Mimi Peri dan Revolusi Hasrat: Tinjauan Skizoanalisis Deleuze dan Guattari

Mimi Peri dan Revolusi Hasrat:
Tinjauan Skizoanalisis Deleuze dan Guattari


Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Sosiolog Universitas Udayana

Kapitalisme-lanjut sebagai Oedipus
Gilles Deleuze dan Felix Guattari menempatkan spat-kapitalismus ‘kapitalisme-lanjut’ sebagai suatu sistem “Oedipus”. Terlalu jauh apabila Oedipus di sini didefinisikan sebagai bentuk “kelainan” seorang anak lelaki yang terlampau mencintai ibunya, bahkan ingin memilikinya (baca: menikahinya); atau seorang pemuda yang menggemari wanita-wanita lebih tua darinya—oedipus complex. Istilah Oedipus sebagaimana digunakan dan dipopulerkan oleh Sigmund Freud sebelumnya, mengacu pada drama karya Sophocles, Oedipus Rex yang berkisah tentang carut-marut perasaan benci dan cinta seorang anak terhadap orangtuanya yang kemudian berperan penting dalam pembentukan nafsu berikut kepribadian si anak.

Oedipus dalam pengertian ini lebih ditempatkan sebagai suatu kondisi holy family ‘keluarga suci’ antara bapak, ibu, dan anak yang saling terikat satu sama lain dan saling mempengaruhi, terutama sosok orangtua terhadap anak. Namun, pengaruh atau kontrol yang dituai si anak dari orangtua sehingga membentuk kepribadiannya, faktual juga dialami sang orangtua dari orangtuanya terdahulu. Dengan demikian, Oedipus adalah suatu sistem reproduksi yang terus melanggengkan diri lewat ikatan bapak-ibu-anak dari generasi ke generasi, menjadi sulit salah satu di antaranya terlepas dari spiral ikatan tersebut: selalu terdapat jejak yang tertinggal dan memanggil kembali.

Gambar 1. Gilles Deleuze dan Felix Guattari [artforum.com]

Lebih jauh, dalam pemikirannya, Deleuze dan Guattari mengartikan sistem Oedipus sebagai totalisasi ide, kode, dan simbol yang diciptakan oleh kapitalisme-lanjut. Ide, kode, atau simbol yang dimaksud di sini dapat dimisalkan sebagai produksi tanda oleh para agen kapitalisme-lanjut, atau agen-agen produksi komoditas konsumsi artifisial seperti Nike, Reebok, Gucci, Louis Vuitton, Kappa, Supreme, dan lain sebagainya yang mewarnai atau mengontrol kodifikasi masyarakat global. Ide, kode, atau simbol tersebut tak sebatas pada beragam artefak kebudayaan, tetapi juga terintegrasi langsung dalam budaya atau jejaring kultural yang diciptakan oleh kapitalisme-lanjut (kultur kapitalisme); film, musik, karya-karya sastra, cara berbicara dan berbahasa, cara makan, cara berpikir, bahkan hingga ritus sosial sekecil-kecilnya: cara melamun, bahkan hingga cara tidur. Tegas dan jelasnya, seluruh unsur mikroskopik sosial yang berkaitan, berhubungan, atau cukup sekadar bernuansa kapitalisme-lanjut di mana kita ikut berpraktik di dalamnya: di situlah kita telah ter-Oedipal.

Manusia sebagai Mesin Hasrat dan Skizofrenia sebagai Batasan
Bagi Deleuze dan Guattari, manusia adalah sebuah mesin hasrat yang terhubung dengan mesin-mesin hasrat lainnya. Bolehlah di sini kita gunakan huruf “M” besar pada mesin hasrat bernama manusia, dan “M” kecil pada mesin-mesin hasrat lain yang terhubung pada manusia. Mesin-mesin hasrat yang terhubung pada manusia adalah sistem kodifikasi yang disediakan oleh kultur kapitalisme. Nike menyediakan pada kita tanda atau simbol menjadi sosok manusia yang dinamis lewat logonya, Adidas hendak mengajak kita menjadi progresif atau “selalu naik pada level berikutnya”, Kappa menyediakan kita kode-kode untuk menjadi seksi, Polo menyediakan kode tentang arti kemapanan, atau bagaimana Calvin Klein menyediakan kita kode untuk menjadi pintar, muda, dan kaya; tak ketinggalan Supreme yang menyajikan kode akan dominasi dan superioritas.

