Pendidikan, Kekuasaan, dan Karakter Kepatuhan


[pic: larrycuban.com]

Apriori masalah pendidikan masa lalu hingga kini adalah tak adanya keterkaitan dan keberpadanan dengan dunia kerja.  Seakan-akan, pendidikan dan kerja adalah dua dunia yang berbeda dan tak pernah saling menyapa.


Foucault dan Pendidikan

Nama Foucault tidak sepopuler Durkheim dalam kajian sosiologi pendidikan. Foucault lebih dikenal sebagai pemikir yang menghasilkan karya-karya yang bernuansa filsafat, sejarah, politik, dan psikologi kritis. Namun kemudian, ia turut dikenal sebagai seorang sosiolog dan berhasil mengembangkan sebuah metodologi sejarah yang dinamakan arkeologi dan genealogi.

Meskipun karya-karyanya tidak menguraikan problem pendidikan secara khusus, Foucault dinilai telah menaruh perhatian besar pada masalah pendidikan di masyarakat dengan mengaitkan realitas sejarah untuk menjelaskan masalah perubahan praktik pendidikan di masyarakat. Ini didukung dengan pemikirannya yang filosofis, modernis, neo-konservatif, strukturalis, rasionalis, dan kritis. Sejak pertengahan 1970-an, lembaga-lembaga pendidikan konservatif di Perancis mulai berbenah dan mengubah pola pendidikan mereka menuju praktik pendidikan kritis dengan berlandaskan karya filosofis Foucault.

Pengaruh pemikiran Foucault dalam masalah pendidikan tidak dapat disangkal lagi dan berkembang dengan cepat. Ialah yang mempertanyakan mengenai hakikat kekuasaan dan hubungannya dengan pengetahuan. Dia berusaha memengaruhi banyak pemahaman dalam cara melihat kekuasaan dan produksi pengetahuan. Foucault menemukan teknik-teknik pendisiplinan muncul di berbagai bidang, termasuk sistem pendidikan. Teknik tersebut memproduksi apa yang diebut Foucault dengan “tubuh patuh” yang dapat diikat, digunakan, ditransformasikan, dan diperbaiki.

Secara terpisah, metode genealoginya mengenai subjek manusia, sejarah subjektivitas, dan analisisnya mengenai bagaimana hubungan kekuasaan, pengetahuan, dan wacana (discourse) yang merombak proses etika diri telah membuktikannya sebagai pendekatan yang sangat kuat. Konsep-konsep tersebut bermanfaat untuk mengembangkan sejarah kritis mengenai anak, siswa, guru, dan sekolah sebagai bahan penelitian mengenai konsep-konsep pendidikan, kategorisasi, dan kelembagaan.


Kepatuhan sebagai Kebajikan

Pada masa kejayaan Orde Baru, sistem pendidikan di Indonesia tidak banyak memberikan pilihan kecuali harus patuh pada kurikulum yang sudah dibakukan. Kurikulum sosiologi khususnya dan ilmu sosial pada umumnya telah dipaketkan dengan dalih “penguatan dampak keilmuan kepada masyarakat”. Namun pada kenyataannya, pembakuan kurikulum jelas ditujukan untuk mengabdi kepada rezim politik. Hampir tidak ada ruang kebebasan akademik untuk berekspresi sehingga tidak ada istilah yang paling tepat untuk menyebutkan bahwa mahasiswa pada era tersebut harus melakukan “konformitas” terhadap sistem pendidikan yang diterapkan.

Nugroho (dalam Sugandi, 2002: vii) mengemukakan dominasi administrasi dan hegemoni pendidikan tentu berpengaruh pada penurunan daya kreatif dan kritis mahasiswa, sehingga ada kecenderungan mahasiswa lebih berpikir teknis dan pragmatis agar dapat lulus dengan cepat. Kuliah pun bukan lagi menjadi sarana penyaluran “tindakan voluntaristik” untuk mencari pencerahan intelektual, tetapi demi ijazah dan cepat mendapatkan pekerjaan. 

Adapun mahasiswa yang kritis, mereka pun terbagi menjadi dua golongan. Pertama, golongan kritis yang membentuk organisasi pergerakan (sosial, politik, ekonomi atau seni) namun berujung pada pembubaran, penangkapan atau penculikan dengan dalih makar. Kedua, golongan kritis yang menjadi  bagian organisasi sayap dan perpanjangan tangan rezim Orde Baru dalam memata-matai mahasiswa yang menentang rezim. 

Ironisnya, pada waktu itu para petinggi universitas dan dosen-dosen sebagai penentu sistem pendidikan banyak yang tiarap, takut atau seolah-olah merasa tidak mengetahui apa yang terjadi, bahkan beberapa dari mereka justru ikut menikmati kekuasaan otoriter tersebut. 

