DUA PULUH TAHUN LIBURAN KE DENPASAR, TANPA KENAL PKB

Kritik Sastra atas Cerpen ‘Kita Tak Pernah Sampai’

Kumpulan Cerita ‘Perempuan Tanpa Nama’


I Gede Sarjana Putra

Wartawan Fajar Bali

 

Pernah saya membayangkan, sehabis panen raya, petani Bali di suatu subak berlibur ke suatu tempat dalam dua atau tiga hari, menikmati liburan, menikmati diri bersama keluarga, refreshing. Melupakan sejenak pematang sawah, melupakan traktor, bibit, harga pupuk, melupakan kapan harus menanam dan tetek bengek urusan sawah atau tegalan. Pokoknya refreshing dan sekembalinya dari liburan kembali bercocok tanam dengan hati senang, karena badan dan hati sudah fresh, segar. Lalu kembali ke tanah yang member mereka kehidupan tanpa rasa khawatir, harga pupuk, harga, produksi pertanian bakal laku tanpa takut busuk di tangkai.

 

Lalu disusul petani lainnya, di wilayah tertentu menikmati liburan ke suatu tempat, paling tidak liburan di wilayah Indonesia, yang kaya pemandangan alam dan keramah-tamahannya sehingga roda perekonomian berputar skala lokal, domestik Indonesia. Pariwisata untuk petani dan hasil petani untuk pariwisata. Bahwa mereka, petani nelayan juga menikmati duduk santai dan mendapat pelayanan seperti tamu asing di tempat wisata.

 

Jauh sebelumnya di TVRI, sepuluh tahunan yang lalu, entah siapa nama ahli pertaniannya, mengingatkan tentang keinginan saya. Yang masih jelas dalam ingatan, ‘Setidaknya dengan 40 are lahan pertanian, bila dikelola dengan baik, maka ‘paling tidak’, sekali dalam dua tahun, petani bisa menikmati liburan’ di wilayah Indonesia, bahkan Singapura. Namun sayang, ungkapan ahli pertanian itu tidak kunjung terjadi, setidaknya dengan harapan liburan sama senangnya seperti bule-bule ke Pantai Kuta, sambil menikmati makan enak, dilayani barang sehari, berjalan di trotoar tanpa rasa takut, lalu berbelanja di pusat oleh-oleh buat keluarga tidak kunjung terjadi. Bukankah petani juga manusia, butuh liburan.

 

Membaca Kumpulan Cerita Kadek Sonia Piscayanti, Perempuan Tanpa Nama, pada judul ‘Kita tak Pernah Sampai’ saya melihat persoalan serupa. Bahwa liburan adalah hal yang mustahil bagi kaum buruh, petani atau kalangan bawah pada zaman itu. Liburan bagi anak-anak saat itu hanya dari desa itu ke kota. Menyinggahi supermarket dan toko-toko terkenal lainnya. Maka timbul pertanyaan saya, berapa kalikah orang Bali dalam hidupnya berlibur, liburan? Pertanyaan ini terbenam di benak saya sejak dulu. Pertanyaan ini masih terdengar sampai penghujung Tahun 1990-an. Dan di sebuah kantor pariwisata, PHRI Denpasar saya mendapat jawabannya. ‘Paling tidak orang Bali berlibur dua kali dalam hidupnya. Liburan pertama saat dirinya tamasya sekolah dasar dan selanjutnya saat mengantar putra-putrinya berlibur’. Tentu pernyataan ini sudah tidak berlaku lagi saat ini, dan sudah jamak orang Bali berlibur diselingi tirta yatra atau memang berlibur untuk refreshing sebutlah mulai Tahun 2000-an. Berapa warga Bali yang menikmati liburan yang sesungguhnya?

 

Bali sudah dikenal sejak Tahun 1595 tepatnya 27 Januari 1959, yang menjadikan Kuta menjadi tujuan wisata sebelum Bali dikenal dunia Barat (Jacob Kackerlack, Bali Tempo Doeloe, 7). Namun dalam naskah tersebut, tidak digambarkan seperti apa suasana Pantai Kuta, kecuali Pulau Bali yang disebut Belanda kecil, makmur, banyak celeng, unggas, telur, limau dan buah lainnya.

 

Dalam Cerpen, penulis cerita dapat menggambarkan bagaimana sebagian dari masyarakat Bali kalangan bawah, buruh, memaknai berlibur sebagai hal yang menakutkan. Barangkali bila merunut cerita tersebut, peristiwa ini terjadi di Tahun 1982-an. Digambarkan dengan jelas, bagaimana suasana angkutan umum saat itu, yang seolah tidak manusiawi, sehingga tidak memungkinkan berlibur dengan angkutan umum.

 

… Kami, dia dan mereka seolah-olah membawa semua, yang bisa dibawa, dus, keranjang, karung dan koper rombeng yang bertumpuk di bagasi hingga penuh dan terpaksa sebagian ditumpuk di bawah kaki penumpang. Sebagian diikat di atas izusu sebagian dijejalkan sekenanya diantara penumpang yang telah berdesakan tanpa jeda seincipun. Semua bawaan itu, seolah menampung segala masa lalu, masa sedih, masa suram dari para penumpang tak bernama. Seolah semua masa lalu telah terbungkus, menuju tempat baru yang menjanjikan masa-masa yang segar dan cemerlang.

