(Mencari) Titik Temu Quentin Meillassoux dengan Emmanuel Levinas


(Mencari) Titik Temu Quentin Meillassoux dengan Emmanuel Levinas



Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

Tulisan ini didedikasikan untuk Jean Couteau...

Para filsuf sebelum Immanuel Kant disibukkan oleh upaya memahami hakikat segala sesuatu. Mereka berusaha menalar Tuhan, hakikat penciptaan semesta, kehidupan setelah mati, surga dan neraka, berikut terma-terma sejenis lain sehingga pengkajian mereka sangatlah bercorak metafisik. Secara ringkas, mereka berusaha memahami Yang Absolut, Yang Universal, serta Yang Obyektif atau Yang Sejati. Dari sini, Kant hadir dengan Critique of Pure Reason-nya dan mengandaikan penyelidikan semacam itu sebagai aktivitas sia-sia, bahkan ia menyebut para filsuf yang melakukan penyelidikan ini terjebak pada “dogmatisme”. Dogmatisme adalah usaha atau jalan yang dipakai rasio murni tanpa terlebih dahulu mengkritiknya. Dalam arti, sebelum rasio itu didayagunakan, ia tak lebih dahulu dievaluasi mampu-tidaknya bagi usaha-usaha penyelidikan semacam itu.

Segera setelahnya, proyek filsafat pasca-Kant seolah difokuskan pada usaha untuk membabat habis metafisika. Muncullah apa yang kemudian disebut sebagai “filsafat kontinental”. Filsafat kontinental bertumpu pada manusia dan realitas (obyek) untuk menghasilkan terma ketiga, yakni “perbedaan”. Dengan kata lain, thinking yang bertemu being akan menghasilkan differance. Pemikiran ini ditunjukkan secara jelas oleh aliran hermeunetik, fenomenologi, eksistensialisme, semiotik, kritik, dan posmodern. Secara langsung, berbagai aliran ini mempertegas antroposentrisme, atau yang oleh Martin Heidegger diistilahkan dengan “ontoantropologi” di mana manusia menjadi homo mensura atau “tolak ukur atas segala sesuatu”—dalam kasus posmodern: meskipun posmodern membunuh subyektivitas, namun subyektivitas itu hadir melalui wujud yang lain. Dalam atmosfer epistemologi kontinental, subyektivitas memperoleh tempatnya, bahkan diradikalkan. Kabar buruknya, seolah setiap orang mampu berfilsafat tanpa harus terlebih dahulu berkuliah di Fakultas Filsafat. Sejauh ditemui subyektivitas dan obyek (realitas), maka berbagai persepsi pun dapat tercipta. Inilah mengapa, filsafat kontinental juga didaulat sebagai bentuk “perayaan terhadap perbedaan”; relativisme, pluralisme, multikulturalisme, jenis kelamin ketiga, dan lain semacamnya. Lebih jauh, di tangan kontinentalisme, obyektivitas menjadi sesuatu yang lucu dan ditertawakan, absolutisme serta universalitas dianggap sebagai hal yang konyol dan absurd.

Di tengah hiruk-pikuk perayaan ini, hadirlah sosok Quentin Meillassoux yang berusaha membubarkan pesta. Hal serupa telah dilakukan sebelumnya oleh Alain Badiou dan Francois Laruelle, namun apa yang dilakukan Meillassoux seakan lebih “menggigit” dikarenakan ia membangun sebuah gerakan yang disebut “realisme spekulatif”. Realisme spekulatif tak bisa disamakan begitu saja dengan “realisme klasik” (realisme tradisional). Apabila realisme klasik meyakini keberadaan being-being di luar manusia yang bersifat independen, maka realisme spekulatif meyakini being-being itu ada dan hanya ada sejauh ia independen dari manusia. Sekilas pernyataan ini terlihat sama, namun sesungguhnya sangat berbeda. Ambilah misal dua pernyataan; (1) Terdapat kursi yang tak menghiraukan kemampuan manusia untuk bisa memahaminya (si kursi), (2) Kursi itu hanya akan ada sejauh ia melampaui pemahaman kita mengenainya. Dalam hal ini, pernyataan pertama adalah argumen realisme klasik, sedangkan pernyataan kedua adalah argumen realisme spekulatif.

