Bowo, Simulasi, dan Ide Poskolonialisme

Bowo, Simulasi, dan Ide Poskolonialisme



Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

“Jika Anda lebih tersimulasi dari saya: Anda akan mati.”
[Jean Baudrillard]

Bowo dan Simulasinya
Simulakra atau simulakrum adalah instrumen untuk merubah hal-hal konkret menjadi abstrak, dan begitu pula sebaliknya: hal-hal abstrak menjadi konkret. Sebagai misal, manusia yang seyogiyanya mempunyai volum dan memakan tempat, bisa termampatkan dalam kotak elektronik bernama televisi. Begitu pula, dalam keseharian hidup, kita takkan pernah menemui spon yang bisa berbicara lagi memasak makanan, tetapi di televisi itu menjadi mungkin: SpongeBob SquarePants. Dengan demikian, televisi adalah simulakra karena ia bisa merubah hal konkret menjadi abstrak, dan begitu juga sebaliknya. Contoh lain simulakra adalah (aplikasi) komputer, video game, kanvas, bahkan gelas berisi air. Sedangkan, apa yang dihasilkan simulakra adalah “simulasi”, yakni sesuatu yang bisa mendahului kenyataan atau melampaui kenyataan (hiperealitas): “Engkau tidak menangkap diriku, tetapi bayanganku”.

Lebih jauh, Jean Baudrillard menyatakan bahwa simulakra (simulasi) mengambil tiga bentuk, yakni; teks, peristiwa, dan citra visual. Contoh sederhana simulasi teks adalah berbagai metafora atau puisi-puisi yang berlagak hiperbolis: “Kekasihku, kau bagaikan cahaya rembulan”. Simulasi dalam wujud peristiwa dapat dimisalkan secara mudah lewat Disneyland. Karakter-karakter seperti Micky Mouse, Donald Duck, Goofy, dan lain-lain yang sekadar bisa kita temui di layar kaca, tiba-tiba betul-betul hadir secara nyata di hadapan kita. Contoh lain simulakra dalam wujud peristiwa adalah pelangi, fatamorgana, pun gelas berisi air yang dimasuki pensil sehingga tampak bengkok. Adapun simulasi dalam wujud citra atau visual adalah lukisan, foto, dan sejenisnya.

Bentuk simulasi yang disebutkan terakhir sesungguhnya sama halnya yang terjadi pada Bowo Mondardo dengan Tik Tok-nya, atau sama juga ketika kita melakukan selfie dengan beauty effects ‘efek kencantikan’. Bahkan dalam pandangan Baudrillard, apabila kita mengambil foto tanpa menggunakan berbagai efek sekalipun; itu juga sudah bisa disebut sebagai simulasi. Pada ranah berlainan, jika kita menggunakan perspektif psikoanalisis radikal Jacques Lacan; bahkan ketika kita menjumpai diri kita di cermin, sesungguhnya itu bukan diri kita, melainkan hanya “pantulan cahaya”; jika kita manyaksikan foto kita, itu sebetulnya juga bukan diri kita, tetapi “cahaya yang terperangkap”. Itulah mengapa Lacan—dan juga Michel Foucault—selalu mengingatkan dengan mengambil contoh citra pipa: “Itu bukan pipa, tetapi gambar pipa!”—Leci n’est pas une pipe!

[pic: flickr.com]

Dengan demikian, di era sekarang, sesungguhnya tak mengejutkan jika seseorang tampak lebih tampan dan cantik secara citra visual, tetapi tidak pada kenyataannya. Inilah konsekuensi logis hidup di era serba tersimulasi! Bowo dengan aplikasi Tik Tok-nya juga tak bisa disalahkan mengingat aplikasi itulah yang menyediakan efek untuk membuatnya lebih menarik. Dengan kata lain, aplikasi tersebut memberi kesempatan pada Bowo, juga diri kita, untuk mewujudkan citra fisik ideal sebagaimana diidamkan selama ini. Lalu, siapakah yang patut disalahkan? Mungkin tepatnya bukan disalahkan, tetapi dianggap aneh. Mereka adalah para fans bowo yang berharap diri Bowo sebagaimana citranya di Tik-Tok. Namun, ini pun masih bisa dimaklumi mengingat mereka—para fans Bowo—masih usia kanak yang dipenuhi fantasi otoriter. Persoalan menjadi lain apabila mereka adalah wanita dewasa atau tante-tante.