 

Membaca alinea tersebut, tergambar jelas bagaimana suasana angkutan umum di Bali saat itu, yang mungkin tidak pernah dirasakan generasi mileneal saat ini. Di era Tahun 1980-an sampat Tahun 1990-an, suasana angkutan umum di Bali semuanya seperti itu, sesak, pengap dan supir adalah penguasa. Tergambar dengan jelas, bahwa kelas bawah, tidak bisa menikmati angkutan mewah dengan travel atau rent car.

 

Selanjutnya, bagaimana penulis menggambarkan liburan bagi siswa saat kenaikan kelas. Bagi kalangan bawah juga, liburan atau berwisata maka akan dipaksakan bahwa berkunjung ke Kota Denpasar adalah berwisata yang cukup mewah.

 

…..setiap akhir kenaikan kelas dan libur panjang, aku dipaksa ikut ke balik bukit (Bali Selatan, Denpasar). Berlibur disana, yang sebenarnya bukanlah sebuah liburan, namun sebuah paksaan yang selalu diawali dengan mengemas pakaian. Inilah liburan yang menyenangkan bagi bapak. Tidak bagi kami. Meskipun  sesunguhnya liburan ini dibuat untuk kami. Gila. Aku tak suka.,

 

Bagaimana orang Bali memberi penilaian terhadap berwisata/berlibur. Bagi sebagian masyarakat, berwisata adalah suatu hal yang mahal dan menghambur-hamburkan uang. Atau memang tradisi berlibur tidak dimiliki orang Bali, sampai pada Tahun 2000-an. Disisi lain, berlibur bagi orang Bali (kala itu) adalah kemewahan. Sehingga bagi masyarakat kalangan bawah, berwisata adalah suatu kemewahan, bukan kebutuhan. Seperti pada kalimat dalam cerita,

 

Air terjun Gitgit sangat terkenal, aku tak bermimpi kesana, katanya mahal. Melintasi kawasan wisata Gitgit, mobil-mobil pariwisata parkir di depan. Juga mobil mewah lainnya. Musim libur, dimana-mana penuh, juga izusu ini, meskipun liburan kami para penumpang ini, bukan liburan seperti mereka. Kami bukan berlibur, tapi memindahkan duka dari satu tempat ke tempat yang lain. Duka?

 

Dalam kalimat lain selanjutnya, bagaimana penulis menggambarkan wilayah Bukit Wanagiri, Buleleng yang dipenuhi monyet. Hanya penulis tidak menggambarkan bagaimana suasana bukit tersebut terlihat danau, pohon cemara dan keindahan lainnya. Walau demikian, digambarkan bagaimana  keadaan orang berwisata saat itu termasuk perilaku terhadap monyet-monyet disana.

 

Puncak bukit memesona bagi wisatawan, tidak bagiku. Monyet-monyet kelaparan, selalu menjadi ironi bagiku. Mereka menjadi tontonan, saat mereka terancam kematian.

 

Penulis menyampaikan kritik yang jelas dan tegas terhadap kondisi Danau Beratan. Bahwa sejak Tahun 1980-an, atau sebelumnya kondisi di sepanjang Beratan sudah tercemar, baik oleh pedagang dan sampah di sisi kiri dan kanan jalan.

 

Terseok-seok, akhirnya kami tiba di depan danau. Danau yang dulu sangat sakral. Kini berbeda, danau itu telah dikurung oleh pedagang bakso dan strawberry. Danau telah tercemar, danau telah berubah menjadi kolam renang yang besar. Danau telah kalah, danau telah habis.

 

Lalu, benarkah anak desa, anak kampung yang datang ke kota sebagai liburan, hiburan. Penulis menegaskan bahwa Kota Denpasar saat ini (Badung), bahwa Kota Denpasar adalah kota yang tidak ramah. ‘Jadi bagiku, bagi kami, liburan ini bukan liburan, tapi lebih pada menemani bapak menghadapi keangkuhan kota ini.’ Sebelum mengakhiri cerita dengan liburan yang tidak lebih dari siksaan, penulis menggambarkan bagaimana liburan dimaknai masih sederhana, sebagaimana anak-anak desa yang liburan (melali, Bali) ke kota besar.

 

Kenapa kita selalu menempuh perjalanan yang sama, terus dilakukan lagi, tanyaku pada bapak. Bapak menjawab, sebuah perjalanan, meski tujuannya sama, perjalanannya pasti berbeda. Sekarang kamu mengeluh, suatu saat kamu akan tahu tak ada perjalanan yang sia-sia. Kota ini ditempuh dengan perjuangan dan akan menghasilkan sesuatu, minimal sebuah cerita.