Dalam hal ini, sulit mengabaikan analisis Jean Baudrillard tentang pesan yang terhenti pada medium di era simulasi. Merevisi pemikiran Karl Marx bahwa suatu komoditas tak hanya terdiri dari nilai guna dan nilai tukar saja, melainkan turut memuat nilai simbol (tanda); simbol-simbol yang bermain di ranah medium inilah yang kemudian menciptakan suatu fantasi akan “kepenuhan” (fulfillness) dan otentitas sehingga medium (kemasan) menjadi lebih penting daripada pesan. Simbol-simbol memanipulasi kita dengan cara memunculkan makna ke permukaan; makna yang seharusnya di dalam, ditampakkan dan dipamerkan sebagai suatu epifani: sesuatu yang tiba-tiba tersingkap dan kita dibuat tercengang olehnya; “Honda the power of dreams”, “Yamaha semakin di depan”, “Manisnya hidup dengan Gulaku”, “Indomie seleraku”, dan lain sebagainya. Makna-makna yang muncul ke permukaan pun menjadi ihwal yang mengusik dan menggoda, oleh karenanya ia dapat disebut sebagai “kecabulan”—mengusik dan menggoda kita untuk mengonsumsinya, membuat kita terus berfantasi untuk memilikinya. Pada tahapan ini, serangkaian hal tersebut mengejawantahkan dirinya sebagai mesin hasrat yang selalu ingin terhubung oleh mesin hasrat lain dengan huruf “M” besar bernama Manusia.

Namun demikian, mesin-mesin hasrat (pemroduksi fantasi) yang diciptakan kapitalisme-lanjut memiliki batasnya. Batas ini, lewat cara yang paling sederhana, adalah tersingkapnya fantasi dan otentitas kultur kapitalisme sebagai suatu kepalsuan. Semisal, Slavoj Zizek merekomendasikan traversing the fantasy ‘perlintasan fantasi’: “... hanya dengan cara melintasi fantasi, kita akan mendapati pengalaman bahwa tak ada apa pun di balik fantasi”. Baudrillard lebih banyak bicara soal otentitas sebagai makna “di dalam” dan bukannya “di luar”. Sebagai misal, barangkali banyak muda-mudi merasa otentik (unik) karena membeli dan mengenakan pakaian distro yang dibuat dengan sangat terbatas—prinsip kelangkaan kapitalisme, namun mereka tak sadar jika keunikan dirinya sesungguhnya bersifat artifisial (semu) karena keunikannya diciptakan oleh distro. Hanya lewat tersingkapnya keunikan-keunikan yang rapuh karena bersandar pada simbol-simbol luar inilah batasan mesin hasrat diketahui: ia takkan pernah mencipta otentitas yang bersifat murni dari dalam.

Lain halnya Zizek dan Baudrillard, Deleuze dan Guattari menyematkan skizofrenia atau “kegilaan” sebagai batasan mesin pemroduksi hasrat dari kapitalisme-lanjut atau kultur kapitalisme. Dalam arti, kembali ke awal, bagaimana sistem Oedipus sebagai totalisasi ide, kode, dan simbol tak mampu lagi menampung ide, kode, dan simbol dari mesin hasrat bernama manusia. Memang, pada tatanan sebelumnya, mesin hasrat manusia selalu dipaksa untuk sesuai, dan atau, agar menyesuaikan diri dengan sistem Oedipus, seolah sistem Oedipus mampu memenuhi segala hasrat dan melunasi janjinya, semacam berhala yang menjamin segala pinta penyembahnya. Namun, pada satu momen ketika sistem Oedipus tak lagi mampu menampung ide, kode, dan simbol yang dikehendaki mesin hasrat; ditemukanlah batasan dari sistem Oedipus (kultur kapitalisme), dan batasan ini adalah kegilaan.

