Young Lex adalah Seorang Sartrean

Young Lex adalah Seorang Sartrean


Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Sosiolog Universitas Udayana

Tulisan ini terinspirasi dari esai Andina Dwifatma berjudul Meggy Z. adalah Seorang Nietzschean. Esai Dwifatma mengingatkan (baca: memaksa) saya untuk menulis hal serupa, meskipun memang sebelumnya, sudah cukup banyak tulisan semacam ini yang saya posting di blog Kolom Sosiologi.

Baik, langsung saja, kenapa sosok Young Lex bisa dikatakan sebagai seorang sartrean? Tentu kita semua tahu Jean-Paul Sartre—bagi mereka yang memang mengetahuinya—ia adalah salah seorang tokoh terpenting filsafat eksistensialisme dengan beberapa pernyataannya yang terkenal, antara lain; “Neraka adalah orang lain!”—dalam buku saya menjadi: “Orang lain adalah neraka” (Pustaka Pelajar, 2013) untuk menyesuaikan dengan tata kebahasaan lokal—“Orang lain adalah sebab kejatuhanku!”, “Manusia dikutuk untuk bebas!”, serta “Manusia itu bebas, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri”. Mungkin dari sini, sudah sedikit terendus bagaimana sartreannya seorang Young Lex.

Pertama, apakah Young Lex mempelajari filsafat eksistensialisme? Saya pikir tidak, sementara bintang bokep Sasha Grey jelas mempelajarinya secara serius. Sebetulnya, untuk menjadi seorang sartrean atau eksistensialis, tak harus mempelajari filsafat eksistensialisme secara intensif, apalagi membaca beribu-ribu lembar karya kanon para eksistensialis. Hal ini sebagaimana dikemukakan Sartre: “Cukup Anda pernah merasa ‘malu’, Anda telah menjadi seorang eksistensialis”. Mengapa rasa malu? Karena menurutnya, rasa malu membuat kita memiliki hubungan intim dengan diri sendiri, atau dengan kata lain, kita menemukan kedirian kita. Dengan begitu, hampir dipastikan jika setiap orang setidaknya pernah menjadi eksistensialis.

Gambar 1. Sasha Grey dengan buku tentang para tokoh filsafat eksistensialisme.
[theawl.com]

Keintiman dengan diri ini bisa lebih jauh ditafsirkan sebagai “keyakinan keberadaan diri”, “keyakinan kemampuan diri”, tapi untuk apa? Tentu: untuk menindak dunia. “Kesadaran adalah spontanitas impersonal yang lahir melalui ex-Nihilo!”, ucap Sartre. Ini artinya, kesadaran lahir dari kekosongan, yakni ketika diri kita ditemui. Ketika kita mengatakan, “Aku sadar akan diriku”, terdapat dua “aku” di situ, antara “aku pertama” dengan “aku kedua” terdapat kekosongan, celah, yang menuntut untuk diisi. Dari situlah gerakan “menindak dunia” dimulai, seperti dikatakan Sartre, sekadar terbentang dua pilihan bagi kita: menindak dunia ataukah ditindak dunia.

Young Lex, dengan segala kualitas yang ada pada dirinya, cenderung menjadi sosok yang menindak dunia. Dari segi penampilan, Young Lex menerabas konstruksi streotipe masyarakat umum. Ia menato hampir seluruh bagian tubuhnya, ini juga mengindikasikan penguasaan penuh Young Lex terhadap tubuhnya—seperti filosofi tato pada anak punk. Ia tak peduli perkataan orang, karena memang seakan baginya orang lain adalah neraka, maka untuk menghindari neraka itu, ia wajib tak menghiraukannya, menganggapnya tak ada. Consciousness is always consciousness of something ‘kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu’, bunyi salah satu prinsip kesadaran eksistensial, dengan begitu, sesuatu barulah ada ketika kita menaruh perhatian padanya; dan begitu pula sebaliknya.

Gambar 2. Sekujur tubuh Young Lex yang dipenuhi tato.
[cumicumi.com]

Prinsip-prinsip menindak dunia eksistensialisme Sartre juga tertuang jelas dalam lirik lagu BAD yang dibuat Young Lex bersama Awkarin. Semisal sebagai berikut;

Mereka bilang diriku tak berguna
tapi sejak remaja
ku tak pernah meminta
biaya untuk bergaya
bukan duit dari orangtua
Lulus sekolah tak mau manja
kukerja tuk biaya kuliah

Seorang sartrean takkan rela jika dirinya dinilai (baca: dikerangka) orang lain. Dalam lirik di atas, tampak jelas jika Young Lex—dan Awkarin—menolak pelabelan orang lain sebagai “diri yang tak berguna” karena toh mereka hidup mandiri dan tak merepotkan orang lain. Seorang sartrean menyadari betul eksistensi orang lain sebagai pour soi, yakni entitas berkesadaran yang bisa mengobyekkan orang lain sehingga membuat orang yang dilabelkan menjadi en soi atau “benda yang tak berkesadaran”—other is looking and judging. Young Lex jelas menolak pengobyekkan tersebut, atau dengan kata lain, menolak dirinya didefinisikan oleh orang lain, ia sepenuhnya mendefinisikan dirinya sendiri.