 

Cerita ditutup bahwa generasi milenial sudah menikmati kemudahan dalam berbagai hal, juga tidak menghayati sebuah perjalanan dalam menikmati liburan. Ada yang mungkin terlupakan oleh penulis, yang mana saat liburan di masa anak-anaknya tentu mengenal yang namanya Pesta Kesenian Bali (PKB). Hampir setiap tamasya anak sekolah dasar asal Buleleng, tamasyanya ke Taman Budaya, Denpasar, lalu mungkin dilanjutkan ke Taman Ayun, Mengwi dan ke Sangeh. PKB juga bertepatan dengan liburan siswa sekolah. Bahkan dalam 20 kali ke Denpasar, tanpa satu kalimatpun berbicara PKB ataupun Pantai Sanur. Bilapun tidak berkunjung ke PKB, paling tidak ada dalam narasi, keinginan menonton salah satu pertunjukan di Art Center.

 

Lalu dalam benak saya, kembali kepada tulisan di awal, bisakah pariwisata (kita) ramah terhadap pemilik pariwisatanya. Selain ramah, apakah memungkinkan mendorong lebih banyak lagi agar kalangan petani dan pekerja kelas bawah menikmati yang namanya berwisata? Hal ini menjadi pemikiran saya berulang. Sedangkan ketika saya bertanya kepada guide yang menurunkan wisatawan dari bus, menyebutkan wisatawan yang menikmati Kertagosa, Klungkung adalah tukang kebun dari negeri Sakura. Yang berlibur adalah rombongan petani dari salah satu Negara di Eropa.

 

Paradigma yang masih dihadapi dalam memajukan pariwisata selalu berkutat pada kuantitas. Selalu disuguhkan jumlah kunjungan wisatawan, dan jumlah penerbangan yang turun di Bandara Ngurah Rai. Pariwisata yang selalu berhubungan dengan dunia luar, sangat mudah terkena guncangan. Satu wisatawan Jepang mengalami diare di Bali maka kunjungan wisata ke Bali anjlok, dan seterusnya. Mari Elka Pangestu, sewaktu menjabat Menteri Pariwisata disaat talkshow di Kantor PHRI, meminta kepada Gubernur Bali, Made Mangku Pastika kala itu agar pariwisata Bali diarahkan ke kualitas. Bahwa dengan mengundang satu Julia Robert akan setara dengan 200 wisatawan gembel, miskin dan seringkali membuat rusuh.

 

Di Tahun 2019, Kasatpol PP Gianyar menyebutkan setiap bulannya, setidaknya Satpol PP menangkap bule yang depresi di wilayah Gianyar. Depresi ini bahasa yang diperhalus, yang sesungguhnya adalah wisatawan miskin, gember dan kehabisan uang. Dan di destinasi wisata lain juga mengahdapi persoalan serupa, akibat mengedepankan kuantitas. Lalu, kapankah pernyataan Mari Elka Pangestu yang 10 tahun lalu terwujud? 

 

Sebagai jalan tengah, bisakan pariwisata juga untuk kita masyarakat Bali. Yang selalu mendapatkan tugas menjaga menggawangi adat, budaya dan alam Bali, tanpa pernah menikmati apa yang mereka perbuat untuk budayanya. Apa yang saya bayangkan, jauh dari kenyataan. Saat ini, bagi petani dan kalangan buruh, jangankan sisa dana untuk liburan, gaji sebulan atau hasil panen yang akan diterima sudah ada menunggu. Hutang. Lalu berkutat pada persoalan yang sama, harga bibit mahal, membajak dan menunggu air irigasi yang hulunya sudah mulai mengering dan hasil panen yang tidak menentu.

 

Lalu dengan cara apa, mengajak petani kita, kaum buruh dan nelayan untuk menikmati liburan. Tentu salah satunya dengan memberi mereka jaminan, bahwa harga bibit yang nanti mereka beli masih murah, dan hasil panen mereka dijamin ada harganya. Sehingga apa yang dikatakan ahli pertanian, puluhan tahun silam itu terbukti bahwa dengan 40 are, bila dikelola dengan baik, setidaknya dua tahun sekali sempat berwisata, wisata yang sesungguhnya. Dan ketika turun dari bus, dengan bangga juga guide berkata, bahwa yang berwisata adalah petani dari subak A, nelayan dari pantai anu.

 

‘Kita Tak Pernah Sampai’, dan memang tidak pernah sampai. Sebelum akhir tahun nanti, kita tetap disuguhi angka-angka jumlah kunjungan wisatawan. Dan lupa bertanya, apakah liburannya menyenangkan, apakah sudah sampai, seperti pada cerita tersebut. Bukankan dengan berlibur itu, mereka petani bisa saling berbagi informasi dan saling berpacu untuk membuat semuanya lebih baik. Bila sesama petani memajukan wilayahnya, menata wilayahnya, maka mau tidak mau wisatawan asingpun datang, tentunya dengan pilihan kualitas. apakah dengan cara ini, kita bisa sampai? Walau tidak, setidaknya pernah mencoba.

 

*****

0 Comments:

Post a Comment