Konsep KEKUASAAN dari Plato, Aristoteles, John Locke, Karl Marx, Michel Foucault, dan Pierre Bourdieu


Dony Ramadhan
Pegiat Liberal Literasi

Plato mengartikan kekuasaan dalam bahasa Yunani, peithein, sebagaipersuasi” dan bia yang berartipaksaan” ataukekerasan”. Jika ditelisik lebih jauh, persuasi merupakan cara memengaruhi berikut meyakinkan orang lain dengan tujuan untuk menguasai, dan cara melanggengkan kekuasaan tidak jarang menggunakan paksaan serta kekerasan. Bagi Plato, kekuasaan berada di tangan negara yang dapat menentukan kebijakan untuk rakyatnya. Menurutnya, kekuasaan negara haruslah berdasarkan pengetahuan, bukan berdasarkan ekonomi, pangkat, atau kedudukan. Kekuasaan melalui pengetahuan dianggap Plato sebagai cara yang bijaksana seperti seorang ayah yang mengatur anak-anaknya.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles mengartikan kekuasaan haruslah bersumber dari hukum. Dalam bahasa Yunani, politeia, menurut Aristoteles adalah pemerintahan yang memiliki  konstitusi. Pemerintahan ini dianggap Aristoteles sebagai pemerintahan yang paling realistis dan praktis dengan hukum sebagai sumber kekuasaannya. Aristoteles juga menegaskan bahwa kekuasaan haruslah berdimensi etis terhadap warganya, yaitu menghargai dan menghormati kebebasaan dan kesetaraan derajat warga negaranya. Sebetulnya, pemikiran Plato dan Aristoteles tidak jauh berbeda, keduanya masih mengedepankan dimensi etis, dan kekuasaan masih berpusat pada negara sebagai institusi kekuasaan.

John Locke dalam bukunya, Two Treatises of Civil Government, menjelaskan bahwa the state of nature  atau "keadaan alamiah” manusia pada dasarnya adalah bebas. Dalam keadaan ini, manusia dalam situasi harmonis dan memiliki kebebasan serta kesamaan hak untuk mengembangkan dirinya tanpa merenggut hak orang lain. Namun, setelah manusia mengenal hubungan-hubungan sosial dan memiliki hak kepemilikan (property right) yaitu tempat tinggal dan uang, inilah yang memicu terjadinya perang (the state of war). Ketidaksamaan harta kekayaan menjadikan manusia mengenal majikan dan budak sehingga timbul struktur hierarkis. Pada tahap ini, individu akan berjuang untuk mempertahankan kepemilikannya. Oleh sebab itu, dalam tahap commonwealth negara hadir untuk melindungi hak-hak warganya melalui kontrak sosial. Hal yang patut digarisbawahi adalah negara hadir bukan untuk menyamaratakan, tetapi untuk melindungi hak setiap individu, maka negara pun memiliki kekuasaan yang terbatas.

Kekuasaan menurut John Locke berada pada ranah individu, dan negara adalah sistem yang diciptakan untuk melindungi hak setiap individu. Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis dalam bukunya yang berjudul Being and Nothingness beranggapan bahwa Manusia tidak dapat kadang-kadang menjadi budak dan kadang-kadang bebas; ia sepenuhnya dan selamanya bebas. Dalam pemikiran kebebasan Sartre yang berkelindan dengan pemikiran filsuf Epicurus, dapat dinyatakan bahwa manusia cenderung mencari kenikmatan sebesar-besarnya.

Menurut Max Weber, dalam kehidupan masyarakat modern, birokrasi merupakan alat kekuasaan yang dapat mengatur masyarakat secara formal. Sedangkan Karl Marx menganggap kekuasaan berasal dari kepemilikan alat produksi yang dihasilkan sistem kapitalisme. Marx percaya bahwa kepemilikan  alat  produksi  adalah penyebab terjadinya  relasi kuasa antara kelas dominan atas kelas marjinal. Kelas dominan di sini diartikan sebagai kaum borjuis dan elite negara, sedangkan kelas marjinal adalah kaum proletar. Bagi Marx, kaum borjuis selalu memiliki kepentingan dan hanya menjadikan kaum proletar sebagai komoditas untuk melanggengkan kepentingannya lewat penguasaan alat produksi.

Pemaknaan kekuasaan di atas masih  dilihat Marx secara makro dan objektif. Dalam filsafat humanisme, manusia adalah individu yang unik dan memiliki pesona masing-masing. Selain itu, manusia juga memiliki nilai absolut pribadi, yaitu kesadaran untuk menentukan dirinya sehingga ia tahu apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, kebebasan adalah kondisi yang melekat dalam diri manusia. Karena adanya kebebasan, manusia dapat mengembangkan diri dengan segenap keunikannya. Jika kemampuan manusia untuk menentukan dirinya direnggut oleh kekuasaan orang lain, maka hal itu dinamakan sebagai pembungkaman kebebasan eksistensial atau pembungkaman terhadap martabat manusia.