Jelasnya, rezim Orde Baru merupakan “rezim kebenaran” yang mengatur bukan hanya apa yang dibicarakan pada kondisi kultural dan sosial tertentu, namun juga mengatur siapa yang dapat bicara, kapan, dan dimana. Paradigma pendidikan Orde Baru lebih menitkberatkan kepada “pembentukan karakter kepatuhan” warga negara kepada rezim. Kepatuhan warga negara terhadap pemerintah dianggap sebagai "kebajikan atau keutamaan" warga negara.


Link and Match: Kekuasaan dan Kebaruan yang Tidak Baru

Isu otonomi pendidikan merupakan konsep yang diusung Habibie pada masa transisi reformasi. Konsep tersebut memberikan hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. 

Dalam rangka menarik minat pasar, Habibie melalui Mendikbud Wardiman Joyonegoro mempopulerkan istilah link and match pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuka program-program pelatihan dan sertifikasi yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia industri dan pendidikan dalam rangka mencari pola kerjasama yang tepat untuk menyiapkan tenaga-tenaga siap pakai di berbagai industri untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada era pemerintahan saat ini, Mendikbud Nadiem Makarim membuat terobosan-terobosan yang signifikan dalam mengembangkan dan menyiapkan sumber daya manusia yang siap kerja, siap berusaha, yang link and match antara pendidikan dan industri. Tentunya gagasan tersebut “bukanlah kebaruan yang baru” dan cenderung mengadopsi kebijakan era Habibie. Terbaru, Menko PMK Muhadjir Effendy menyebut program studi di unversitas tidak sesuai dengan kebutuhan industri yang berujung pada pemberian kebebasan kepada universitas untuk membentuk program studi yang sesuai industri dan menghapus program yang tidak sesuai dengan industri.

Logika dan gagasan tersebut menunjukan teknik-teknik pendisiplinan sistem pendidikan Indonesia yang berujung pada konsep penciptaan kelas pekerja. Pendisiplinan yang berisi mengenai penataan dalam ruang tertentu melalui praktik pemisahan, pelatihan, dan standarisasi dengan dalih peningkatan produktivitas sumber daya manusia dan ekonomi. Sehingga, orientasi pendidikan menjadi semakin jelas yaitu mencipta manusia yang "siap pakai".

Pendisiplinan sistem pendidikan Indonesia oleh pemerintahan Jokowi tidak hanya tercermin pada konsep link and match. Wacana pemilihan rektor yang didengungkan pada tahun 2017 tentunya menjadi sebuah kemunduran kebebasan pendidikan di Indonesia. Dengan dalih menghindari adanya pimpinan perguruan yang anti Pancasila dan gesekan ideologi, wacana tersebut tentu harus dicurigai sebagai upaya pengkerdilan peran institusi pendidikan.

Lebih lanjut, peristiwa pelarangan diskusi di berbagai universitas di Indonesia dengan isu sensitif seperti isu HAM Papua, sengketa tanah, tambang, maupun peninjauan pemakzulan presiden pun tak lepas dari peretasan, penangkapan, hingga ancaman pembunuhan terhadap para inisiator, peserta, dan pembicara diskusi. 

Praktik-praktik tersebut tentu akan menempatkan institusi pendidikan dalam suatu urutan hierarki melalui rasionalitas efisiensi, produktivitas, dan normalisasi. Meminjam istilah Foucault, metafora dari kekuasaan dan pendisiplinan adalah PanopticonPanopticon adalah desain penjara yang terdiri dari lapangan terbuka dengan menara di tengahnya yang bisa digunakan untuk melihat ke seluruh bangunan dan sel penjara tersebut memiliki jendela yang mengarah ke menara tersebut (Barker, 2000: 85). 

Sehingga jelas, pola kekuasaan dan pendisiplinan melalui jargon sistem pendidikan 4.0 yang identik dengan istilah link and match dan siap kerja dapat diibaratkan sebagai Panopticon di dunia pendidikan. Metafora dari suatu kekuasaan yang terus berlangsung dan mencakup semua pengawasan, penyataraan dan pendisplinan yang beroperasi di semua level hierarki sistem pendidikan demi mewujudkan kepatuhan terhadap rezim yang berkuasa.

Pendidikan yang membebaskan pun hanya terdapat pada ruang-ruang diskusi di kelas dan hanya terbatas dalam tahapan imaji. Jika pun memiliki pengajar yang mampu membebaskan, itu pun hanya segelintir dan jika kita beruntung.




*******

0 Comments:

Post a Comment