Quentin Meillassoux [vimeo.com]

Tak cukup seperti halnya realisme klasik yang mengakui keberadaan being-being lain yang terpisah dan berdiri sendiri di luar manusia, bagi realisme spekulatif, being-being tersebut haruslah terbebas dari persepsi dan pikiran manusia. Inilah mengapa, proyek filsafat Meillassoux adalah usaha mencari Yang Absolut, serta kemungkinan mengaksesnya, sebagaimana proyek-proyek filsafat sebelum Kant. Dalam karya terpentingnya berjudul After Finitude (Setelah Keterhinggaan), Meillassoux menegaskan mungkinnya keberadaan realitas yang sama sekali terbebas dari pengetahuan manusia, atau dengan kata lain, realitas itu ada, tetapi tidak terjamah manusia, bahkan sama sekali tak terpikirkan oleh manusia—unknown. Implikasi dari entitas yang tak terpikirkan ini dengan demikian, terbebas dari epistemologi dan bahasa manusia, atau bisa juga dikatakan: Meillassoux ingin berfisafat tentang sesuatu yang tak pernah ada!

Dalam After Finitude, Meillassoux juga mengkritik pemikiran filsafat kontinental, ia merangkum format filsafat dari era Kant hingga sekarang (Slavoj Zizek) dengan sebutan “korelasionisme”. Korelasionisme adalah cara berpikir yang selalu mengorelasikan antara thinking ‘pemikiran’ dengan being ‘ada’, sehingga dari korelat keduanya muncul co- (ko-) ‘kolaborasi’, yakni suatu “kehadiran bersama” sebagai terma ketiga. Konsep kehadiran bersama ini mengandaikan posisi being atau obyek di luar manusia yang tak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu hadir bersama (pikiran) manusia. Format filsafat ini telah jauh hari memperoleh momentum lewat diktum cartesian di mana obyek-obyek atau realitas harus menyesuaikan dengan pikiran manusia, dan bukan sebaliknya: pikiran manusia yang harus menyesuaikan dengan obyek-obyek. Obyek hanya akan ada dan dianggap ada sejauh subyek berpikir tentangnya—prinsip intensionalitas: consciousness is always consciousness of something. Dengan demikian, being-being di luar manusia sangat tergantung pada manusia akan eksistensinya. Dari sini, Meillassoux beranggapan seolah manusia menafikkan hal-hal di luar dirinya hanya karena hal-hal itu tidak ada dalam pikirannya atau “dianggap tidak ada”.

Pertanyaannya, lewat apakah Yang Absolut itu bisa diakses? Meillassoux, sama seperti halnya Badiou, menganggap matematika sebagai kemungkinan yang bisa mengaksesnya, sebagai realitas obyektif yang berada di luar manusia, dan memiliki operasinya sendiri. Pada awalnya, saya membayangkan operasi matematika yang bersifat obyektif dan di luar manusia ini ibarat mesin (komputer) Alan Turing yang mampu memecahkan kode mesin enigma Nazi. Namun saya kembali berpikir, meskipun operasi mesin Turing itu di luar kemampuan manusia, namun mau tak mau ia tetap bersentuhan dengan manusia—dalam perspektif manusia—karena diciptakan oleh manusia. Terlebih lagi, sulit mengandaikan angka-angka sebagai sesuatu yang independen, yang ada, keberadaan mereka justru menunjukkan ketertundukkannya terhadap manusia, ia (angka) menjelma menjadi tanda dan simbol sebagai medium manusia mengetahui segala sesuatu. Ini seperti argumen pos-Fenomenologi Don Ihde di mana kita mengetahui segala sesuatu lewat hal-hal yang memerantarai. Sebagai misal, betapa seringnya kita mengukur panas dengan ukuran sekian (angka) celcius atau fahrenheit. Dengan begitu, sesungguhnya kita tak sedang merasakan panas itu sendiri, melainkan sedang mengonversinya. Problem pun muncul ketika angka-angka yang tersaji tak sesuai atau tak sebagaimana “panas” yang kita rasakan—artinya sistem perantara ini rusak dan tak bisa dipercaya. Lebih jauh, jawaban Meillassoux mengenai matematika sebagai kemungkinan untuk mengakses Yang Absolut memang masih terus diperdebatkan hingga kini.