Kegilaan atau skizofrenia dalam pandangan Deleuze dan Guattari adalah relasi produksi dan reproduksi yang dijalankan kultur kapitalisme di mana realitas semu manusia dan alam menjadi ekstraknya. Lewat kemampuannya yang luar biasa, kapitalisme-lanjut mampu memproduksi akumulasi energi atau aliran skizofrenik yang mengagumkan. Kultur ini sendiri sesungguhnya menyadari jika skizofrenia menjadi batasannya, maka ia selalu berusaha menghindarinya, meskipun secara bersamaan, mau tak mau, ia akan menuju ke sana. Tak dapat dipungkiri, ide tentang skizofrenia yang dicetuskan Deleuze dan Guattari agak terkesan samar. Apakah ia suatu peristiwa overkonsumsi, hiperkonsumsi, atau hipersemiotik yang justru mengacaukan simbol-simbol awal (semiotik). Sebagai perbandingan, kita dapat menilik batasan masyarakat simulasi seperti diutarakan Baudrillard di bawah ini;

“Jika Anda lebih cantik dari saya, Anda akan mati; lebih benar dari saya, Anda akan mati; lebih nyata dari saya, Anda akan tersimulasi; dan jika Anda lebih tersimulasi dari saya: Anda akan mati.”

“Ke(mati)an” yang dimaksudkan Baudrillard bisa jadi mirip dengan terma “mengonsumsi kehampaan dalam globalisasi” dari George Ritzer, atau kehampaan itu sendiri. Di sisi lain, kita dapat membandingkan skizofrenia Deleuze-Guattari dengan ide madness ‘kegilaan’ Kenichi Ohmae pada masyarakat yang dimabuk kesejahteraan. Namun, apabila skizofrenia yang dimaksudkan Deleuze dan Guattari berada di ranah hermeunetis, yakni simbol dan tanda, maka hiperkonsumsi dan hipersemiotika menjadi lebih relevan. Hiperkonsumsi melahirkan kejenuhan dan absurditas, sementara hipersemiotika memunculkan kekacauan simbol sekaligus mengungkap dusta dari simbol-simbol. Pengungkapan dusta ini akan melahirkan simbol-simbol yang terlantar, dan apabila telah demikian, mereka tak lagi bisa menjadi obyek pemenuh hasrat sang mesin hasrat. Mesin hasrat mulai bertindak melampauinya, mencari simbol-simbol lain yang tak dipunyai sistem Oedipus, namun demikian, mesin hasrat bertindak sedikit licik dengan mengitimasi simbol-simbol Oedipus untuk kemudian disesuaikan dengan versinya. Mesin hasrat mengakui dan memahami kondisi skizofrenia itu, tetapi kemudian mencipta agen-agen skizofrenik baru untuk menghancurkan sang Oedipus, mirip konsep “oto-Imunisasi” Jacques Derrida—suatu aktivitas penghancuran dari dalam.

Metode Skizoanalisis sebagai Upaya Melahirkan Agen Skizofrenik
Berbeda halnya dengan Freud yang menempatkan skizofrenia sebagai neurosis (penyakit kejiwaan) dan menolaknya dengan cara melakukan represi, penekanan, atau pengalihan pada saluran lain (katarsis)—penghempasan kekalutan pada yang lain—Deleuze dan Guattari justru berupaya membebaskannya dan sama sekali tak menekannya, hal ini sekaligus menjelaskan bagaimana metode skizoanalisis bekerja. Mesin hasrat dibiarkan bermain-main dengan sistem ide, kode, dan simbol yang diciptakan Oedipus, larut dalam kegilaan yang dibuatnya. Tetapi kemudian, lambat-laun mesin hasrat menyadari jika sistem Oedipus tak lagi mampu memenuhi hasratnya yang lebih besar. Ia menjadi lebih gila dari kegilaan itu sendiri, berbekal pengalamannya bermain dengan sistem Oedipus, ia mulai mengitimasi ide, kode, dan simbol Oedipus; lalu mengonstruksi dengan caranya sendiri untuk kemudian melawannya. Peristiwa ini memiripkan wujudnya sebagai “cemburu Papa Besar”, sebentuk penghianatan pada Oedipus yang awalnya mengayomi dan melindunginya.

