Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre: Penajisan Orang Lain sebagai NERAKA

Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre:
Penajisan Orang Lain sebagai NERAKA
 
[pic: flickr.com]

Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Praktisi Spiritual

“Aku harus melampaui orang lain; atau orang lain melampaui diriku.”
[J.P Sartre]

Humanisme memiliki sejarah panjang dalam catatan peradaban manusia, humanisme Barat misalkan, dimulai (baca: dilatarbelakangi) oleh kekuasaan kanonisasi lembaga gereja Abad Pertengahan yang bersifat inkuisitif, kemudian terjadinya peristiwa Renaissance ‘Pencerahan Eropa’, Perang Dunia I-II, dan seterusnya. Sejalan dengan berbagai peristiwa yang menyertainya, begitupun pemikiran mengenai humanisme yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Secara sederhana, kita bisa mendefinisikan “humanisme” sebagai aliran atau paham yang menempatkan manusia atau kemanusiaan di atas segala-galanya. Pengertian ini berarti penempatan manusia lain sebagai subyek layaknya diri kita, bukannya obyek. Tindakan apa yang ingin kita terima dari orang lain, sama seperti bagaimana seharusnya kita bertindak untuk orang lain. Pada awalnya, pemikiran humanisme kental dijiwai oleh prinsip-prinsip egalitarian, namun kemudian berkembang pemikiran yang menolak kesetaraan itu, semisal dari Emmanuel Levinas dan Jean-Paul Sartre.

Apabila Levinas beranggapan humanisme harus dibangun lewat memposisikan orang lain di atas diri kita, sebaliknya dengan Sartre yang menyatakan humanisme justru harus dibangun dengan memposisikan orang lain di bawah diri kita. Pemikiran Sartre tersebut kiranya menarik untuk diulas lebih jauh. Pemoposisian orang lain sebagai “yang di bawah” didasari oleh keyakinan Sartre bahwa pertemuan setiap manusia selalu menemui bentuknya sebagai konflik; homo homini lupus ‘manusia adalah serigala bagi sesamanya’—manusia makan manusia. Seolah, hanya tersisa dua pilihan dalam setiap pertemuan itu: menindak ataukah ditindak. “Menindak” berarti mempertahankan diri sebagai subyek, sedangkan “ditindak” artinya merelakan diri menjadi obyek yang pasrah.


[pic: youtube.com]

Mungkin kita pernah melihat dua orang saling berkomunikasi di mana salah satunya begitu dominan, sedangkan satu yang lain sekadar menjadi pendengar pasif. Ia yang begitu dominan dalam percakapan itu sesungguhnya berada dalam mode menindak, sedangkan si pendengar pasif tengah ditindak. Contoh lain adalah saat pengawal Mussolini mengajukan pertanyaan: “Tuan Mussolini, bagaimana bisa Tuan berbicara lancar di hadapan ribuan rakyat Italia?”. Jawab Mussolini: “Mereka hanyalah domba-domba”. Kita juga dapat memisalkan relasi yang terjalin antara dosen dengan para mahasiswa di kelas. Sang dosen haruslah terus berada dalam mode menindak agar tetap bisa berbicara lancar di depan kelas, karena apabila ia telah ditindak oleh para mahasiswanya: apa yang bisa ia lakukan kemudian hanyalah diam.

Momen eksistensial proses menindak dan ditindak ini tidaklah selalu bersifat verbal dan konkret, melainkan juga simbolis. Dalam pemikirannya tentang filsafat mata (le regard), Sartre menyebut musuh besar kemanusiaan yang seringkali tak disadari manusia adalah tatapan mata yang menusuk. Ia menyebut tatapan mata orang lain ibarat lubang kecil yang menyedot dunia dan seluruh isinya: “Ada pendarahan internal ketika duniaku disedot oleh orang lain!”, pungkasnya. Tatapan mata orang lain membuat kita tak bebas, terobyekkan, dan menjadikan kita tak lebih sebagai sebuah “benda”. Inilah mengapa, seseorang bisa merasa nervous kala berbicara dengan orang lain atau di hadapan orang banyak; tak lain dikarenakan tatapan mata mereka yang membendakan.

