Kepercayaan dan Ketidakpercayaan Publik selama Pandemi: Sebuah Perspektif Sosiologis

                                                            fastcompany.com

Kepercayaan adalah komponen terpenting dalam keberlangsungan interaksi sosial (Seligman, 1997; 13). Kepercayaan turut menjadi salah satu faktor terpenting dalam tercapainya tujuan dari perencanaan kebijakan, khususnya implementasi kebijakan selama pandemi COVID-19. Permasalahan kompleks dan dinamis yang diakibatkan oleh pandemi serta berbagai bentuk perkembangan terbaru dampak pandemi, mengharuskan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang adaptif dan mampu diterima masyarakat secara umum. Pemerintah menggunakan berbagai kebijakan untuk menangani COVID-19, namun menuai reaksi negatif dari publik. Inkonsistensi koordinasi antar lembaga pemerintahan dalam penanganan COVID-19 telah menghasilkan reaksi negatif publik terhadap kinerja pemerintah. Kebingungan publik muncul sebagai respon ketidakjelasan strategi pemerintah dalam mencegah penyebaran virus yang cenderung diskriminatif.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengurangi penyebaran virus COVID-19 sejak pertama kali mengkonfirmasi kasus COVID-19 pada 2 Maret 2020. Namun demikian, pemerintah cenderung merespon kasus virus COVID-19 dengan pernyataan yang belum didukung oleh data ilmiah. Pernyataan tersebut antara lain: “kebalnya orang Indonesia karena senang makan nasi kucing”; “efektivitas kalung anti-virus COVID-19”; atau “himbauan untuk tetap tenang dan berdoa”.

Kebijakan penekanan penularan COVID-19 melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020. Kemudian diikuti pemerintah kabupaten atau kota yang menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diberlakukan di beberapa daerah di Indonesia dan diikuti aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro yang berlaku dari desa, kelurahan hingga Rukun Tetangga dan Rukun Warga. Namun pada pelaksanaannya, terdapat beberapa pejabat publik yang tidak mampu menunjukan komunikasi publik yang baik untuk meyakinkan masyarakat dalam penanganan pandemi.

Korupsi dana bantuan COVID-19 memperburuk citra penanganan COVID-19 dan turut meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemerintahan. Kasus korupsi dana bantuan sosial untuk pandemi COVID-19 yang menjerat Menteri Sosial, Juliari Batubara, diduga telah merugikan uang negara sebanyak Rp 17 miliar. Di Sumatera Utara, Sekretaris Daerah Samosir dan Plt Kepala Dinas Perhubungan, diduga korupsi dana bantuan makanan. Di tingkat desa, sekelompok aparat desa di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengorganisasi lima belas warga untuk menyelewengkan dana bantuan dengan membuat data penerima palsu. Di Bandung Barat, kasus korupsi menjerat bupati yang melibatkan keluarga serta pihak swasta, yang merugikan negara sekitar Rp 4,7 miliar.

Terbaru, kebijakan larangan mudik turut menjadi kontroversi di Indonesia. Publik menganggap aturan pelarangan mudik cenderung diskriminatif. Masyarakat mengkritik larangan mudik yang tidak diikuti dengan penutupan tempat-tempat wisata dan arus kedatangan warga asing dari luar negeri. Sama halnya dengan aturan mudik pada tahun sebelumnya, pemerintah tidak mampu mengatur lonjakan arus mudik. Masyarakat pun enggan untuk diatur dan melontarkan berbagai argumen akan pentingnya mudik bagi mereka. Harus diakui, larangan mudik di Indonesia akan sangat sulit untuk dilaksanakan karena adanya faktor kultural yang melekat kuat di masyarakat. Akibatnya, pihak kepolisian terlihat kewalahan dalam mengantisipasi lonjakan arus mudik dan berbagai pelanggaran aturan di berbagai daerah.

Paradoks Kepercayaan dan Ketidakpercayaan Publik

Piotr Sztompka dalam Tulisan ini menganalisis teori kepercayaan sosial karyanya Trust, Distrust, and Paradox of Democracy (1997) dan Trust: A Sociological Theory (2000), Sztompka menjelaskan ukuran kepercayaan yang diberikan masyarakat terhadap sesama dan institusi bergantung pada tiga dimensi. Tiga dimensi tersebut adalah pencerminan kepercayaan yang didasarkan pada rasionalitas baik dan buruk, dasar kepercayaan yang dihasilkan oleh proses dan hasil sosialisasi, dan budaya kepercayaan yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan tradisi kepercayaan (Sztompka, 1997; 3). 