Diskusi imajiner:

“Apakah Yang Absolut itu Tuhan?”. “Tidak, tidak dalam pandangan realisme spekulatif. Karena toh’ buktinya Tuhan ada dalam persepsi manusia”. “Apakah Yang Absolut itu alien?”. “Mungkin, mungkin. Eh, tidak, tidak! Kalaupun makhluk luar angkasa ada dan memiliki kehidupannya sendiri, juga jika mereka mempunyai pengetahuan tentang kita yang melampaui diri kita sendiri, mereka tetap sudah berada dalam persepsi kita. Ini tak sesuai dengan dalil realisme spekulatif!”. “Lalu, apakah Yang Absolut itu?”. “Yang Absolut, ya Yang Absolut, yang tak terjamah kita, yang kita tak mempunyai pengetahuan apa pun tentangnya”. “Jadi, kamu mengajakku berfilsafat tentang sesuatu yang kita pun tak mungkin mengetahuinya, yang kita pun bahkan tak pernah memikirkannya?”. “Iya, seperti itu!”. “Bagaimana bisa?”. “Bisa. Sejauh itu via-Negativa. Tentang itu tapi juga bukan tentang itu. Tentang yang kita pikirkan tapi yang sebetulnya juga tak bisa kita pikirkan”. “Gendeng!”.

Terlepas dari solusi matematika yang ditawarkan Meillassoux yang juga masih terkesan absurd; pemikiran Meillassoux mengenai Yang Absolut kiranya menarik untuk dibandingkan dengan pemikiran Emmanuel Levinas dengan tema serupa, meskipun memang, pemikiran Levinas terkategori ke dalam aliran filsafat kontinental yang sangat korelatif dan bertentangan dengan proyek realisme spekulatif. Levinas terkenal dengan filsafat altruisme-nya. Bertitik tolak dari “fenomenologi wajah” atau filsafat wajah manusia sebagai epifani dan jejak yang tak terbatas, ia membangun pemikiran etikanya sehingga melahirkan kata-kata yang sangat seksi: “Etika mendahului filsafat”. Di sini, Levinas tak mau “menyandarkan” etika pada sesuatu, melainkan setiap manusia itulah yang harus menjadi subyek etika. Mengapa? Karena apabila etika itu disandarkan, manusia menjadi tak bertanggung jawab, atau, ia hanya bertanggung jawab sejauh pada etika tempatnya bersandar, di luar itu, ia bisa menjadi beringas. Hal ini bisa kita contohkan secara mudah lewat konsep biopolitik Michel Foucault: “Anda tidak mencuri karena Anda tahu mencuri itu tindakan tercela, atau karena Anda takut dipenjara?”, begitu juga: “Anda tidak membunuh orang yang sangat Anda benci karena tahu itu tindakan biadab, atau karena Anda takut dipenjara?”. Apabila bangunan etika tempat seseorang bersandar itu runtuh, maka ia pun bisa bertindak beringas.

Bagi Levinas, pengorbanan terhadap manusia lain—kehadiran wajah yang selalu menuntut kita untuk bertanggung jawab—adalah sebuah keharusan. Levinas berusaha menciptakan “orang ketiga” dalam hubungan dua orang untuk menjelaskan pemikirannya ini, yaitu dengan cara kita memposisikan diri sebagai orang ketiga tersebut tanpa kehilangan diri kita yang asli, dengan begitu, orang ketiga yang dimaksud lebih tampak seperti “bayangan akan diri yang lain”, atau bahkan “percontohan seluruh umat manusia di mana kita berada di dalamnya”. Sekilas, hal ini memiripkan bentuknya dengan imperatif kategoris Kant: “Bertindaklah sehingga maksim tindakanmu diterima oleh seluruh dunia”, atau seperti golden rules of religions yang mempertemukan kesamaan kata-kata Yesus, Muhammad, Confusius, dan Sidharta Gautama, yakni untuk berlaku kepada manusia lain sebagaimana kita ingin memperoleh laku serupa dari manusia lain. Namun Levinas menolak imperatif ini, ia bersikeras menempatkan etikanya pada sesuatu “Yang Lebih Tinggi” atau “Yang Tertinggi”, tak sama atau tak setara dengan yang lainnya.