2011 mereka bertanya
nanti besar elo itu mau jadi apa
Mereka mengejek, mereka mencela
ini anak nakal, masa depan nggak ada
Memang sekarang aku tak bekerja
bisnisku lebih dari mereka

“Masa depanku masih perawan, segala sesuatu masih mungkin terjadi padaku”, demikian ucap Sartre. Apa yang dimaksudkan Sartre adalah, masa depan sesungguhnya lebih menakutkan daripada masa lalu. Mengapa? Masa lalu sudah terjadi, hanya tinggal dimaknai atau dimanipulasi. Sementara, berjanjilah pada diri: di masa mendatang hendak menjadi apa, dan ketakutan terbesar adalah ketika kita tak mampu memenuhi janji itu. Tetapi di sini, Sartre juga menegaskan metafisika kehadiran individu di masa mendatang sebagai “yang tak terduga-duga”, yakni masa depan yang masih perawan, dan segala sesuatu yang masih mungkin terjadi. Lirik Young Lex di atas menegaskan keyakinan pada masa depan dengan berbagai kemungkinannya, dan ia mempercayai kemungkinan yang diyakininya, bukan mempercayai kemungkinan orang lain yang disematkan padanya.

Gue cuma pengen tetep jadi apa adanya
daripada disukai tapi munafik aslinya

Lirik ini menegaskan kesanggupan Young Lex untuk menanggung eksistensinya: “Once man thrown into the world, he is responsible for everything he does” [“Sekali manusia terlempar ke dunia, ia bertanggung jawab atas segala yang diperbuatnya”]. Ia tahu, dengan menjadi dirinya sendiri, ia beresiko untuk tak disukai, tetapi ia menerimanya. Hal ini juga sebagaimana ungkap Sartre yang lain: “I am absoluetly free, and absolutely responsible for my situation” [“Aku sepenuhnya bebas, dan sepenuhnya bertanggung jawab atas situasiku”]. Di sisi lain, penggalan lirik di atas juga menegaskan keberanian Young Lex menggunakan nilai dan normanya sendiri, bukan nilai dan norma orang lain atau masyarakat: “We are our choices” [“Kita adalah apa yang kita pilih”], ucap Sartre. Dengan begitu, Young Lex adalah individu yang otentik, bukannya individu dengan mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’ (...yang menipu diri). Terakhir, lirik dahsyat di bawah ini, yang mungkin juga menjadi penggalan lirik paling terkenal dalam lagu BAD...,

Bila kau tak pernah buat dosa
silahkan hinaku sepuasnya
Kalian semua suci aku penuh dosa.

Apa yang terkandung dalam lirik ini adalah penegasan total Young Lex untuk terpisah dari masyarakat, terutama kalimat “Kalian semua suci aku penuh dosa”. Ia menarik batas yang jelas antara dirinya dengan masyarakat, yakni ia yang penuh dosa, sedangkan masyarakat yang suci. Young Lex tak mau berdiri di atas hitam-putih (abu-abu), ia tak mau “tak bebas” atau “setengah bebas”, ia ingin sepenuhnya bebas!—bebas untuk dihina, bebas untuk penuh dosa. Dengan kata lain, ia meyakini jika “tak ada kondisi yang tak manusiawi” seperti ucap Sartre. Setiap kondisi adalah manusiawi karena manusia sendirilah yang membuatnya, atau setidaknya, berpersepsi tentangnya. Di sini, kata-kata Sartre akan jati diri Young Lex sebagai seorang sartrean pun dapat kembali dikonfirmasi: “Everything has been figured out, except how to live” [“Segala sesuatu telah ditetapkan/ditentukan, kecuali cara untuk hidup”]. Artinya, Young Lex memahami kebebasan dirinya untuk memilih menjadi seorang suci ataukah pendosa, dan lewat pilihan bebasnya: ia memilih menjadi pendosa—karena menjadi orang yang suci bukanlah suatu kewajiban baginya—to be is to do ‘mengada adalah menjadi’.

Selanjutnya, kita akan melihat kalimat-kalimat “angkuh” dari Young Lex yang kian menguatkan dirinya sebagai seorang sartrean. Semisal di bawah ini;

Gambar 3. Young Lex dan Rich Chigga.
[bintang.com]

“Bagi gue, sampai kapan pun Rich Chigga enggak bisa terjun ke pasar gue.
Tapi gue bisa terjun ke pasar dia.”

Secara tak langsung, kalimat ini memuat keyakinan Young Lex betapa Rich Chigga takkan pernah bisa “menindak” dirinya, melainkan dialah yang bakal menindak Chigga sewaktu-waktu.

“...yang pasti gue percaya bahwa gue akan ‘besar’ dan tajir banget.
Ketika gue nggak percaya itu, lebih baik gue berhenti sekarang.”

Sesungguhnya, kita harus selalu menggunakan huruf “M” besar tiap kali menuliskan kata “manusia”. Kalimat di atas senada dengan keyakinan Sartre bahwa setiap manusia sesungguhnya “besar”, tinggal manusia itu sendiri mau memilih untuk menjadi besar ataukah tidak. “Ketika aku memilih, aku memilih untuk seluruh umat manusia”, ucap Sartre. Seringkali kita tak menyadari betapa pilihan-pilihan kecil berikut keyakinan personal kita berdampak luas bagi orang banyak. Masihkah kita menutup mata? Kemal Pasha kecil yang baru berusia 6 tahun berkata pada ibunya bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin Turki. Sejak remaja Benito Mussolini sudah melatih caranya berpidato untuk menjadi seorang diktator. Meskipun selalu dikatai sebagai “badut”, Adolf Hitler tetap yakin dirinya bakal menjadi pemimpin Jerman.

Maka dari itu mulai sekarang, jangan pernah remehkan pilihan-pilihan kecil Anda! Keyakinan-keyakinan personal Anda! Sebagaimana kata Sartre: “…our acts contribute to making us” [“...tindakan-tindakan kita berkontribusi untuk membentuk diri kita”]. Ingat, orang yang tak pernah salah adalah orang yang tak pernah berbuat apa-apa.

Dan satu lagi ... jangan lupa pesan buku ini sekarang juga! (Hehe)


0 Comments:

Post a Comment