Teori Imajinasi Naratif Martha Nussbaum

[Pic: wikipedia.org]

Fina Yulfa Laila

Mahasiswi Sosiologi, Universitas Udayana

 

Martha Craven Nussbaum merupakan cendekiawan perempuan yang lahir pada 6 Mei 1947. Beliau adalah seorang profesor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Nussbaum memiliki konsentrasi studi pada bidang filsafat Yunani Kuno dan Romawi Kuno, filsafat politik, eksistensialisme, feminisme, serta etika. Selain itu, Nussbaum merupakan anggota Dewan Program Hak Asasi Manusia dan anggota Komite Studi Asia Selatan.

 

Salah satu kritikan Nussbaum menyasar fenomena rasial pada masyarakat global. Salah satu pernyataan Marcus Aurelius yang dikutip Nussbaum adalah, menjadi warga dunia seharusnya tidak hanya mengharuskan diri mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berimajinasi terhadap sesama. Hal ini perlu untuk menekan angka rasisme yang sudah dinormalisasi oleh kebanyakan masyarakat. Marcus Aurelius menjelaskan bahwa imajinasi simpatik mampu membantu seseorang dalam memahami motif dan pilihan orang-orang yang berbeda, seperti perbedaan agama, jenis kelamin, rasial, kelas, dan asal kebangsaan.

 

Nussbaum sebagai sosok yang mendalami fenomena multikultural pada masyarakat global, menilai bahwa sekian banyak perbedaan membuat tugas pemahaman simpatik menjadi semakin sulit. Kondisi ini terjadi karena perbedaan yang tidak hanya membentuk pilihan praktis kelompok, melainkan juga “bagian dalam” mereka seperti keinginan, pikiran, dan cara pandang.

 

Internalisasi stereotipe rasial dari ilmu sejarah juga memiliki pengaruh pada harga diri, prestasi, dan cinta yang memungkinkan kelompok membuat penilaian negatif pada kelompok lain, yang seolah valid karena berdasarkan internalisasi pengetahuan rasial yang diperoleh. Nussbaum juga mengutip pernyataan yang dikemukakan oleh Rousseau, orang-orang tidak sepenuhnya memahami fakta sosial yang terjadi sampai mereka mampu membayangkan kondisi sakit yang dialami orang lain.

 

Faktanya, individu akan kesulitan jika dipaksa untuk membayangkan posisi atau kondisi individu lain yang belum pernah dialaminya, misalnya seorang yang kaya berusaha menempatkan diri pada posisi sulit orang miskin. Hal ini sebagaimana perbedaan kelas sosial yang digambarkan dalam novel Charles Dickens, Hard Times dan A Christmas Carol. Kondisi tragis yang dialami masyarakat kelas menengah ke bawah dalam novel Dickens mungkin dipahami oleh pembaca dari kalangan berada, tetapi kondisi ini menjadi keprihatinan yang melintas sesaat atau bisa dikatakan tidak ditindaklanjuti karena hanya menjadi penonton dalam fakta sosial terpinggirnya suatu kelompok.

 

Berdasarkan pengamatan Nussbaum, hal ini terjadi karena telah mengakar kuatnya hak istimewa dan konvensi dari kelas, ras, etnis, jenis kelamin, dan bangsa pada suatu masyarakat, sehingga membuat mereka sulit untuk benar-benar membayangkan diri mereka sebagai pihak yang termarginalkan.

 

Karya sastra yang juga membahas kepiluan kaum miskin adalah novel Invisible Man dari Ralph Ellison. Nussbaum mengambil novel ini sebagai salah satu rujukan dalam memperlihatkan simpati yang dikesampingkan. Hal ini berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pembaca novel yang menjadi narasumber Nussbaum. Novel ini memperlihatkan fakta rasisme menembus pikiran dan emosi.

 

Fenomena rasial dari karya sastra juga dibahas oleh Walt Whitman. Nussbaum mengutip pernyataan Whitman yang memiliki pandangan mengenai pentingnya seorang sastrawan dalam mempromosikan sikap simpati pada masyarakat umum terutama mengenai keprihatian terhadap kaum marjinal seperti perempuan dan ras minoritas, serta masyarakat miskin.

 

Karya sastra lain yang dirujuk Nussbaum adalah novel James Kelman, How Late It Was How Late, sebuah karya sastra yang mendapat penghargaan Booker Prize for Fiction di tahun 1994. Novel ini menceritakan kehidupan kelas pekerja di Glasgow, Skotlandia. Isi dari karya sastra ini begitu kental dengan dialek kelas pekerja Skotlandia baik dalam komunikasi maupun cara berpikir masing-masing tokoh. Karakter kelas pekerja yang sengaja ditonjolkan oleh Kelman memiliki tujuan dalam menghidupkan kembali tema kelas pekerja yang umumnya telah dikecualikan dari sastra-sastra Inggris.

