie-nya mungkin mengunakan efek white angel sebagai komposisi yang selaras mempercantik foto selfie-nya. Keberadaannya yang sederhana dalam hal ini sulit dikesampingkan sebab pengomposisian warna dalam foto selfie-nya tidaklah mencolok namun tetap menghadirkan banyak kemungkinan.

Pose, elemen semiologi yang kedua ini menjadi elemen yang menegaskan bagaimana ‘gaya’ menjadi tidak stabil. Pose atau gaya foto selfie Via Vallen  membariskannya pada posisi seorang perempuan yang feminin. Hal tersebut tetaplah memberikan asumsi lain tentang apakah itu fakta mentah yang merupakan kebenaran darinya ataukah gambaran yang lain. Gestur lembut memberi kesan halus pada foto selfie-nya ataukah menandakan dirinya sedang kurang sehat. Posisi mata dan bagian kepala yang sedikit miring memberikan jawaban bahwa dirinya secara sadar dalam berfoto. Terdapat ketentuan yang seolah diberlakukan namun menunjukkan dirinya yang sederhana walaupun sesak dengan pakaian dan bawaannya yang tidak sederhana.

Elemen pose dalam semiologi Roland Barthes selalu dipasangkan dengan keberadaan sebuah objek yang melengkapi pose itu sendiri. Objek bergandengan dengan pose, menuntun elemen semiologi dalam menuntaskan makna. Makna yang hadir justru meleset dan tergelincir sehingga analisis akhirnya adalah tetap mengambang bebas sebagaimana sifat tanda ‘kode’ (Barker, 2016: 77). Objek yang terlihat dalam foto selfie Via Vallen  hadir menawarkan beraneka kemungkinan untuk diakui. Penguraian akan secara acak dilakukan, namun penulis tetap akan berusaha untuk menemukan titik terang atas hubungan ‘tanda’ yang mengambang ini. Terlepas dari keberadaan objek yang apakah disengaja ataupun tidak disengaja, aspek citra dalam foto selfie-nya tetap hadir. Rangkaian tanda atas objek yang hadir jelas memberi jawaban atas maksud tanda.

Kemungkinan yang hadir merujuk pada penantian, kemewahan namun kesederhanan. Gambar helikopter di belakang bagian kiri dan tepat di belakang Via Vallen menjawab satu persoalan. Objek lain yang juga mempertegas adalah adanya dua buah headphone helikopter menjawab bahwa dirinya sedang berada di dalam helikopter. Terdapat kesan tentang suatu penantian, kemungkinan dia baru akan berangkat ataupun telah sampai pada suatu tujuan memenuhi sudut elemen semiologi ini. Kemungkinan lain di mana Via Vallen  sedang dalam perjalanan menuju tempat tujuan namun tidak menggunakan headphone  helikopter atau sabuk pengaman pun turut hadir. Keberadaan headphone helikopter yang tidak terpakai dan tidak memakai sabuk pengaman seolah menunjukkan lebih pentingnya mengabadikan momen dengan ber-selfie daripada memperhatikan keselamatannya. Kemungkinan lain, dirinya memenuhi waktu penantian akan waktu keberangkatannya dengan ber-selfie juga bisa menjadi alternatif yang sebenarnya dia lakukan. Keberadaan Via Vallen  yang jelas sedang berada di sebuah helikopter memberikan kesan kemewahan tersendiri, terlepas dari kepemilikan helikopter itu sendiri.

Unsur kemewahan lainnya seolah sangat mudah ditemukan dari apa yang dikenakan dan barang bawaan yang disejajarkan di sebelahnya. Tas yang senada dengan jaket abu-abu bludru dengan rumbai sembur yang dia kenakan seolah menyerukannya sebagai seorang wanita yang mengerti mode. Penggunaan kacamata dengan sentuhan warna soft red yang turut senada dengan bajunya yang hadir lengkap atas sentuhan merah muda turut mempertegas bahwa dirinya pandai memasangkan fashion.

Hadirnya yang begitu polos dan sederhana justru turut ditampilkannya; hal ini seolah berlawanan dari unsur kemewahan itu sendiri. Pegangan tas yang berbahan bambu memberikan aksen dirinya hadir dengan sebuah kealamian, namun ciri khas modern dari tas, baju, jaket, ataupun kacamatanya memberikan kesan sentuhan industri yang bernilai tidak sedikit. Tambahan beberapa butiran melengkapi kacamata yang Via Vallen kenakan berbaris di jajaran paling depan seolah menyerukan bahwa hal tersebut adalah unsur elegan dari sebuah produk kacamata. Letak simbol dilarang merokok yang terdapat dalam helikopter yang Via Vallen tumpangi merujuk pada keadaan dirinya yang segar dan bebas asap rokok; dirinya juga berada di tempat yang memang menunjang ketiadaan asap rokok.

