Simbiosis Mutualisme Lokal dan Pendatang di Bali


Simbiosis Mutualisme Lokal dan Pendatang di Bali
 
[Photo by Tamara Junor]

I Ketut Angga Wijaya*
Pegiat Sanglah Institute

“Susah ya gak ada orang Jawa..,”

Begitu kawan saya berujar saat hendak berangkat kerja. Dia bingung mencari penjual nasi yang pada hari-hari biasa mudah ditemui di pinggiran jalan Kota Denpasar.

Pada masa libur panjang Idul Fitri memang susah mencari pedagang kaki lima. Penyebabnya, para pedagang yang kebanyakan pendatang (baca: orang Jawa) pergi mudik ke kampung halaman merayakan hari besar agama Islam tersebut.

Biasanya seminggu atau dua minggu setelah Idul Fitri mereka akan balik ke Denpasar dan kembali bekerja sebagai pekerja nonformal. Misalnya pedagang kaki lima, buruh bangunan, pegawai salon dan spa, montir, pembantu rumah tangga, tukang cukur, bahkan pemulung dan tukang sampah. Sisanya bekerja di sektor pariwisata seperti karyawan hotel, supir, atau satpam.

Belum ada data pasti jumlah pendatang di Denpasar. Di sebuah portal berita yang saya baca saat puncak arus mudik Lebaran lalu, jumlah pemudik di Pelabuhan Gilimanuk yang meninggalkan Bali berjumlah 270 ribu orang.

Dari situ kita bisa tafsirkan besarnya jumlah penduduk pendatang di Bali. Persentasenya hampir 6 persen dari sekitar 4,2 juta penduduk Bali. Lebih dari 31 persen dari sekitar 840.000 penduduk Denpasar termasuk yang berasal dari berbagai kabupaten di Bali.

Jumlah pendatang yang menetap di Denpasar tak ayal membuat Denpasar menjadi sepi saat ditinggal mudik ketika Lebaran tiba. Ruas-ruas jalan menjadi lengang, warung-warung makan dan toko-toko tutup.

Di saat seperti ini Denpasar menunjukkan wajah aslinya sebagai kota urban seperti halnya Jakarta, tujuan urbanisasi yang sebagian besar penduduknya bukan warga asli melainkan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia.

Saya tak hendak menulis tentang relasi penduduk lokal maupun pendatang yang kerap dianggap sebagai ancaman bagi warga lokal. Saya ingin menulis tentang relasi antara penduduk lokal dan pendatang yang “mesra” dan harmonis yang sejatinya sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Ini terbukti dengan adanya kantong-kantong penduduk muslim yang kita temui di beberapa daerah di Bali seperti di Karangasem, Buleleng, dan Jembrana jauh sebelum para pendatang dari Jawa yang merantau dan menetap di Bali belasan tahun belakangan.

Cerita kawan saya di awal tulisan ini menunjukkan tergantungnya warga lokal terhadap pendatang. Sebab, sektor-sektor nonformal memang kebanyakan dikuasai oleh pendatang.

Bukan berarti warga lokal tak ada yang berkecimpung di sektor nonformal seperti pedagang kaki lima. Ada, tetapi tak sebanyak warga pendatang. Wacana warga pendatang yang disebut sebagai “ancaman” terhadap warga lokal hendaknya disikapi dengan arif agar tidak terjebak pada isu rasial.

Saya melihat relasi warga lokal dan pendatang ibarat simbiosis mutualisme, saling membutuhkan dan menguntungkan. Bidang pekerjaan yang tak banyak dikuasai oleh warga lokal diambil alih oleh warga pendatang.

Jika memang tak ingin dikuasai warga pendatang, ada baiknya warga lokal mulai mengisi sektor-sektor nonformal dan membuang jauh rasa “gengsi” yang sering menjadi penghambat kemajuan. Ekonomi Denpasar yang seakan lumpuh selama liburan Idul Fitri menjadi penanda bahwa warga pendatang berperan besar dalam perputaran ekonomi di Kota Denpasar.

Beberapa tahun terakhir ada wacana yang dicetuskan oleh seorang senator asal Bali yakni tentang pemberdayaan ekonomi orang Bali dengan memberi label “sukla” untuk warung milik orang Bali. Label ini artinya bersih dan suci baik dari segi kebersihan maupun cara penyajian makanan.

Seorang teman dalam status FB-nya mempertanyakan istilah “sukla” ini. “Bukankah istilah sukla hanya untuk makanan atau persembahan kepada para Bhatara atau Dewa?” begitu tulis teman saya.

Kini di beberapa ruas Kota Denpasar kita temui warung berlabel agama, warung Hindu, sebagai penanda bahwa warung tersebut adalah milik orang Bali dan beragama Hindu.

Di sebuah buku yang saya baca di masa lalu saat Presiden Soekarno berkunjung ke India, ia heran melihat warung atau toko berlabel agama seperti warung Muslim atau Hindu. Saat itu di Indonesia tak ada warung seperti itu. Namun kini di negeri kita warung berlabel agama mudah kita jumpai. Kita menjadi begitu berbeda dan tersekat bahkan dalam urusan makan.

Jika ingin memberdayakan orang Bali, menurut saya tak perlu membuat gerakan berbau rasial. Orang Bali mesti mau mengisi sektor nonformal yang selama ini diisi warga pendatang tanpa harus menciptakan label-label yang menjauhkan kita dari semangat keberagaman.

Pendidikan juga harus diperhatikan, akan sangat bagus jika banyak pemuda dan pemudi Bali mengenyam universitas baik di Bali maupun di luar Bali. Jika lapangan pekerjaan di Bali dirasa sedikit ada baiknya merantau ke luar daerah, juga sekaligus untuk mengasah diri dan mencari pengalaman baru.

Dengan demikian tak ada lagi yang merasa bahwa warga pendatang adalah ancaman bagi warga lokal, sebuah sentimen yang bisa memicu perpecahan dan dijadikan komoditas politik untuk meraih kekuasaan.




* Penyair dan wartawan, tinggal di Denpasar.

0 Comments:

Post a Comment