Dengan demikian, metode skizoanalisis tak hanya mengajak subyek untuk menikmati kegilaan kapitalisme-lanjut, tetapi juga menyadari kegilaan yang dibuat kultur tersebut: di sinilah agen skizofrenik tercipta. Ia menyadari keberadaannya di tengah-tengah masyarakat skizofrenik, berbeda halnya dengan manusia-manusia lain yang ter-Oedipal di mana kegilaan kultur kapitalisme-lanjut dianggap sebagai kondisi given ‘terberi’, dan mereka tak menyadarinya. “Agen skizofrenik dengan sengaja menemukan batasan kapitalisme... Ia memperebutkan semua kode dan ia mengirim balik arus hasrat yang telah didekode”, tegas Deleuze dan Guattari. Lebih jauh lanjutnya, dengan skizofrenisasi, kita akan disembuhkan karena hasrat tak lagi ditekan oleh sistem Oedipus, setelah sebelumnya mesin hasrat dipaksa untuk selalu sesuai dengan sistem ide, kode, dan simbol Oedipus. Hal ini, sama halnya dengan bentuk perlawanan terhadap psikoanalisis yang selalu berupaya merepresi, mengalihkan, atau berkilah dari Id (das es) sebagai sistem libido alam bawah sadar yang selalu menggeliat dan meminta dibebaskan. Dengan begitu, psikoanalisis di sini tak ubahnya seperti “polisi” sebagai agen represif mesin hasrat.

Skizoanalisis justru berupaya membebaskan hasrat terdalam tersebut, mengakui dan meloloskan segala yang terpendam. Skizoanalisis memandang hasrat sebagai kekuatan revolusioner: “Ia adalah kekuatan eksplosif yang menyangsikan tatanan mapan ... dan peran (agen) skizofrenik adalah menghancurkan kode-kode buatan Oedipus”. Singkat kata, apa yang menjadi tujuan utama skizoanalisis adalah “revolusi hasrat”, membebaskan subyek-subyek dari ikatan Oedipal untuk kemudian membiarkan hasratnya berkeliaran secara bebas. Deleuze dan Guattari membuat perumpamaan agen skizofrenik sebagai seorang sakit jiwa yang lebih memilih berkeliaran di jalanan ketimbang terbaring di ranjang psikoanalisis (rumah sakit jiwa). Tegas dan jelasnya mereka meyakini, subyek yang demikian, yang membiarkan hasratnya bebas berkeliaran, akan menghasilkan sebuah kekuatan revolusioner yang meledakkan.

Mimi Peri sebagai Agen Skizofrenik
Tak banyak orang tahu siapa sebenarnya Mimi Peri, terutama asal-usulnya. Ia tiba-tiba menjadi selebgram (selebritis Instagram) yang meramaikan (baca: mengguncang) jagat dunia maya tanah air. Ia sering mengaku berasal dari kayangan (langit), sebagi sosok peri yang terbuang ke dunia, dengan nama lengkap: “Mimi Peri Rapunchelle”. Ia juga mengaku memiliki keperawanan abadi yang dianugerahi oleh dewa-dewi langit. Kenyataannya, Mimi Peri adalah sesosok pria bernama “Ahmad Jaelani” yang berasal dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Selebihnya dalam subbab ini, kita takkan membincang profil Mimi Peri, melainkan praktik dan tindakannya sehingga ia layak didaulat sebagai “agen skizofrenik”.

Gambar 2. Mimi Peri alias "Ahmad Jaelani" [twitter.com]

Mimi Peri hadir dengan hipersemiotika, apabila dalam semiotika kita menduga setiap tanda atau simbol berikut penggunanya sedang berdusta, maka hipersemiotika memang mengakui jika ia tengah berdusta, dan sialnya, kita menerimanya. Hipersemiotika adalah kumpulan tanda-tanda yang ngawur, kacau, sengaja dibuat secara dusta untuk mendustai, ia tak memiliki struktur lapis semiotik demi lapis semiotik yang terpola dan dapat diikuti secara sistematis lagi koheren. Jika semiotika menganggap tanda sebagai ihwal yang menggelincir, maka hipersemiotika adalah “ketergelinciran itu sendiri”. Kurang-lebih, Mimi Peri hadir di hadapan kita dengan beberapa pernyataannya sebagai berikut; (1) Memiliki wajah cantik jelita yang tak tertandingi, (2) Memiliki tubuh seksi yang bakal membuat setiap pria tergiur, (3) Memiliki keperawanan abadi, (4) Selalu mengikuti fesyen terkini, bahkan menjadi tren fesyen, (5) Berasal dari kayangan, (6) Kerap pergi berlibur ke luar negeri, (7) Memiliki hubungan dengan seleb-seleb pria kenamaan, (8) Kaya-raya, dan lain sebagainya.

