Filsuf Lebih Penting daripada Dokter


Filsuf Lebih Penting daripada Dokter

[pic: popmatters.com]

Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

“Jiwamu lebih cepat mati daripada tubuhmu...”, kata Nietzsche. Nyatanya memang demikian, jiwa kita telah mati dan hidup berulangkali. Hidup-matinya jiwa tergantung pada ada-tidaknya makna dalam kehidupan kita. Jika seseorang telah kehilangan makna hidup, sesungguhnya ia telah mati. “Jika hidup sudah tak bermakna, apakah pantas untuk tetap dijalani?”, tanya Kirilov dalam novel The Possessed karya Dostoyevsky. Mari kita renungkan. Faktual, seseorang masih bergairah menyongsong hari esok dikarenakan masih memiliki makna hidup; asa, cita-cita, tujuan, harapan. Sebaliknya, mereka yang memilih bunuh diri dikarenakan menemui ketiadaan makna dalam hidupnya, atau: merasai betapa absurdnya kehidupan.

Tempo hari, seorang teman menghubungi saya dan curhat soal dirinya yang tak lagi bersemangat akan pekerjaannya. Hal semacam ini memang umum terjadi. Pada awalnya, kita memang menganggap apa yang kita kerjakan begitu bermakna, namun dikarenakan pekerjaan itu dilakukan terus-menerus, setiap hari, dan berulangkali; lambat-laun kita pun mulai kehilangan makna akannya—sama seperti Sisifus yang dihukum para dewa lewat perkerjaan tak bermaknanya. Maka, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah selalu berupaya menemukan makna dari setiap yang kita kerjakan. Itulah mengapa, tugas besar dalam hidup yang tak bermakna ini sesungguhnya adalah menemukan atau menciptakan makna hidup!

Dimanakah makna hidup bisa diperoleh? Secara sosiologis, kita telah mengakui keberadaan keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, dan institusi agama sebagai tempat atau sumber-sumber diproduksinya makna hidup—dari sini pulalah kehidupan sosial bisa terus dilangsungkan. Namun, makna hidup yang diproduksi berbagai institusi tersebut seringkali tak sesuai atau tak cocok dengan persoalan spesifik yang dihadapi individu. Begitu pula, dengan mengambil makna hidup dari berbagai institusi tersebut, itu artinya kita sekadar “meminjam” makna hidup pihak lain, kita pun menjadi tak otentik karenanya. Dalam hal ini, hanya seorang filsuf yang bisa melatih kita untuk “menciptakan” makna hidup kita sendiri. Apabila itu terwujud, kita akan selalu memiliki makna pada setiap laku yang dikerjakan, bahkan hingga sekecil-kecilnya. Pada akhirnya, setiap manusia memang harus merasa malu dan jijik pada eksistensinya.

*****

0 Comments:

Post a Comment