Emmanuel Levinas [lsfcogito.org]

Terkait hal di atas, Levinas berucap, “Jika kebaikan telah ditentukan ‘Tuhan’, maka tak ada jalan lain bagi manusia selain berbuat baik”. Sebetulnya, Levinas menggunakan istilah “Tuhan” secara metaforis, yakni untuk merepresentasikan perihal Yang Lebih Tinggi, maka Tuhan yang dimaksud adalah entitas yang memang bisa membuat kita tunduk dan patuh atas sesuatu. Sebagai misal, etika Levinas yang dibangun berdasarkan perjumpaan antarwajah manusia didaulatnya sebagai perjumpaan dengan Tuhan mengingat dimensi metafisik wajah manusia sebagai jejak tak terbatas. Maka, kita bisa menempatkan Yang Lebih Tinggi atau Yang Tertinggi sebagai Yang Absolut. Tapi pertanyaannya, apabila kita terus menempatkan Yang Lain (The Other) sebagai Yang Lebih Tinggi, lalu kapan Yang Lain akan menempatkan kita dalam posisi Yang Lebih Tinggi? Di sini, Levinas seolah tampak kehabisan kata-kata untuk menjelaskan, dan memang, bagi banyak pemikir lain, Levinas seakan hendak berfilsafat dengan bahasa yang belum ada, yakni ketika ia berupaya menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan Yang Lebih Tinggi.

Pertanyaan pun kembali muncul ketika kita ditantang untuk menyusun batasan pengorbanan terhadap orang lain. Apakah yang lebih tua harus selalu berkorban untuk yang lebih muda? Bagaimana jika yang lebih muda berposisi mendapatkan tempat duduk di bus, sedangkan seorang tua renta telah berdiri selama berjam-jam. Apakah yang lebih muda harus selalu berkorban untuk yang lebih tua? Bagaimana jika yang lebih muda nyawanya sedang terancam, dan hanya bisa diselamatkan dengan mengorbankan nyawa yang lebih tua. Pun, apakah yang sesama usia harus berkorban dengan yang sesama usia? Ukuran-ukuran seperti apa yang membuat salah satu pihak pantas dikorbankan untuk pihak lainnya? Apakah nyawa seorang Einstein pantas ditebus dengan seratus atau seribu nyawa manusia tak berpendidikan. Hal ini belum lagi ditambah atribusi-atribusi sosial yang seolah menempatkan seorang manusia lebih tinggi dibandingkan manusia lain dalam strata sosial. Mengapa nyawa seorang presiden jauh lebih berharga daripada nyawa para pengawalnya? Tidak bisakah justru presiden berkorban nyawa untuk para pengawalnya? Levinas tak mampu menjawab ini, tepatnya, ia tak mampu menjawab dengan bahasa manusia, itulah mengapa, ia seolah hendak berfilsafat dengan bahasa yang belum ada. Yang Lebih Tinggi adalah Yang Absolut, yang kita takkan pernah tahu apa itu; Yang Tak Terjamah, Yang Tak Terkatakan, yang kita hanya bisa mengikuti dan mengimaninya. Di sini realisme spekulatif Meillassoux seakan bertemu dengan altruisme Levinas.


*****


Bacaan pengantar lanjutan;
Hardiman, F. Budi, 2009, Kritik Ideologi, Kanisius.
Hardiyanta, Petrus Sunu, 1997, Michel Foucault: Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern, LKiS.
Hartanto, Budi, 2013, Dunia Pasca-Manusia: Menjelajahi Tema-tema Kontemporer Filsafat Teknologi, Kepik.
Nugroho, Wahyu Budi, 2013, Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar.
O’Donnel, Kevin, 2009, Posmodernisme, Kanisius.
Polimpung, Hizkia Yosie, 2017, Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux, Aurora.
Tjaya, Thomas Hidya, 2012, Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, Gramedia.



0 Comments:

Post a Comment