Pertama, kita dapat segera mengonfirmasi bahwa Mimi Peri tak memiliki wajah cantik atau tubuh bohay seperti yang didakunya, tetapi secara tegas dan jelas ia berulangkali menyatakannya. Di sini, agak sulit menyetujui ide propagandis Paul Joseph Goebbels: “Kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran” mengingat kebohongan yang dilakukan Mimi Peri begitu jelas dan dapat dikonfirmasi secara langsung—menilik wajah dan bentuk tubuhnya. Begitu pula, di sini analisis bernuansa konstruksi sosial akan dihindari, bahwa apa yang dilakukan Mimi Peri adalah usaha untuk mengacaukan definisi menjadi “cantik” atau “seksi”. Toh bagaimanapun, apabila ia berupaya melakukan itu: usahanya jelas gagal.

Gambar 3. Mimi Peri bersama Sehun dan C. Ronaldo [thepicta.com; todayline.com]

Kembali pada konstelasi masyarakat skizofrenia kultur kapitalisme, apa yang dilakukan Mimi Peri lebih dapat dilihat sebagai usaha untuk mengejek atau “melecehkan” para wanita yang mengidamkan wajah cantik yang umumnya ditunjukkan lewat wajah putih, bersih, dan mulus. Mereka larut dalam kegilaan yang dibuat industri kosmetik, mungkin juga karena urung memahami logika industri ini: “Semakin mereka menangis, semakin mereka membeli”. Industri ini meneror para wanita dengan penuaan dini, jerawat, flek—bercak hitam, dan lain sebagainya. Kode-kode yang ditampilkan dalam setiap iklan industri ini sangat jelas; menampakkan sosok wanita muda, atau jika ia telah tua, wajahnya tampak jauh lebih muda ketimbang usianya. Mimi Peri hadir mengacaukan simbol-simbol itu, meskipun kita juga dapat menduga, sesungguhnya ia juga berharap memiliki “wajah ideal” yang ditetapkan sistem Oedipus. Dalam harapan-harapan yang terselubung itu, sesungguhnya Mimi Peri juga telah ter-Oedipal: tertarik pada ide, kode, dan simbol yang dibuat sistem Oedipus. Namun demikian, ia paham jika tak mungkin mewujudkannya lewat cara-cara yang telah ditetapkan sistem Oedipus, maka ia pun bertindak dengan cara melampauinya.

Analisis serupa juga berlaku pada keseksian tubuh yang diklaim Mimi Peri, hobinya bepergian ke luar negeri, hubungan spesialnya dengan para seleb pria pujaan wanita, juga kekayaan yang diklaim dipunyainya. Serangkaian hal tersebut secara jelas menunjukkan jika Mimi Peri juga telah ter-Oedipal, tetapi kemudian ia membuat sistem ide, kode, dan simbol versinya sendiri. Satu karakter yang khas dari citra-citra visualnya yang diunggah di Instagram adalah foto atau video tempelan (baca: editan) dirinya dengan para figur idola; Mimi Peri berfoto dengan seleb K-Pop Sehun, dengan pesepakbola terpopuler sepanjang masa Cristiano Ronaldo, dengan si vampir keren Robert Pattinson, dan lain-lain. Ia sengaja membuat editan citra-citranya mudah diketahui sebagai kepalsuan, dan sama sekali tak berupaya membuatnya “sehalus mungkin”, semisal seseorang yang terobsesi pergi ke Perancis kemudian membuat editan foto yang terlihat sangat alami di depan Menara Eiffel sehingga berhasil menyembunyikan kedustaan. Melalui citra-citra yang kasar ini, Mimi Peri sesungguhnya melakukan dekodefikasi terhadap kode-kode yang telah disediakan, bahkan dipaksakan oleh Oedipus. Dalam hal ini, sesungguhnya terdapat suatu kesan dan pesan imajiner yang hendak dinyatakan Mimi Peri.