Pada dimensi pertama, Sztompka menggunakan dasar jika manusia adalah makhluk rasional yang menggunakan rasionalitasnya sebagai dasar kalkulasi untuk mengambil keputusan (Sztompka, 1997; 7). Landasan umum dan penting untuk kepercayaan adalah tingkat kepercayaan dari target yang kita percaya akan turut memberikan kepercayaan atau tidak (Sztompka, 2000; 71). Tindakan tersebut turut melibatkan instrumen kepercayaan terhadap orang lain atau institusi, di mana munculnya kepercayaan didasarkan pada kualitas dari siapa yang dipercaya. Kualitas tersebut antara lain reputasi, performa, dan penampilan. Hal tersebut turut didukung pada pernyataan di mana tema dominan dalam teori kepercayaan kontemporer adalah mengungkap logika yang kompleks yang terlibat dalam perkiraan rasional yang terjadi. Masyarakat memiliki kecenderungan menggunakan rasionalitasnya sebagai dasar kalkulasi untuk mengambil keputusan. Konstruksi kepercayaan publik terbentuk berdasarkan berbagai keputusan yang diambil dan perilaku yang dicerminkan para pejabat selama penanganan COVID-19.   

Dimensi kedua adalah dasar kepercayaan yang dihasilkan oleh proses dan hasil sosialisasi.  Penjelasan mengenai dasar kepercayaan dapat ditemukan pada sisi psikologis individu. kepercayaan dibentuk oleh sosialisasi primer yang dilakukan oleh keluarga dan sosialisasi sekunder, yang berkaitan dengan pengalaman dan interaksi dengan pihak lain di luar keluarga (Sztompka, 2000; 65). Dengan kata lain, dasar kepercayaan merupakan bentuk modal personal yang kita akumulasi. Dasar kepercayaan yang dimiliki oleh seorang individu merupakan faktor terpenting dalam mempengaruhi perhitungan kepercayaan yang dilandaskan oleh rasionalitas. Kepercayaan dalam dimensi kedua dianggap bukan hanya sekedar sikap, namun meliputi orientasi khas, dimiliki oleh individu atau institusi, diobjektifkan secara sosial dimana hal-hal tersebut memberikan dorongan dan kendala pada setiap individu (Sztompka, 1997; 8). Dalam pengertian ini, kepercayaan menjadi ciri dasar kolektivitas manusia, sebagai modal yang dikumpulkan dimana individu menerapkan tindakan mereka. Lebih jauh, dasar kepercayaan bukanlah sekedar fakta psikologis individu, namun lebih kepada sebuah pembentukan “fakta sosial” budaya (Durkheim, 1895: 50).

Dasar kepercayaan sebagai hasil sosialisasi primer dan sekunder dapat dijadikan dasar bagaimana individu membentuk kepercayaan akan sesama individu maupun institusi. Dalam pengelolaan kebijakan, tidak adil jika kita hanya membahas dimensi pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, bagaimana kemampuan masyarakat dalam mempercayai dan mematuhi aturan juga menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan kebijakan. Ketidakpatuhan atau pengabaian akan protokol kesehatan dan meningkatnya kasus COVID-19 dipengaruhi oleh ketidakpercayaan terhadap bahaya COVID-19 itu sendiri. 

Kekeliruan yang disebabkan minimnya pengetahuan dan sikap acuh diakibatkan oleh bentuk sosialisasi yang membentuk struktur psikologis individu. Pemahaman mengenai penyebaran pandemi melalui pelarangan mudik menjadi masalah utama akibat adanya faktor budaya yang melekat erat di masyarakat. Pun, berbagai narasi seperti orang Indonesia telah berpengalaman menghadapi pandemi, COVID-19 hanya penyakit flu biasa, kebalnya orang Indonesia karena senang makan nasi kucing, mitos kalung anti-virus COVID-19 dari pohon minyak kayu putih yang mampu melawan virus, hingga himbauan untuk tetap tenang dan berdoa adalah contoh-contoh bagaimana dasar kepercayaan masyarakat Indonesia menjadi penghalang pencegahan penyebaran COVID-19. 

Meminjam istilah fakta sosial Durkheim, masyarakat Indonesia dapat dikategorikan sebagai golongan yang sangat mempercayai mitos atau hal-hal yang bersifat transenden daripada mempercayai fakta ilmiah. Kegagalan penanganan COVID-19 di Indonesia bukan hanya sekedar tanggung jawab pemerintah sebagai perumus kebijakan, namun juga menjadi tanggung jawab individu-individu yang cenderung memiliki dasar kepercayaan yang bersifat transenden.