Seorang filsuf posmodern yaitu Michael Foucault, beranggapan bahwa pengetahuan  adalah kekuasaan.  Bagi  Foucault,  kebenaran mutlak itu tidak ada. Hanya ada kebenaran yang dihasilkan dan diproduksi oleh kekuasaan melalui pengetahuan. Foucault beranggapan bahwa kekuasaan dapat menentukan yang salah dan yang benar, normal dan abnormal, dosa dan tidak dosa, serta yang gila dan yang tidak gila. Michel Foucault berasumsi bahwa setiap periode memiliki “rezim kebenarannya” sendiri. Dalam buku Foucault yang berjudul Histoire de la Sexualite 1: La Volonte de Savoir, ia menjelaskan bahwa seksualitas sebelum awal abad ke-17 masih menjadi perkara publik, setiap orang melakukan (mengatakan) aktivitas seksualnya secara terbuka, dan berbicara dengan kata-kata bernada seksual secara bebas. Namun, semua itu berubah ketika Ratu Victoria berkuasa. Seksualitas mulai dipingit dalam kamar-kamar rumah tangga yang sah, yaitu hubungan suami-istri, orang tidak boleh berbicara tentang seks di muka umum karena telah ditetapkan sebagai hal yang tabu.

Pierre Bourdieu seorang etnolog Perancis, menganggap bahwa sesungguhnykekuasaan itu dekat dengan kita, kekuasaan hadir dalam setiap ranah sosial (social field). Jika para pemikir sebelumnya memisahkan antara objektivisme dan subjektivisme, Bourdieu justru memilih untuk berada pada keduanya. Subjektivisme adalah pemikiran yang berada di ranah mikro, di mana voluntarisme dan individualisme menjadi dasar pemikirannya. Sedangkan objektivisme menekankan pada ranah makro, yaitu secara struktural. Bourdieu memilih untuk menggunakan cara berpikir yang relasional, bahwa struktur objektif dan representasi subjektif, serta agen dan pelaku, terjalin secara dialektis melalui bahasa dan saling memengaruhi secara timbal-balik berikut saling berpraktik.

Bahasa, menurut Bourdieu lahir dari panggung sosio-historis yanmelatarbelakanginya, sehingga bahasa selalu bersifat tidak netral dan mengandung kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan tertentu. Agar seseorang atau sekelompok orang memperoleh kekuasaan, mereka akan membujuk orang lain untuk mengikuti kepentingannya melalui bahasa. Oleh sebab itu, sang agen menciptakan sistem simbol berupa bahasa, wacana, slogan, dan lainnya untuk menanamkan keyakinan-keyakinan agar berkuasa pada orang-orang yang ditujunya. Bagi Bourdieu, bahasa dalam ruang sosial memiliki keterkaitan dengan arena pertarungan kekuasaan yang bertujuan untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.

Teori  Bourdieu  bertumpu  pada  beberapa  konsep  penting,  yaitu; habitus, ranah, modal, dan praktik. Habitus menurut Bourdieu adalah struktur mapan atau struktur-struktur yang dibentuk” dan struktur-struktur yang membentuk. Secara sederhana, habitus adalah nilai-nilai sosial yang telah ada dalam masyarakat dan nilai-nilai sosial yang akan membentuk individu. Habitus terbentuk dari pengalaman individu yang berinteraksi dengan individu lainnya, sehingga habitus akan mengatur setiap tindakan individu. Secara singkat, ranah (field) menurut Bourdieu adalah tempat para agen, aktor, atau individu bersaing untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dalam ranah, seseorang akan bertarung untuk memperebutkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Ranah berkaitan dengan modal. Modal menurut Bourdieu adalah sumberdaya yang dimiliki seorang agen yang dapat digunakan untuk bertarung dalam ranah dan memenangkan kekuasaan. Terdapat beberapa modal menurut Bourdieu, yaitu modal simbolik, modal sosial, modal ekonomi,  dan modal kultural.  Berikut adalah rumusan konsep Bourdieu.

(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik

Doxa, hetrodoxa, dan ortodoxa merupakan bagian dari praktik. Doxa merupakan wacana dominan atau struktur yang sudah mapan. Seperti pengertian ideologi, doxa adalah tatanan sosial dalam diri individu yang terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang telah ternaturalisasi sehingga tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Doxa, secara mudah diartikan sebagai cara individu berbicara, cara makan, berpakaian, hingga persoalan kepercayaan. Heterodoxa merupakan lawan dari doxa, yaitu wacana yang menentang doxa untuk mendapatkan kekuasaan baru atau doxa baru. Sementara, ortodoxa merupakan wacana yang terus mempertahankan doxa, biasanya mereka yang berada dalam ortodoxa merupakan orang yang berkuasa untuk mempertahankan status quo.

*****

0 Comments:

Post a Comment