Dimensi ID, Ego, dan Superego pada Anak


[Pic: vienna-unwrapped.com]

I Gusti Agung Ayu Brenda Yanti

Pegiat Sanglah Institute

 

Jika seseorang bertanya siapa “anak” itu? Anak itu adalah kompilasi dan dinamika dari ID, Ego dan Superego. Ketiga hal ini merupakan komponen kepribadian yang dijelaskan oleh bapak psikoanalisis, Sigmund Freud. Jadi ketika ditanya “anak” itu siapa, “anak” itu adalah gabungan dari ID, adalah gabungan dari Ego, dan juga gabungan dari Superego yang mana ketiganya memiliki karakter berbeda-beda sehingga membentuk kepribadian “anak” itu.

ID dalam anak adalah keinginannya dalam mengeksplorasi, memenuhi keingintahuannya, dan memenuhi kebutuhannya. ID menjadi sistem kepribadian asli yang dibawa oleh anak sejak lahir, ia berisikan aspek psikologis yang diturunkan dan beroperasi atas dasar prinsip “kenikmatan”. ID akan senang membuat anak melakukan apa pun untuk memuaskan nafsu terdalamnya. Bagi seorang anak, nafsu terdalam tidak hanya cukup pada kebutuhan makan dan minum, tetapi juga eksplorasi rasa ingin tahu yang tidak bisa dibendung. Keingintahuan mereka akan lawan jenis, tentang sesuatu yang ternyata berbahaya, semua itu akan secara impulsif mereka coba lewat dorongan ID guna memenuhi nafsu ingin tahunya.

ID tidak akan peduli terhadap nilai dan norma, ataupun batasan sosial. Jika memiliki rasa ingin tahu terhadap sesuatu benda yang bukan miliknya, maka ID akan mendorong anak tersebut untuk mencurinya. Di sini dapat dikatakan ID bertindak secara tidak sadar.

Sementara itu, untuk mengendalikan keliaran ID, maka dibentuklah Superego. Superego memberikan pertimbangan mengenai standar benar dan salah, standar benar/salah ini dapat datang dari pengajaran orangtua, sekolah, ataupun masyarakat. Superego menjadi nilai dan norma yang dipegang oleh anak selama bertingkah laku. Jika misalnya ID meminta anak untuk mencuri, Superego akan melarangnya karena bagi Superego hal tersebut salah menurut nilai dan norma. Nah, di sinilah biasanya konflik batin terjadi di mana ID tidak sejalan dengan Superego.

Dari pertentangan ini, muncullah komponen ketiga yakni Ego, yang bertugas menghubungkan ID dan Superego dengan dunia nyata. Apakah kemauan ID akan selalu bisa kita wujudkan? Apakah kemauan itu sesuai dengan aturan di masyarakat? Anak menyesuaikan diri dengan kenyataan melalui komponen Ego, satu-satunya komponen yang bisa dikendalikan anak.

Hubungan antara ID, Ego dan Superego bisa dianalogikan dengan seekor kuda delman. ID bagaikan kuda yang bisa saja mengamuk dan lari kesana kemari, sedangkan Superego adalah jalur di mana kuda tersebut harus berjalan. Lalu di mana Ego? Ego adalah kusir atau seseorang yang mengendalikan kuda tersebut agar tetap di dalam jalur yang aman. Dalam diri anak, kusir dikejewantahkan sebagai kepribadian.

Apa yang terjadi jika kuda tersebut terlalu liar dan tidak bisa dikendalikan? Maka ia akan membawa Sang Kusir kesana-kemari. Artinya, anak-anak seperti ini tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya dan bisa saja berakhir menjadi seorang kriminal, atau justru sebalikanya, jalur atau jalan yang dilalui rusak sehingga membuat kuda susah menarik delman. Ini digambarkan sebagai kondisi di mana proses pembentukan norma dan nilai pada anak gagal di tahap perkembangannya, seperti misal orangtua yang gagal menyampaikan nilai-nilai tersebut kepada anaknya.

Lalu bagaimana jika Sang Kusir yang tidak dapat mengendalikan kudanya untuk tetap bisa berada dalam jalur? Ada kemungkinan-kemungkinan masalah kepribadian seperti ini disebabkan oleh tidak mumpuninya kualitas pendidikan yang didapat atau kurang baiknya proses pembentukan nilai dan norma yang dilakukan oleh orangtua.

Setiap anak memiliki kondisi yang berbeda-beda, ada yang memiliki jalur yang cukup luas, rusak, atau bahkan terlalu sempit hingga membuatnya tidak berani mengambil resiko. Ada juga yang memiliki kuda yang terlalu liar atau bahkan terlalu penurut. Menurut Freud, gabungan dinamika dari ketiga komponen ini akan menghasilkan dua karakteristik anak, pertama adalah pengendali kuda yang kuat, di mana anak akan mampu menghadapi realitas dengan baik. Sedangkan yang kedua, pengendali kuda yang lemah, di mana anak tidak mampu menghadapi realitas dengan baik.

Lalu kenapa seseorang bisa memiliki Ego yang lemah dan menjadi pengendali kuda yang tidak baik? Jawabannya menurut Freud adalah pada masa kecil yang gagal belajar beradaptasi dengan realitas.

 

*****

  

0 Comments:

Post a Comment