Keberadaan bahwa Via Vallen tidaklah seorang diri turut hadir dalam elemen objek yang melengkapi posenya. Pose menepi seolah memberi jarak akan sesuatu, dipertegas dengan adanya seseorang yang lain. Bagian kiri pada foto selfie­-nya memampatkan seseorang yang lain; di mana dirinya mengenakan jaket hitam. Potongan kejelasan tersebut kembali mengingatkan bahwa posisi tanda dihadirkan hanyalah untuk mengungkit maksud makna yang hadir di luar dari asumsi yang sebenarnya.

Fotogenia, elemen semiologi ketiga; elemen ini berkaitan erat dengan seni dan teknik pengambilan foto agar foto yang dihasilkan dapat sesuai dengan yang dimaksudkan. Sebagaimana Barthes menjelaskan hadirnya kode akan sesuatu yang dibangun adalah atas banyaknya oposisi (Barthes, 2007: 74). Pengambilan foto selfie Via Vallen seolah hadir dengan gaya feminin. Hadirnya sentuhan cahaya alami dari luar memberikan informasi atas kealamiannya. Sebaliknya, cahaya tersebut cenderung terlihat begitu ditekan agar tetap menonjolkan sosok Via Vallen dan bukannya keseluruhan cahaya. Inilah yang diperjelas Barthes sebagai pertinensi atas oposisi yang hadir memenuhi tanda. Tanda terlalu mengambang bebas dan hadir dalam banyak kemungkinan. Mematikan makna satu dan memunculkan makna lainnya yang cenderung arbitrer.

Estetisisme, elemen semiologi keempat: elemen ini berkaitan dengan pengomposisian gambar secara menyeluruh. Dalam estisisme, kombinasi akan keeleganan sebuah foto selfie lebih diperhatikan. Foto selfie Via Vallen  menunjukkan bagaimana dirinya hadir dalam kemewahan sekaligus kesederhanaan. Penggunaan riasan wajah yang sederhana semakin hadir menunjang kecantikan yang memang alami dimilikinya. Pemakaian mode ataupun pengenaan fashion yang hadir dalam foto selfie-nya jelas menjawab tidak sedikit biaya yang dikeluarkannya. Pemilihan waktu ber-selfie seolah adalah waktu yang dinanti di mana dirinya tetap hadir segar dan mewah. Posisi pengambilan foto dari kanan cenderung menampilkan suatu keberpihakan olehnya; di mana posisi tersebut jelas menyembunyikan suatu hal namun sekaligus hadir menonjolkan Via Vallen sepihak bersamaan dengan unsur estisisme.

Sintaksis, elemen semiologi kelima; berkaitan dengan bahasa foto atau bahasa yang dimunculkan oleh foto selfie tersebut. Pada analisis foto sebelumnya telah dijelaskan mengenai sebuah foto yang hadir berbarengan dengan polisemi. Polisemi yang memunculkan poli-bacaan turut hadir dalam foto selfie Via Vallen. Pembahasan yang penulis tempatkan pun turut di antara ketidakpastian, dan memang penulis tidak mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya hadir pada saat akan ber-selfie, saat ber-selfie, atau setelah ber-selfie. Pemakaian captionalhamdulillah ditambah dengan emoji (bersyukur)” memberikan aksen kepatuhan akan sesuatu. Tidak terlepas akan keyakinan tertentu dan hadir secara modern dengan menempatkan ekspresi yang terbalut dalam sebuah emoji. Klasifikasi yang diberikan pun seolah ditumpuk Via Vallen pada maksud ganda. Menghaturkan syukur dan dipasangkan dengan emoji syukur menjelaskan atas banyak syukur yang dihaturkannya. Hal tersebut dihadirkan pada bahasa yang begitu santun dan senada dengan sosoknya yang hadir dalam foto selfie­-nya. Analisis ini kembali menjadi rancu karena hadirnya tanda ganda dan menumpuk pada caption foto selfie­ tersebut. Semiologi di sini hadir atas dua petanda untuk sebuah penanda tunggal. Tunggal yang dimaksudkan adalah dengan menghadirkan sebuah oposisi untuk menekan makna yang merancu (Barthes, 2017: 114).