[pic: Talal Nayer]

Lebih jauh, kita juga bisa memisalkan seorang ibu yang sedang melototi anaknya. Mata melotot sang ibu sesungguhnya menyiratkan pada sang anak untuk menilai dirinya sendiri. Sama seperti saat kita berada di kerumunan dan tatapan mata orang-orang tertuju pada kita. Tatapan tersebut seolah berupaya menemukan “keanehan” pada diri kita, meminta kita untuk menilai diri sendiri, yakni betapa menjijikkannya diri kita. Pada momen-momen itulah kita mengalami
nausea, yakni perasaan muak, mual; sebentuk muntah-muntahan, sejenis jeli lengket yang menjijikkan. Tegas dan jelasnya, tatapan mata orang lain membuat kita berada “di luar kemungkinan-kemungkinan diri”, dan ini menimbulkan perasaan terancam berikut tak aman—karena kita telah menjadi sebuah benda. Itulah mengapa, Sartre berkata, “Orang lain adalah sebab kejatuhanku”, bahkan lebih jauh ia menegaskan: “Orang lain adalah neraka!”.

“Jadi, inilah neraka. Aku tidak pernah mengira begini. Ingatkah apa yang diceritakan pada kita tentang macam-macam siksaan di sini? Cerita nenek-nenek. Buat apa besi tajam yang merah menyala? Tidak perlu sama sekali. Neraka adalah orang lain.” (Sartre, No Exit)

Namun demikian, “mata yang mengancam” ini tidaklah harus selalu mata biologis manusia. Itu bisa juga mewujud lewat korden jendela yang tak tertutup sepenuhnya sehingga kita merasa diintip atau diawasi, saklar rumah yang menyerupai mata, motif tembok seperti mata, dan yang lainnya. Lebih jauh, di balik proses menindak dan ditindak lewat tatapan mata tersebut, terdapat permainan kesadaran pour soi ‘berada bagi dirinya’ (manusia) yang hendak menjadikan pour soi lain sebagai en soi ‘berada dalam dirinya’ (benda). Dengan demikian, pertemuan antarmanusia sesungguhnya juga adalah pertarungan antar-Kesadaran. Bahkan dalam posisi subordinat secara fisik sekalipun, semisal seorang lelaki kekar yang mengikat dan menyumpal mulut seorang wanita lemah. Asalkan wanita itu tetap bisa melancarkan tatapan mata yang menusuk pada si lelaki: ia menang. Si lelaki akan dihantui perasaan bersalah seumur hidupnya akibat tatapan membendakan yang membuatnya harus menilai dirinya sendiri—betapa menjijikkan perbuatan dirinya.

[pic: pinterest.co.uk]

Melalui berbagai paparan singkat di atas, dapatlah dikatakan humanisme eksistensial Jean-Paul Sartre begitu unik. Humanisme yang berupaya memenangkan diri sendiri atas orang lain. Dengan kata lain, penghargaan terhadap kemanusiaan barulah terwujud ketika penyelamatan terhadap diri dilakukan, bukannya pada orang lain. Oleh karenanya, orasi ilmiah Sartre yang terhimpun dalam buku pamflet Existentialism is Humanism (Eksistensialime adalah Humanisme) menjadi sangat kontroversial. Ia mendaku eksistensialisme sebagai humanisme, hanya saja mengambil cara dan bentuk berlainan. Bagaimanapun juga, ide-ide Sartre telah memberi sumbangsih bagi perkembangan pemikiran humanisme.

Yang lain selalu bersembunyi, mengintip, dan menanti kelengahan kita
Yang lain selalu mencari cara dan kesempatan untuk menjatuhkan kita
Yang lain menghendaki ketiadaan kita...

[pic: domestika.org]

*****

3 comments:

  1. Terbaik..!
    Saya suka isi dalam artikel ini, penyampaiannya mudah dipahami.
    Tapi Pak saya mau tanya, apakah Eksistensialisme Sartre ini hanya persoalan tentang cara pandang orang terhadap kita?

    ReplyDelete
  2. Hi great readiing your post

    ReplyDelete