“Jika kamu ingin cantik, jadilah seperti diriku saja. Jika kamu ingin seksi, jadilah diriku. Jika kamu ingin dekat dengan idola pujaanmu, aku sudah. Jika kamu ingin populer, aku lebih populer. Jika kamu bermimpi menjadi pasangan mereka, aku sudah mewujudkannya. Jika kamu ingin menjadi mega seleb, aku tak tertandingi.”

Kesan dan pesan imajiner ini menunjukkan kegilaan Mimi Peri yang melampaui kegilaan Oedipus, dengan begitu, ia telah melewati batasan skizofrenia kultur kapitalisme. Ia mengejek dan melecehkan kode-kode Oedipus, adapun caranya yang terkesan serius dalam “pertunjukannya” hanya kian menunjukkan penghinaan yang lebih serius. Teknik representasi yang dilakukan Mimi Peri menerabas bingkai-bingkai kultur kapitalisme, jika berbagai editan foto Mimi Peri dapat dilihat sebagai seni, maka itu adalah “seni sebagai peristiwa”, kode-kode yang keluar dari bingkainya, kode-kode yang tak bisa ditempatkan dalam lokus tertentu atau satu lokus saja; acak, kabur, dan terlalu licin untuk ditangkap.

Gambar 4. Mimi Peri dengan fesyen koran [brilio.net]

Analisis mengenai fesyen yang ditunjukkan Mimi Peri agaknya memerlukan suatu pembahasan khusus. Menyepakati Roland Barthes yang menyebut fesyen dan mereka yang terlibat dalam industri ini sebagai “kegiatan main-main” namun mempunyai kode-kode tersendiri, agaknya begitu pula dengan fesyen Mimi Peri. Apabila kita menilik analisis George Simmel tentang fesyen sebagai “pembeda” antarindividu, namun unsur pembeda ini tidaklah boleh benar-benar berbeda dari individu lain, dengan kata lain, harus memiliki irisan persamaan agar individu pengonsumsi fesyen tak terasing dari lingkungannya, namun sekali lagi: tidak betul-betul sama; maka Mimi Peri memang hendak menjadi betul-betul berbeda. Apa yang dilakukan Mimi Peri adalah “menyangatkan” kode-kode dalam fashion. Jika Anda ingin mengenakan pakaian bernuansa kertas atau daur ulang, maka Mimi Peri telah memakai kertas koran asli. Apabila Anda ingin memakai pakaian bertema tumbuhan atau tanaman, Mimi Peri sudah memakai rerumputan, ilalang, serta daun pisang asli, pun berbagai fesyen lain yang ditunjukkan Mimi Peri, rentengan kopi sachet yang juga menjadi fesyennya misalnya.

Gambar 5. Mimi Peri dengan fesyen tumbuhan [lifeloe.net]

Kode-kode fesyen yang disediakan sistem Oedipus mengenai alam, tumbuhan, kertas, bahan daur ulang, keseksian, feminitas, kecantikan, keidealan tubuh, dan lain-lain yang telah distilisasi; tak mampu lagi memenuhi hasrat mesin hasrat bernama Mimi Peri akan semua itu. Lewat kode-kode yang disangatkan ini, Mimi Peri telah terlepas dari ikatan Oedipal. Ia mengonstruksi ide, kode, dan simbol dengan caranya sendiri; tepatnya sesuai hasratnya. Ia membiarkan sang hasrat berkeliaran bebas lewat praktik-praktik yang ditampilkannya. Pada gilirannya, Mimi Peri pun memiliki aliran energinya sendiri, tak lagi bertumpu pada energi Oedipus, pun sukses menekan balik polisi-polisi hasrat yang bertugas merepresinya.