Dimensi ketiga dalam penciptaan kepercayaan dan ketidakpercayaan adalah budaya kepercayaan. Berbeda dengan dimensi pertama dan kedua, budaya kepercayaan bukan hanya dijelaskan sebagai kalkulasi rasional kepercayaan maupun dasar psikologis kepercayaan individu. Lebih jauh, budaya kepercayaan merupakan sumber daya sosial yang digunakan sebagai pertaruhan atas tindakan kontingen yang lain (Sztompka, 1997; 9). Dengan kata lain, semakin besar kepercayaan terhadap individu lain atau institusi, maka semakin banyak konsekuensi yang akan diterima. Terbentuknya budaya kepercayaan tergantung pada kekuatan ekspektasi positif yang dimiliki individu maupun masyarakat.

Masyarakat cenderung percaya pada instrumen efisiensi (kompetensi, rasionalitas dan efektivitas). Institusi mampu melaksanakan kebijakan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh publik.  Hal tersebut dapat diamati pada tingkat kepercayaan, seperti percaya jika pemerintah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan keadilan, dan kesetaraan kesempatan. Budaya kepercayaan turut menyumbang pembentukan solidaritas, partisipasi dengan orang lain dalam berbagai bentuk asosiasi, dan memperkaya atau memperluas jaringan interaksi. Budaya kepercayaan meningkatkan “kepadatan moral” menurut Emile Durkheim (Cladis 1992: 196). Apabila keberhasilan pelaksanaan keadilan, kesetaraan, kesempatan yang seimbang, dan perlindungan hak asasi manusia bertemu dengan ekspektasi masyarakat, maka hal-hal tersebut akan meningkatkan budaya kepercayaan. Sebaliknya, apabila inkonsistensi, ambiguitas, atau penyelewengan wewenang lebih dominan, maka ketidakpercayaan publik akan cenderung terbentuk.

Berdasarkan dimensi kepercayaan, masyarakat memiliki harapan dan kepercayaan dalam memberikan jaminan sosial ekonomi untuk menanggulangi dampak pandemi. Maraknya kasus korupsi dana bantuan sosial untuk pandemi COVID-19 di baik di tingkat nasional, kabupaten, hingga desa, cenderung memberikan konsekuensi negatif yang diterima oleh publik dan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Penyalahgunaan wewenang terhadap kebijakan bantuan sosial yang diharapkan mampu memperbaiki dampak pandemi turut menyumbang tidak tercapainya partisipasi masyarakat dalam penanganan penyebaran COVID-19.

Ketidakpercayaan publik yang disebabkan oleh rendahnya dasar kepercayaan publik terhadap bahaya beserta aturan penanganan COVID-19 turut diperparah oleh komunikasi pejabat publik yang tidak mampu memberikan contoh dalam mematuhi kebijakan yang dibuatnya. Kecenderungan masyarakat dan beberapa pejabat publik yang lebih percaya akan hal yang bersifat transenden maupun kultural turut menjadi salah satu faktor penghambat dalam penurunan kasus COVID-19 di Indonesia. Terlebih, kasus korupsi dana bantuan sosial turut melegitimasi lemahnya kapasitas pejabat publik dalam menangani dampak pandemi. Oleh karena itu, untuk membentuk kepercayaan publik, pemerintah sebagai pemangku kebijakan diharuskan untuk mampu mengelola ketidakpercayaan publik. Masyarakat pun diharuskan untuk meningkatkan dasar kepercayaan dalam menanggapi bahaya COVID-19 dan mematuhi aturan yang dibentuk demi tercapainya tujuan penurunan penyebaran virus di Indonesia.


*****

 

Referensi;

Cladis, M.S. 1992. A Communitarian Defense of Liberalism: Emile Durkheim and Contemporary Social Theory. Stanford: Stanford University Press.

Durkheim, Emile. 1982. The Rules of Sociological Method Translated by W.D. Halls. New York: The Free Press.

Seligman, A. 1997. The Problem of Trust. Princeton: Princeton University Press.

Sztompka, Peter. 1997. Trust, Distrust, and Paradox of Democracy. Berlin: WZB.

Sztompka, Peter. 2000. Trust: A Sociological Theory. Cambridge: Cambridge University Press.

 


0 Comments:

Post a Comment