Dildo: Perebutan Kembali Ruang Publik Virtual dari Kooptasi Cebong dan Kampret


Dildo: Perebutan Kembali Ruang Publik Virtual
dari Kooptasi Cebong dan Kampret



Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

Tulisan ini berawal dari pertanyaan seorang netizen ihwal fenomena “dildo” (Nurhadi-Aldo) yang diajukan pada saya via PM Facebook. Bagi saya, hadirnya dildo adalah upaya perebutan kembali ruang publik virtual yang selama ini,  atau tepatnya dalam beberapa bulan terakhir ini, secara brutal dikooptasi oleh cebong dan kampret. Dalam rentang yang tak sebentar itu, netizen disuguhi tontonan politik yang menjemukan, membuat jengkel, dan tak jarang pula membikin perut mual-mual.

Fanatisme buta yang dipertontonkan secara terang-terangan memang selalu menimbulkan efek semacam ini. Ekspektasi kedua belah pihak pada idolanya sudah pada taraf tak masuk akal. Nyatanya, sejarah memang mengajarkan kita bahwa manusia tak pernah belajar apa pun dari sejarah.

Mungkin kita masih ingat, betapa dulu orang-orang menaruh harapan sangat besar pada SBY, dan nyatanya ... (silakan isi sendiri). Harapan kala itu, berbalut framing kedekatan SBY pada negara superpower Amerika Serikat yang dinilai bakal memberi banyak “cipratan” keuntungan bagi Indonesia. Kasus serupa adalah ekspektasi luar biasa dari masyarakat negeri-negeri muslim terhadap naiknya Obama yang dinilai bakal “menyegarkan” relasi masyarakat Barat dengan dunia Islam. Nyatanya, tak banyak yang berubah.

Lebih jauh, ruang publik adalah suatu tempat—atau ranah—dimana setiap warga dapat hadir sebagai individu yang berdaulat, sebagai wujud oposisi terhadap segala konstruksi di luar sipil; sebagai negasi atas negara, militer, dan (pe)modal. Ruang publik juga memungkinkan hadirnya kolektivitas sipil, namun hal ini berbeda dari kolektivitas yang ditunjukkan baik oleh cebong maupun kampret.

Dua bentuk kolektivitas terakhir ini, tidak benar-betul merepresentasikan kritisisme murni sebagai sipil, melainkan kritisisme emosional dari kolektivitas irasional yang gagal mengkritisi dirinya masing-masing. Inilah mengapa, mereka lebih tepat disebut sebagai “massa”—bukannya publik—sebagaimana karakter paling kentara dari massa: emosional dan mudah terprovokasi. Dengan begitu, hadirnya dildo sesungguhnya menunjukkan masih adanya “kewarasan” warganet, yakni pemahaman mereka bahwa “politisi akan tetap membangun jembatan meskipun di situ tak ada sungai”.

Dalam perspektif différance Jacques Derrida, hadirnya dildo adalah pelebur oposisi biner antara paslon nol-satu dengan nol-dua, yang sekaligus mendekonstruksi cebong dan kampret. Différance adalah suatu arus penciptaan (kreatif) yang mendivisi setiap dualitas dan oposisi biner, namun sekaligus memungkinkan dualitas atau oposisi itu dilampaui satu sama lain; saling memasuki, saling melanggar, dan berlintasan satu sama lain.

Fungsi différance menstabilkan dualitas atau oposisi itu dengan cara menambahkan apa yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan demikian, muncullah “konsep baru” atau “ruang baru” yang tak selalu bisa dipahami lewat cara berpikir oposisi. Dalam konteks inilah dildo hadir untuk mewaraskan kita semua.

*****

0 Comments:

Post a Comment