Refleksi: Revolusi Hasrat dan Berakhirnya Revolusi-revolusi Besar
Seperti halnya para pemikir posmodern atau pos-Struktural lain, Deleuze dan Guattari menolak sebuah solusi yang bersifat universal, menjamah khayalak luas: “sebuah revolusi agung”. Baginya, ini dikarenakan dunia yang kita hidupi saat ini telah terfragmentasi sedemikian rupa; setiap wilayah, setiap masyarakat; memiliki ranah perjuangannya sendiri, persoalannya masing-masing. Mereka yang masih memimpikan sebuah revolusi kolektif atau perubahan sosial skala besar dapat didaulat sebagai “orang-orang yang miskin hasrat”. Mereka belum terlepas dari ikatan Oedipus, atau “masih ter-Oedipal”, sekadar mengimitasi bahkan meminjam cara-cara lama untuk dipaksakan pada masa sekarang, atau dengan kata lain: kolektivitas yang tak relevan dan tak kreatif. Bentuk-bentuk kolektivitas semacam ini, yang biasanya berteriak antifasis atau anti-Penindasan, biasanya justru menyimpan kefasisan dan kedespostisannya tersendiri dalam diri. Ini tampak lewat begitu terobsesinya mereka akan terma-terma terkait, sehingga tak mengherankan cukup banyak kita temui: ketika suatu kediktatoran tumbang akan segera digantikan oleh kediktatoran-kediktatoran baru yang mulanya dibangun dari basis massa kolektif.

Lantas, apa yang ditawarkan? Subyektivitas kolektif sebagai agen revolusioner. Subyektivitas kolektif sebagaimana dimaksudkan di sini bukanlah kumpulan subyek (individu) yang terikat pada satu doktrin atau kepentingan yang sama, karena jika demikian, itu sama artinya mereka ter-Oedipal atau terikat oleh sistem Oedipus. Subyektivitas kolektif adalah para entitas subyek yang membebaskan hasratnya masing-masing, membiarkannya berkeliaran sesuai kehendak mesin hasrat. Mereka tak terikat satu sama lain, juga tak saling mengenal. Mereka adalah suatu gerakan diaspora individual yang menginfiltrasi relung-relung sosial. Gerakan mereka tak dikomandoi oleh seorang Papa Besar, juga tak terencana—spontan dan kreatif sepenuhnya. Spontanitas dan kreativitas inilah yang membuat aliran-aliran energi mereka tak terduga-duga, mempunyai daya eksplosif yang bisa meledak sewaktu-waktu, dan begitu agen-agen revolusioner ini meledakkan diri, manusia massa masih berebah pulas di ranjang psikoanalisisnya.

Mimi Peri sebagai agen revolusioner skizofrenik, menunjukkan secara jelas kemampuannya melakukan dekodefikasi ide, kode, dan simbol Oedipus untuk menjadikannya amunisi perlawanan balik. Poster-poster dan citra-citra populer, termasuk audio-visual Oedipus seperti Walt Disney dikonversi (baca: dirusak) menjadi kode-kode yang dihasratkannya secara personal. Ia adalah seorang prajurit perang yang mengetahui betul posisinya, bahwa kemenangan atau kekalahan suatu perang tidaklah bergantung pada sebuah keputusan politik, tetapi bagaimana mempertahankan kehidupan diri sembari membunuh sebanyak mungkin musuh—inilah cermin fragmentasi sosial yang sesungguhnya. Para pemimpi perubahan sosial sudah selayaknya menerima salam sapa manja sang individual heroik Mimi Peri.


Bacaan lanjutan:
Buku;
Baudrillard, Jean. 1988. The Ectasy of Communication (Semiotext[e]). Cambridge: MIT Press.
Deleuze, Gilles & Felix Guattari. 2000. Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics: Advances in Semiotics. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press.
Rihan, Fadi Abou. 2008. Deleuze and Guattari: A Psychoanalytic Itinerary. London & New York: Continuum International Publishing Group.

Jurnal;
Nugroho, Wahyu Budi. Menyoal Fantasi dan Emansipasi dalam Foodgasm. Jurnal Widya Sosiopolitika, Vol. 6, No. 2 (September, 2015), 21-38.
Simmel, Georg. Fashion. The American Journal of Sociology, Vol. 62, No. 6 (May 1957), 541-558.

0 Comments:

Post a Comment