Bowo dan Ide Poskolonialisme
Hal lain yang kita temui dalam fenomena Bowo adalah berbagai komentar sumbang pasca dirinya yang asli, konkret, dan “tak tersimulasi” hadir secara nyata di hadapan khalayak. Banyak pihak mengatainya (maaf) jelek, hitam, dekil, pun lain sejenisnya, belum lagi ditambah meme-meme yang begitu menyudutkan dirinya. Serangkaian komentar tersebut sangatlah brutal dan juga tak kalah miris. Secara tak langsung, berbagai komentar itu justru menunjukkan betapa si pengomentar juga didera inferior complex karena mengukur kebagusan fisik berdasarkan komparasi di luar dunia keseharian mereka dan masyarakat mereka. Kasus termudah bisa kita temui dalam mitos kecantikan. Ide bahwa cantik itu haruslah berkulit putih, berhidung mancung, berambut lurus, langsing, tinggi, dan lain sebagainya; sebetulnya menunjukkan pemikiran yang terjajah—terbaratkan.

Sementara, konstruksi cantik dari masa ke masa selalu berubah. Cantik pada akhir tahun 1940-an adalah wanita yang bertubuh gempal. Cantik pada pertengahan dekade 1950-an adalah wanita yang berdandan dan berwajah layaknya barbie. Cantik pada tahun 1960-an adalah wanita yang bertubuh sangat kurus dan bisa menunjukkan kaki-kakinya yang ceking, pun seterusnya. Begitu juga, ukuran cantik bagi setiap masyarakat sebetulnya berbeda-beda. Ada yang mengukur kecantikan lewat panjang-pendeknya kuping, panjang-pendeknya leher, lebar-kecilnya bibir, dan lain sebagainya. Serangkaian hal di atas faktual juga berlaku bagi pria. Logika kapitalisme-lanjut lah yang membuat penyeragaman ihwal definisi menjadi “cantik” atau “tampan”, tepatnya cantik dan tampan menurut versi mereka. Logika ini ibarat “rasionalitas besar” yang menelan rasionalitas-rasionalitas kecil lainnya. Tak hanya sampai di situ, konstruksi ini pun dilanggengkan lewat berbagai perhelatan akbar seperti Miss Universe, Miss Indonesia, dan lain semacamnya. Lalu, siapakah yang diuntungkan lewat semua ini? Tak lain adalah industri kosmetik dan tempat-tempat perawatan kecantikan.

[pic: pegipegi.com]

Oleh karenanya, kita patut mengapresiasi berbagai film atau tayangan layar kaca seperti Moana, The Princess and The Frog, Coco, Tarzan Betawi, atau Super Dede. Mereka menampilkan lokalitas yang sesungguhnya, atau setidaknya, berusaha menampilkan kekhasan-kekhasan sebagaimana mestinya. Seorang wanita di Kepulauan Hawai memang selayaknya Moana yang berkulit gelap, berhidung pesek, bahkan bagusnya: ia juga berbadan gempal. Seorang anak lelaki Meksiko umumnya memang berpostur pendek, berhidung pesek, pun berkulit gelap seperti Coco. Sementara lewat Tarzan Betawi dan Super Dede, kita memperoleh penegasan bahwa mereka yang seharusnya menjadi tokoh utama tak harus tampan, berkulit cerah, berhidung mancung, berbadan atletis, dan serangkaian ukuran-ukuran “terbaratkan” lainnya—meskipun memang kedua tayangan ini lebih bergenre komedi. Di samping itu, terdapat pula film Life is Beautiful yang aktor utamanya merepresentasikan karakter fisik pria Italia pada umumnya.

Tegas dan jelasnya, seringkali tak disadari betapa diri kita masih terkolonisasi oleh ukuran-ukuran sepele yang bersifat xenosentris. Dikarenakan orang-orang kulit putih hadir dan tampil terlebih dahulu di media-media modern, maka tolak ukur kita tentang yang cantik dan tampan pun seperti mereka—inilah politik representasi yang sesungguhnya! Tentu lain cerita jika orang-orang kulit hitam yang tampil lebih dahulu. Pada era sekarang di mana dominasi Barat telah mulai tergerus, sudah sepatutnya kita turut mendukung ide-ide pascakolonial: bahwa yang baik dan bagus tidak selalu dari Barat!

*****

0 Comments:

Post a Comment