SpongeBob dan Dehumanisasi Cara Makan


SpongeBob dan Dehumanisasi Cara Makan
 
[pic: hollywood.com]

Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
Pegiat Sanglah Institute

“The money is always right.”
[Mr. Krabs]

Karakter dan Ideologi
Kita dapat segera mengonfirmasi secara jelas bahwa Mr. Krabs adalah seorang kapitalis sejati. Tak ada hal lain yang paling disukainya di dunia ini—di Bikini Bottom—selain uang dan mengakumulasinya. Segala cara ia lakukan untuk mengakumulasi modal; berhemat secara keterlaluan, menipu konsumen bahkan anak-anak, hingga beberapa kali menjual makanan (krabby patty) tak layak konsumsi. Lalu, bagaimana dengan SpongeBob? Menilik berbagai karakternya, SpongeBob adalah seorang altruis-sosialis. Ia rela berkorban demi orang lain, tak pernah mengukur segala sesuatunya dengan uang dan selalu bertindak demi kemanusiaan (baca: keikanan), serta memiliki jiwa solidaritas yang tak diragukan lagi. SpongeBob merepresentasi kemurnian jiwa anak-anak, bahkan mantan Presiden Obama pun mengidolakannya. Ia juga menyirat pesan seorang sosialis sejati: “Di dalam kapitalisme, benda-benda menguasai manusia. Di dalam sosialisme, manusia menguasai benda-benda”. Dan memang, SpongeBob selalu menguasai benda-benda.

Adapun Squidward adalah seorang liberal-konservatif. Liberal, karena ia hidup sebagai seorang individualis, suka menyendiri dan tak membutuhkan banyak orang untuk menikmati diri. Ia juga berprinsip layakanya liberalis: “Aku tak mengganggumu, maka kau jangan menggangguku”. Konservatif, karena ia menyukai kemapanan, meyakini seni berestetika tinggi, mempercayai pola dan keteraturan, bahkan Squidward tak segan menyebut mereka yang tak mengikuti aturan sebagai “tak beradab”. Sementara, si tupai Sandy adalah seorang anarko-liberal. Ia suka menerabas aturan, tak segan menggunakan kekerasan, anti-Kemapanan, tetapi juga memiliki solidaritas tinggi terhadap kawan-kawannya (SpongeBob dan Patrick). Liberal, karena ia hidup menyendiri di dalam kubah kedap air, cenderung membatasi interaksi, dan pada batas-batas tertentu turut menyirat prinsip liberalis layaknya Squidward: “Aku tak mengganggumu, maka...”.

Lalu, bagaimana dengan Patrick dan Plankton? Patrick mencirikan dirinya sebagai seorang lumpen-proletariat (gelandangan, gembel). Mengapa? Karena ia tak berkontribusi apa pun terhadap kehidupan sosial. Ia tak bekerja, tak berkarya, atau bahkan berupaya membangun kehidupannya. Sedangkan melalui diri Plankton kita bisa melihat kejahatan murni, entitas yang memang terlahir untuk melakukan tindakan-tindakan jahat, kejam. Ia adalah seorang psikopat yang terobsesi. Plankton melancarkan berbagai tindakan jahatnya bukan untuk uang atau kekayaan, tetapi karena obsesinya: Ia adalah seorang maniak.

Filosofi
...barangkali banyak pihak tak menyadari, di balik serial kartun SpongeBob yang sangat menghibur dan “konyol”, termuat filosofi yang begitu dalam, yakni bagaimana serial kartun itu bisa ditempatkan sebagai kritik terhadap restoran cepat saji yang telah lama menggejala dalam masyarakat modern. Kritik ini dibangun lewat asumsi betapa hal-hal sepele seperti “cara makan” dapat menunjukkan kultur dan kondisi sosial yang tengah berlangsung—atau yang lebih luas. George Ritzer yang terinspirasi oleh pemikiran Zygmunt Bauman mengulasnya secara apik dalam McDonaldization of Society ‘McDonaldisasi Masyarakat’. Baginya, restoran cepat saji sepenuhnya merepresentasikan kultur modern yang mendewakan efisiensi dan efektivitas tingkat tinggi, bahkan bisa pula dikatakan: restoran cepat saji adalah anak kandung modernitas.