 

Selama beberapa generasi, setidaknya sejak terkenalnya karya sastra dari Dickens, terdapat gerakan inklusi, di mana tokoh-tokoh kelas pekerja muncul dalam novel sastra, tetapi suara mereka harus diasimilasi terlebih dahulu dengan wacana sastra kelas menengah. Kondisi ini memperlihatkan adanya pihak yang memang sengaja menutup-nutupi fakta marjinal yang dialami oleh kaum pekerja.

 

Karya sastra dalam bentuk drama juga menjadi perhatian Nussbaum dalam memperlihatkan unsur-unsur karya sastra yang dapat menekan rasisme. Philoctetes karya Sophocles yang diproduksi pada tahun 409 SM menjadi salah satu karya yang dibahas Nussbaum. Drama ini sebagai salah satu bentuk reaksi Sophocles dalam menanggapi krisis demokrasi Athena. Kondisi ini berkaitan dengan keberadaan warga negara yang telah menjadi orang buangan hingga lumpuh karena penyakit yang dideritanya.

 

Philoctetes menjadi pelakon yang mewakili keadaan masyarakat yang termarjinalkan pada saat itu. Pemerintah yang menormalisisasi hal ini ditanggapi berbeda oleh sebagian masyarakat. Mereka ini mampu membayangkan kondisi Philoctetes yang belum pernah mereka saksikan; membayangkan kesepiannya, rasa sakitnya, dan perjuangannya untuk bertahan hidup. Berdasarkan analisis penulis, genre drama ini menjadi salah satu contoh karya sastra yang dianjurkan oleh Nussbaum dalam mengolah rasa simpati melalui sastra dan memupuk daya pikir kritis.

 

Karya drama lain yang dikutip Nussbaum adalah Festival Tragis tradisi Yunani Kuno. Tradisi ini menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Barat terkenal dengan nalarnya yang kritis. Festival Tragis merupakan tempat menonton sebuah karya yang terkait erat dengan argumen dan musyawarah tentang nilai-nilai dasar kewarganegaraan. Lebih jelasnya, Festival Tragis memperkenalkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan manusia, jauh sebelum hal-hal buruk tersebut benar-benar terjadi. Penderitaan dan kerugian cukup jelas ditampilkan kepada penonton. Ini menjadi salah satu strategi dalam memainkan sumber daya puitis dan visual drama sebagai media yang menjembatani internalisasi nilai-nilai moral kepada masyarakat Yunani Kuno.

 

Nussbaum menjelaskan, salah satu bentuk strategi tersebut adalah mempertontonkan nasib tragis pahlawan, sekaligus menggambarkan pahlawan sebagai tokoh yang relatif baik dan kesusahan yang diperolehnya dari semangat perjuangan yang tidak ada habisnya. Drama ditampilkan sedemikian rupa agar penderitaan benar-benar menguasai imajinasi penonton. Strategi ini menjadi salah satu inspirasi Nussbaum dalam menawarkan konsep imajinasi naratif pada sistem pendidikan masyarakat global.

 

Pentingnya seni sebagai perangsang daya kritis seseorang dalam memahami kondisi sosial telah diterapkan oleh rakyat Amerika Serikat. Mereka mengakui alasan yang signifikan bahwa seni memupuk kapasitas penilaian dan kepekaan masyarakat terutama saat mereka memilih wakil negara. Nussbaum menuliskan bahwa seni yang dimaksud warga Amerika Serikat dalam batas waktu tertentu mencangkup semua seni.

 

Di sisi lain, Nussbaum juga menerangkan bahwa dalam kurikulum dunia, seni sastra menjadi media yang paling efektif dalam menggambarkan keadaan khusus dan masalah individu atau kelompok yang berbeda. Berdasarkan karya-karya yang dibahas Nussbaum, novel dan drama menjadi karya sastra utama yang mampu menjembatani penekanan fenomena rasial pada masyarakat dunia. Dikutip dari Aristoteles Bab 9 The Poetics, sastra menunjukkan kepada kita bukan terkait kondisi yang telah terjadi, tetapi lebih kepada hal yang mungkin terjadi.

 

Hal ini yang menjadi salah satu dasar Nussbaum dalam menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang kemungkinan adalah sumber daya yang sangat berharga dalam kehidupan politik yang di dalamnya mengandung unsur-unsur normalisasi rasisme. Metode pemahaman kondisi sosial melalui karya sastra juga dibahas oleh Lionel Trilling yang menyebut imajinasi pembaca sastra dalam bentuk novel menyadarkan akan pentingnya kebahagiaan sambil menghormati manusia.

 

 

*****

0 Comments:

Post a Comment