Semiologi sering digunakan dalam analisis teks, namun tidak menutup kemungkinan metode sekaligus teori ini dihadirkan untuk mengupas hadirnya tanda dalam foto selfie. Barthes melihat kemungkinan menerapkan semiologi atas bidang-bidang lain di mana analisis isi lebih dihubungkan dalam tradisi mainstream ‘tidak biasa’ dalam penelitian ilmu-ilmu sosial; demikianlah mengapa semiologi lebih diasosiasikan dengan cultural studies (Barthes, 2017: 6-7). Analisis foto selfie Via Vallen yang telah melalui elemen-elemen semiologi Roland Barthes akan dilanjutkan pada lima jenis kode; untuk memperoleh suatu acuan yang kuat dalam memposisikan dimensi sosialnya.

Hermeneutik, kode pertama semiologi Roland Barthes yang merujuk pada tafsir di luar Via Vallen . Tafsir yang digunakan dalam kode ini adalah tafsir bebas yang secara obyektif penulis posisikan guna menentukan makna dengan sekilas melihat foto selfie Via Vallen. Penampakan ‘sederhana’ namun juga ‘mewah’ memberikan kerancuan yang sangat. Hal tersebut begitu kuat seolah menghadirkan konflik, di mana sederhana justru dipasangkan dengan kemewahan, walaupun jelas keduanya adalah hal yang berlawanan. Kombinasi tersebut hadir secara tidak sengaja namun menjelaskan hal yang berlawanan.

Proairetik, kode kedua yang menghadirkan tafsir berlawanan dengan hermeneutik. Sama-sama berdiri dalam sebuah tafsir namun hadir dengan konteks yang berbeda; proairetik lebih menekankan pada tanda yang terlihat. Tafsir di sini bukan suatu sikap, melainkan sebuah proses yang berkelanjutan dan beruntun menuju kode selanjutnya. Kesan ‘natural’ memenuhi setiap sudut dalam foto selfie Via Vallen seolah mengintimidasi kemewahan yang termampatkan di dalamnya. Via Vallen  begitu sadar sedang berfoto, dirinya hadir begitu tenang dan tidak memaksakan apa pun; tidak terlihat kekakuan dalam posenya ataupun pada raut wajahnya. Segalanya seolah telah dihadirkan secara alami, di mana memang demikian dirinya. Sebagian rambutnya terurai bebas, tidak terlihat rapi kembali mengerucutkan tafsir bahwa dirinya memang ‘alami’. Sorot matanya terlihat setelah pesona kacamata dengan aksen warna merah muda pun menampilkan dirinya seolah melihat sebagaimana umumnya.

Budaya, kode ketiga yang mengacu pada rujukan budaya atau secara sosiologisnya. Keberadaan budaya telah lebih dulu diperkuat dengan hadirnya semiologi pada barisan cultural studies yang hadir mainstream. Kode ini jelas memahami adanya hubungan berantai antara tanda yang hadir dengan makna yang dihasilkan, walaupun demikian banyak tokoh sosiologi yang merasa janggal dengan semiologi. Sebab hadirnya yang begitu menerka-nerka, berdiri di atas banyak kemungkinan yang tidak pasti. Umberto Eco, salah satu tokoh yang senada dengan Roland Barthes; di mana Eco hadir mendukung metode semiologi dalam sebuah ‘pembacaan’ khususnya dalam komunikasi. Oleh karenanya, Barthes dalam kajiannya telah menetapkan beragam ruang lingkup dari tanda, dan beberapa di antaranya hadir dengan kode yang mengelabuhi. Pakaian yang dikenakan Via Vallen, terbalut dalam warna yang tidak mencolok yaitu abu-abu, komposisi lain seperti tas dengan warna yang tidak mencolok namun menggandeng sebuah nilai yang tidak sedikit; kesan, harga, dan label (brand). Sentuhan rumbai sembur pada jaket Via Vallen  dan perpaduan selaras dengan warna cat rambutnya memberikan sentuhan atas kepandaian semu.

Barthes mengakui bahwa manusia memiliki sesuatu yang membuat hidupnya menjadi menarik dan banyak orang menjadi terkagum-kagum karenanya. Situasi demikian kerap diidentikkan Barthes sebagai “kebohongan yang wajar”. Kebohongan dan kebenaran dihadirkanya dalam satu kesatuan yang hanya dibatasi oleh sisi ‘dimensi’, begitulah Barthes mengibaratkan ‘tanda’ (dalam Berger, 2010: 91-92).

Semik, kode keempat semiologi yang mengacu pada karakter atau pelabelan tertentu. Pemikiran arkatipe Carl Gustav Jung juga dihadirkan pada analisis foto selfie Via Vallen dengan harapan menemukan ‘label’ yang pas. Jung berpendapat bahwa peran adalah tidak terikat pada keadaan permainan dan kekuatan simbol. Jung juga menghadirkan tidak hanya satu atau dua pelabelan melainkan dua belas label.