Hal di atas mengingat, segala hal yang berlaku dalam sistem operasi restoran cepat saji semata-mata bersifat rasional dan teknis. Dari ruang memasak (baca: dapur) yang sekat-sekatnya telah ditentukan secara pasti untuk mengefisiensi gerak dan menyajikan makanan secara cepat, desain tempat makan, hingga sistem operasi dalam proses memasak makanan. Faktual, untuk menjadi koki di restoran cepat saji, kita tak perlu pandai atau memiliki keahlian memasak karena semuanya telah terukur (baca: tertakar) secara pasti; banyaknya bumbu, lama penggorengan, dan lain-lain; tegas dan jelasnya, semua hanya menyangkut persoalan teknis. Inilah mengapa Ritzer mengatakan, mengonsumsi makanan cepat saji adalah suatu bentuk dehumanisasi cara makan—cara makan yang tak manusiawi. Berbagai makanan yang diproses di situ “garing”, tanpa perasaan, serta minim sentuhan kemanusiaan. Bahkan, bagaimana restoran cepat saji menyajikan makanan pada konsumen tak ubahnya seperti peternak yang memberikan makan hewan-hewan ternaknya. Sekali lagi, hal ini dikarenakan prosedur teknis dan rasional semata yang berlaku dalam proses penyajian makanan.

Dalam konteks itulah SpongeBob hadir untuk mengkritik eksistensi restoran cepat saji. Meskipun ia—SpongeBob—turut bekerja di restoran cepat saji Krusty Krab, namun ia selalu memasak dengan “hati” dan “cinta”. Ia meyakini jika makanan yang dimasaknya diperuntukkan bagi makhluk lain sepertinya yang juga memiliki jiwa dan perasaan. Di sini, kita temui kritik tertajam SpongeBob atas restoran cepat saji. Nyatanya, bagi spon kuning pembuat krabby patty itu, persoalan makanan tak sekadar persoalan akumulasi modal atau pemenuhan kebutuhan biologis pengonsumsinya semata, melainkan juga pemenuhan jiwa (kemanusiaan). Pemenuhan ini tak hanya tercermin lewat kepuasan pelanggan, tetapi juga kepuasan pembuat makanan yang menyertakan cinta dan perasaan pada makanan yang dibuatnya. Dengan begitu, argumen pakar antropologi makanan Robin Fox ada benarnya; makanan tidak hanya bisa dimaknai sebagai makanan semata, seringkali makanan menjadi media bagi keramah-tamahan, altruisme sosial, serta sarana untuk menunjukkan rasa sayang bagi sesama. Tentu hal ini jauh berbeda dari makanan yang dibuat dengan rasionalitas teknis semata dan ditujukan bagi pengakumulasian modal.

Lebih jauh, masih dipengaruhi oleh pemikiran Zygmunt Bauman, tepatnya mengenai holocaust; Ritzer berani menyatakan klaim bahwa McDonald’s menggunakan cara-cara (baca: rasionalitas) Nazi dalam holocaust untuk membangun sistem operasinya. Berikut adalah tabel perbandingan antara sistem Nazi dengan sistem yang diterapkan McDonald’s.

