Tentang Maskulinitas

classicart.com

Bagus Ardiyansyah
 

Pegiat Sanglah Institute


Isu maskulinitas dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh daya tarik tubuh. Seperti yang dikatakan oleh Handoko (2005), ihwal maskulinitas terkait dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan yang dihubungkan dengan gender, karena tubuh dan gender selalu menjadi persoalan dalam konstruksi masyarakat. Mengutip Prabasmoro (2006), bahwasanya tubuh menjadi kodrat dan fakta seseorang adalah perempuan atau laki-laki, sedangkan gender merupakan konstruksi masyarakat yang menempatkan, memposisikan, atau keharusan memiliki gender yang sama dengan tubuhnya. Hal ini didukung dengan pernyataan dari  Ritzer dan Goodman (dalam Handoko, 2005), bahwa gender tidak melekat dalam diri seseorang, melainkan dicapai lewat interaksi dalam situasi tertentu. Tubuh merupakan aspek penting dalam interaksi sosial, karena citra tubuh merupakan aspek penting pada diri. Anak laki-laki belajar menjadi maskulin dan anak perempuan belajar menjadi feminim dari banyak sumber; orangtua, sekolah, kawan sebaya, media, iklan, dari mainan hingga kartu ulang tahun.

Indoktrinasi tubuh laki-laki sebagai maskulin dilakukan secara kultural, sejarah, dan secara terus-menerus dalam waktu yang lama sehingga menimbulkan adanya satu kriteria mengenai tubuh laki-laki. Doktrin tersebut diyakini sebagai sesuatu yang alamiah, bahwa laki-laki terlahir maskulin, padahal maskulinitas bersifat tidak tetap dan bertransformasi dalam proses sosial karena tubuh laki-laki tumbuh dan berkembang, menetapkan atau mengubah maskulinitas mereka. Sebagaimana yang dilontarkan Connell (2009), pemikiran mengenai gender terbentuk secara kultural, tubuh menjadi objek praktik sosial dan agen dalam hubungan sosial. Definisi sosial mengenai laki-laki adalah sebagai pemegang kekuasaan, hal ini dimaknai tidak hanya sebagai fantasi ideal mengenai tubuh laki-laki, tetapi juga secara nyata dalam pembentukan otot, postur tubuh, dan cara berpakaian. Hal tersebut terjadi karena adanya kompromi antara pengertian tubuh secara biologis dan sosial.

Lebih dalam, maskulinitas ini kemudian melahirkan tuntutan bagi setiap laki-laki untuk jantan, berkuasa, tidak lemah, karena mempunyai posisi lebih tinggi daripada perempuan. Terlebih lagi, sedari awal melalui beragam media, dan salah satunya peran keluarga, sebagai laki-laki telah didoktrin; pencari nafkah (publik), pelindung, tidak pada ranah domestik, logis, tegas, ambisius, kompetitif, independen, dominan, dan lain sebagainya. Dari sini, sebenarnya secara tidak langsung tampak terjadi masalah gender (bagi laki-laki juga) dan nantinya akan merugikannya, serta menghambat terwujudnya kesetaraan. Padahal kembali lagi ke awal, mengingat merupakan hasil konstruksi, persona maskulinitas pun bukanlah  yang tetap, tetapi terdapat pluralisasi di dalamnya. Sayangnya, laki-laki merepresi atau terpaksa merepresi kecenderungan yang berbeda dengan apa yang diidealkan menjadi laki-laki, seperti tidak lemah, tidak kemayu, tidak emosional atau menahan perasaan, tidak menunjukkan kesedihan, dan seterusnya. Apabila laki-laki tidak mampu memenuhi ekspektasi untuk menjadi maskulin atau laki-laki yang dianggap ideal, maka akan memunculkan citra diri pribadinya yang negatif.

Selanjutnya, yang tampak adalah laki-laki sebagai aktor aktif yang menghidupkan (dan dihidupkan) oleh mitos-mitos maskulin melalui cerita dan citra budaya dominan. Dengan kata lain, subjektivitas laki-laki kemudian didasari dalam wacana-wacana yang terletak secara historis, baik sosial maupun budaya. Sejauh mana laki-laki mampu mengambil atau menolak, mengabaikan atau menyintesis, serta memperkuat atau menantang. Banyaknya wacana ini berarti bahwa tidak ada satu bentuk maskulinitas yang dapat didefinisikan karena semua terintegral (Demartoto et.al, 2014).

Hal yang terepresentasikan dalam konteks ini adalah berbicara maskulinitas bukan lagi sebatas atau sekadar berbicara laki-laki yang terlahir sebagai laki-laki secara fisik. Namun, maskulinitas ini tertanam lewat regulasi interaksi sosial yang ditandai dengan keyakinan, norma, praktik budaya serta perilaku yang terkait dengan laki-laki, sehingga beroposisi terhadap ekspresi feminitas atau maskulinitas subordinat, yang tidak ideal dengan maskulinitas hegemonik, istilah kerasnya maskulinitas ortodoks atau maskulinitas toxic. Sekali lagi, ditekankan bahwa maskulinitas bukanlah esensi tunggal dan monolitik, tetapi beresensi jamak dan berlapis, sehingga penyebutannya yang dianggap tepat adalah maskulinities (Ibrahim dan Akhmad, 2014).


*****

 

0 Comments:

Post a Comment