[pinterest.com]

Melihat bagan di atas, Jung seolah hadir memberi wacana lain terhadap sesuatu untuk menunjukkan anima yang hadir pada sesuatu tersebut. Sesuatu yang tidak lain adalah ‘kode’ dalam penelitian ini. Tenang dan hadir elegan menghubungkan sosok Via Vallen dalam foto selfie­-nya erat dengan tipe enjoyment ‘jester’. Via Vallen  hadir sebagaimana dirinya dan hal tersebutlah yang menghubungkan dirinya dengan banyak orang. Kenyamanan untuk hadir sebagaimana dirinya dan tetap dengan ketaatan tertentu semakin meneguhkan dirinya sebagai sosok perempuan yang ideal.

Simbolik, kode kelima semiologi Roland Barthes yang mempersoalkan posisi tanda sebagai simbol. Barthes (2017: 98) menjelaskan dalam hal mendefinisikan kode, ada paksaan-paksaan kombinatif yang perlu dihadirkan untuk menemukan makna. Sudut pandang di luar simbolik umumnya dapat berupa psikoanalisis, antithesis, skizofrenia. Foto selfie­ Via Vallen yang berfoto di dalam helikopter menjadi antitesis dari orang yang pada umumnya berfoto di sebuah mobil atau lobi hotel. Kemegahan yang bernilai tidak sedikit hadir melekat dalam foto selfie-nya menunjukkan kemapanannya. Posisi dirinya hadir dalam helikopter tidak dapat dibantahkan, selain terdapat simbol yang tertempel pada bagian kiri belakang dan tepat di belakang Via Vallen, sesuatu yang lain turut hadir memberikan kejelasan yaitu headphone helikopter. Terlihat dua headphone   helikopter yang seolah tidak dipakai dan ditempatkan pada bagian belakang. Topi berwarna putih turut disejajarkan dengan headphone tersebut; kemungkinan terdapat penataan sebelumnya; seolah Via Vallen  sebelumnya mungkin menggunakannya namun melepasnya sebab ingin menunjukkan kesegaran dengan mengurai rambut panjangnya. Kemungkinan lain menyusul, seolah topi berwarna putih tersebut mungkin akan dikenakannya setelah sampai di tempat tujuan atau hanya sebagai pajangan semata.

Representasi dimensi sosial pada foto selfie Via Vallen melahirkan beragam dugaan yang tidak sederhana. Analisis foto selfie Via Vallen telah melalui elemen-elemen semiologi dan lima jenis kode semiologi, namun tetap hadir tidak hanya menggandeng satu makna. Foto selfie Via Vallen selain memampatkan dirinya yang begitu polos namun elegan, bidikan sosok perempuan yang tidak hadir seorang diri dalam helikopter tersebut diperjelas dengan hadirnya potongan warna hitam pada bagian kiri yang seolah adalah seseorang yang lain. Barthes dalam mendukung semiologinya, melahirkan tulisan camera lucida yang berisikan tentang berbagai kritik atas pantulan kenyataan. Pantulan yang tidak lain berasal dari bidikan sebuah kamera, yaitu sebuah foto (Berger, 2010: 159).

Foto ataupun foto selfie hadir bak silet bermata dua, memiliki banyak sisi dan beragam makna yang sulit ditiadakan. Memanglah sulit mensejajarkan tanda-tanda yang hadir untuk menemukan sebuah makna; walaupun demikian, pemasangan dimensi sosialnya akan hadir atas kode yang ada.

Keberpihakan atas banyaknya kode yang merujuk pada beraneka kontradiksi dalam foto selfie Via Vallen membariskannya pada dimensi sosial ‘paradoks’. Paradoks, di mana pesan atau foto selfie-nya tanpa kode namun mengandung tanda konten. Kaya akan kode namun kaya akan kontrakdiksi. Terdapat potongan atas hadirnya seseorang yang lain menandakan terdapat encoding dan decoding dalam foto selfie­-nya sebagaimana penjelasan Stuart Hall, namun Barthes hadir dalam sebuah ilustrasi lain.

Sebuah helikopter ditujukan untuk membawa seseorang atau sebagai alat transportasi; sebuah konstruksi mesin atas ciptaan modern hadir untuk mengantarkan Via Vallen  menuju suatu tempat. Kenyataannya, foto selfie Via Vallen justru hadir dalam konstruksi mesin tersebut, hadir seolah keselamatannya tidak lebih penting dari sebuah foto selfie yang dihasilkan, atau seolah menjadikan momen tersebut sebagai suatu penantian atas sesuatu...

****

0 Comments:

Post a Comment