Holocaust-Nazi
McDonalds
1.
Rasionalitas formal
Birokrasi sebagai alat. Birokrasi adalah organisasi yang dibentuk negara untuk melancarkan fungsi negara, salah satu karakternya ialah “rasionalitas dengan spesialisasi”, bertujuan untuk mencapai efisiensi tingkat tinggi.
Rasionalitas formal
Memberikan pesanan melalui jendela pada konsumen adalah cara paling cepat mencapai tujuan bagi kedua belah pihak. Pelayan mendapatkan uang dengan cepat, begitu pula dengan konsumen: mendapat pesanan dengan cepat.
2.
Efisiensi
Penggunaan gas lebih efisien untuk membunuh manusia ketimbang peluru. Melalui kalkulasi, seberapa banyak yang dapat dibunuh berbanding seberapa pendek waktu yang untuk melakukannya.
Efisiensi
Seberapa banyak pesanan yang dapat keluar, dan seberapa pendek waktu yang dibutuhkan untuk menyajikan pesanan tersebut.
3.
Prediktabilitas
Kamp konsentrasi di berbagai negara didesain serupa.
Prediktabilitas
McDonalds Amerika Serikat didesain serupa dengan McDonald’s di berbagai belahan dunia.
4.
Teknologi nonmanusia
Kekuasaan dan peraturan-peraturan dalam kamp konsentrasi berdampak pada dehumanisasi.
Teknologi nonmanusia
Menggunakan koki yang tidak trampil, sekedar mengikuti petunjuk rinci dan metode garis peracikan yang ditetapkan dalam memasak dan menyajikan; berdampak pada dehumanisasi cara makan/makanan.
5.
Hanya berurusan pada dampak finansial dari tindakan yang dilakukan
Penggunaan gerbong oleh Nazi dengan menganggap manusia-manusia sebagai “angka”, yakni membiarkan mereka berdesak-desakan, dehidrasi dan menderita—perihal terpenting adalah  membawa muatan sebanyak-banyaknya dengan biaya termurah, cepat dan aman.
Hanya berurusan pada dampak finansial dari tindakan mereka
Penggunaan stereoform ‘gabus’ dalam penyajian makanan agar murah faktual menyebabkan penyakit kanker. McDonald’s menuai protes konsumen vegetarian karena lebih dari sepuluh tahun berbohong tak menggunakan lemak nabati untuk menggoreng kentang iris, melainkan lemak sapi.
6.
Pekerja yang tak digaji
Yahudi bekerja dalam pabrik-pabrik tanpa menerima upah.
Dalam sistem, Yahudi dipaksa melepaskan pakaiannya sendiri, masuk ke kamp gas sendiri, Yahudi-Yahudi yang masih tersisa diperintahkan untuk membersihkan mayat saudaranya sendiri (membawanya ke tungku pembakaran).
Tubuh mereka juga digunakan sebagai bahan membuat sabun, kain, dll. (tidak ada yang tersisa).
Pelanggan menjadi pekerja yang tak digaji
Pelanggan McDonald’s membumbui makanannya sendiri, serta membersihkan kotorannya sendiri (terlebih jika pesanan tak dimakan di tempat).
(Tabel diolah oleh penulis)

Refleksi
Lalu, bagaimana dengan fenomena merebaknya rumah makan lokal yang meminjam konsep restoran cepat saji? Hal ini tentu patut disayangkan. Di samping fenomena dehumanisasi cara makan yang semakin merebak, faktual terjadi kontradiksi kebudayaan di dalamnya. Pertama, kultur masyarakat tanah air adalah membayar makanan setelah makanan itu selesai disantap. Membayar makanan terlebih dahulu baru kemudian menyantapnya sebagaimana sistem yang diterapkan restoran cepat saji seakan menunjukkan problem trust ‘kepercayaan’ yang juga bertentangan dengan modal sosial masyarakat. Kedua, kultur masyarakat tanah air sesungguhnya tak sekadar menjadikan kegiatan makan sebagai aktivitas makan an-Sich, melainkan juga sarana interaksi dan sosialisasi (beramah-tamah). Hal ini tentu bertentangan dengan desain interior restoran cepat saji yang sengaja dibuat mencolok dan kontras agar pelanggan tak betah berlama-lama di dalamnya.

*****

0 Comments:

Post a Comment